HATCHERY IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

Jumat, 16 Maret 2018


I.                  PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Ikan kerapu termasuk dalam subfamilia Epinephelinae, familia Serranidae, dan merupakan ikan yang penting secara komersial, terutama untuk pasar ikan hidup di Asia seperti Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapura dan Malaysia (Johnston dan Yeeting 2006). Tiga jenis ikan kerapu hidup yang umum dipasarkan diwakili oleh genus: Epinephelus, Cromileptes dan Plectropomus. Harga jual ikan kerapu hidup sangat mahal sehingga merangsang pelaku usaha untuk membudidayakannya (Rimmer et al., 2004).
Ikan kerapu tersebar luas di seluruh wilayah Indo-Pasifik, dari selatan Jepang ke Palau, Guam, Kaledonia Baru, selatan Queensland, Australia, dan Samudera Hindia timur, dari Kepulauan Andaman dan Nikobar ke Broome, Australia Barat. Di Indonesia, ikan kerapu dapat ditemukan di daerah pesisir dan perairan laut di seluruh nusantara. Kerapu termasuk jenis ikan karnivora yang memangsa ikan kecil dan udang-udangan (krustasea). Ikan kerapu bersifat hermafrodit protogini yaitu lahir sebagai betina dan kemudian berubah menjadi jantan saat mereka tumbuh dewasa.
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah kerapu yang berukuran besar (panjang total; TL/total length dapat mencapai 120 cm) dan tersebar luas di wilayah Indo-Pasifik. Sepuluh tahun terakhir ini ikan kerapu menjadi ikan favorit untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya yang cepat, daya tahannya yang kuat terhadap perubahan lingkungan dan harga pasarnya yang baik. Panduan ini menyediakan petunjuk teknis dalam mengelola hatcheri untuk memproduksi benih ikan kerapu macan. Pedoman ini disusun berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman para penulis baik dalam percobaan maupun dalam produksi pembenihan skala kecil yang komersial.
Ikan kerapu merupakan ikan karang yang bersifat karnivora. Menurut Langkosono (2007), untuk memenuhi permintaan ikan kerapu mengandalkan hasil tangkapan dan budidaya. Namun hasil budidaya masih terbatas dan hanya berasal dari daerah tertentu saja seperti Bali, Tanjung Pinang, Batam, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan lain-lain. Saat ini budidaya ikan kerapu sudah berkembang, maka perlu ketersediaan benih secara kontinu, untuk mencukupi kebutuhan benih perlu adanya usaha pembenihan ikan kerapu, yang teknologinya sudah dapat diaplikasikan (Sugama et al., 2013; Ismi et al., 2011). Benih ikan kerapu yang sudah dapat memasok kebutuhan budidaya adalah ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu macan (E.  fuscoguttatus) (Ismi, 2006a; 2008, 2014; Ismi et al., 2011). Hingga saat ini di tingkat petani harga kerapu harga kerapu bebek Rp. 350.000/kg, kerapu macan Rp. 125.000/kg dan salah satu kerapu yang banyak di minati karena enak rasanya adalah kerapu batik (Epinephelus microdon) harga dilapangan Rp.140.000/kg namun mempunyai pertumbuhan yang lambat dan hingga saat ini produksi benihnya masih sulit (Giri, 2001). Menurut Utama (2008), permasalahan utama dalam pengembangan budidaya ikan kerapu macan adalah terbatasnya benih dalam kualitas maupun kuantitas. Keterbatasan benih ikan kerapu perlu diatasi agar perminataan pasar ikan kerapu dapat terpenuhi. Salah satunya dengan cara mengoptimalkan fungsi hatchery dalam memproduksi benih yang berkualitas dan berkuantitas.
Istilah hatchery banyak digunakan dalam dunia peternakan dan perikanan yang berarti pembenihan. Hatchery berarti bangunan yang digunakan sebagai tempat pembenihan ikan, dari pemijahan sampai menghasilkan larva. Bangunan hatchery bisa dibuat secara permanen, semipermanen, atau secara sederhana dari tanah. Hatchery sangat menentukan berhasil tidaknya pemijahan. Karena itu perlu diperhatikan konsep pemilihan lokasi yang sesuai, konsep teknis berdasarkan jenis kultivan, konsep design dan rancang bangun serta konsep operasional hatchery.

1.2.       Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari tugas manajemen hatchery yang berjudul “Hatchery Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)” adalah sebagai berikut:
1.             Bagaimana memilih lokasi hatchery pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)?
2.             Bagaimana mempersiapkan bioteknis hatchery pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)?
3.             Bagaimana menentukan sarana dan prasarana hatchery pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)?
4.             Bagaimana mempersiapkan wadah budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)  dengan produksi benih 50.000.000/siklus?

1.3.       Tujuan
Tujuan dari tugas manajemen hatchery yang berjudul “Hatchery Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)” adalah sebagai berikut:
1.             Untuk mengetahui pemilihan lokasi hatchery pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).
2.             Untuk mengetahui bagaimana mempersiapkan bioteknis hatchery pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).
3.             Untuk mengetahui bagaimana menentukan sarana dan prasarana hatchery pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).
4.             Untuk mengetahui bagaimana mempersiapkan wadah budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan produksi benih 50.000.000/siklus

II.               TINJAUAN PUSTAKA
2.1.       Taksonomi dan Morfologi
Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower atau carped cod. Menurut Randall (1987) dalam Antoro, S., dkk., (1998) menjelaskan sistematika ikan kerapu macan adalah :
Phylum            : Chordata
Subphylum      : Vertebrata
Classis             : Osteichtyes
Subclassis        : Actinopterigii
Ordo               : Percomorphi
Subordo          : Percoidea
Familia            : Serranidae
Genus              : Epinephelus
Species            : Epinephelus fuscoguttatus
Deskripsi oleh Subyakto dan Cahyaningsih (2005) menyebutkan bahwa ikan kerapu macan ini memiliki bentuk tubuh memanjang dan gepeng (compressed), tetapi kadang – kadang ada juga yang agak bulat. Mulutnya lebar serong ke atas dan bibir bawahnya menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi gigi – gigi geratan yang berderet dua baris, ujungnya lancip, dan kuat.
Sementara itu, ujung luar bagian depan dari gigi baris luar adalah gigi – gigi yang besar. Badan kerapu macan ditutupi oleh sisik yang mengkilap dan bercak loreng mirip bulu macan. Menurut Kordi (2001) bentuk tubuh ikan kerapu macan menyerupai kerapu lumpur, tetapi tubuh kerapu macan lebih tinggi. Kulit tubuh ikan kerapu macan dipenuhi dengan bintik – bintik gelap yang rapat. Sirip dadanya berwarna kemerahan, sedangkan sirip – sirip yang lain mempunyai tepi cokelat kemerahan. Pada garis rusuknya, terdapat 110 – 114 buah sisik. 










Sumber : Sugama et al., 2013
Gambar 1. Ikan kerapu macan dewasa (Epinephelus fuscoguttatus)

2.2.       Penyebaran dan Habitat
Daerah penyebaran kerapu macan adalah Afrika Timur, kepulauan Ryukyu (Jepang Selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia, dan Polinesia. Weber dan Beaufort (1931) dalam Subyakto dan Cahyaningsih (2005) mengatakan bahwa perairan di Indonesia yang memiliki jumlah populasi kerapu cukup banyak adalah perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon. Salah satu indikatornya adalah perairan karang, Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensial sumber daya ikannya sangat besar (Tampubolon dan Mulyadi, 1989).
Ikan kerapu muda umumnya hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 – 3,0 m. Habitat yang paling disenangi adalah perairan pantai di dekat muara sungai. Setelah menginjak dewasa (buraya) berpindah ke perairan yang lebih dalam, yaitu di kedalaman 7 – 40 m, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan sore hari. Telur dan larva bersifat pelagis sedangkan ikan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal atau berdiam di dasar kolam (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Habitat benih ikan kerapu macan adalah pantaiyang banyak ditumbuhi algae jenis reticulata dan Gracillaria sp., setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar pasir berlumpur (www.warintekprogressio.or.id, 1996). Parameter biologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur antara 24 - 320C, salinitas antara 30 –33 ppt, oksigen telarut lebih besar dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8 – 8,0 (Chua and Teng, 1978 dalam Antoro, dkk., 1998).

2.3.       Siklus Reproduksi dan Perkembangan Gonad
Ikan kerapu macan bersifat hermaprodit protogini, yaitu pada tahap perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar atau ketika umurnya bertambah tua. Fenomena perubahan jenis kelamin pada kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran benih (Smith, 1982 dalam Subyakto dan Cahyaningsih, 2005). Bobot kerapu macan betina 3,0 – 4,5 kg dan bobot kerapu macan jantan 5,0 – 6,0 kg ke atas atau ketika kerapu macan jantan sudah mampu menghasilkan sperma untuk membuahi telur ikan betina. Menurut Chen (1991) mengatakan bahwa pada jenis E. Diacanthus kecenderungan perkembangan matang gonad terjadi selama masa non reproduksi yaitu antara umur 2 – 6 tahun. Perkembangan matang gonad terbaik terjadi antara umur 2 – 3 tahun.
Proses pemijahan dilakukan secara bergerombol di perairan Indo Pasifik, puncak pemijahan berlangsung beberapa hari sebelum bulan purnama pada malam hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Beberapa spesies dari ikan kerapu mempunyai musim pemijahan 6 – 8 kali per tahun sedangkan pemijahan pertama (prespawning) terjadi satu sampai dua kali per tahun (Shapiro, 1987 dalam Antoro, dkk., 1998). Musim pemijahan ikan kerapu di Indonesia terjadi pada bulan Juni – September dan November – Februari (Sugama, 1999).

2.4.       Kebiasaan Makan
Ikan kerapu macan dikenal sebagai predator atau piscivorous yaitu pemangsa jenis ikan – ikan kecil, zooplankton, udang – udangan, invertebrata, rebon dan hewan – hewan kecil lainnya (Kordi, 2001). Ikan kerapu macan termasuk jenis karnivora dan cara makannya memangsa satu per satu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar, sedangkan larva ikan kerapu pemakan larva moluska (trokofor), rotifera, microcrustacea, copepoda dan zooplankton (www.warintekprogressio.or.id, 1996).
Tampubolon dan Mulyadi (1989) menjelaskan bahwa spesies kerapu yang mempunyai panjang usus lebih panjang dibandingkan panjang tubuhnya, diduga memiliki pertumbuhan yang cepat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas dan kebiasaan dalam tingkat pemilihan jenis makanan. Panjang usus relatif ikan kerapu sebagai ikan karnivora berkisar 0,26 – 1,54 meter, selain itu usus ikan kerapu yang di amati memiliki lipatan – lipatan yang dapat menambah luas permukaan usus ikan dan berfungsi sebagai penyerapan makanan.
Utoyo, dkk., dalam Antoro, dkk., (1998) menyatakan bahwa kapasitas penyerapan makanan meningkat dengan meningkatnya luas permukaan dinding usus ikan melalui pengembangan klep spiral lipatan usus. Nybakken dalam Antoro, dkk., (1998) menambahkan bahwa ikan kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air dan bersifat nocturnal. Selain itu mereka juga mempunyai sifat buruk, yakni kanibalisme yang muncul pada larva yang berumur 30 hari akibat pasokan makanan yang tidak mencukupi.

2.5.       Persyaratan Lokasi Pembenihan
Persyaratan lokasi pembenihan yang baik meliputi faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam memproduksi benih (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) beberapa aspek penting yang harus dipenuhi adalah letak unit pembenihan di tepi pantai untuk memudahkan perolehan sumber air laut. Pantai tidak terlalu landai dengan kondisi dasar laut yang tidak berlumpur dan mudah dijangkau untuk memperlancar transportasi. Air laut harus bersih, tidak tercemar dengan salinitas 28 – 35 ppt. Sumber air laut dapat dipompa minimal 20 jam per hari. Sumber air tawar tersedia dengan salinitas maksimal 5 ppt. Peruntukan lokasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah/Wilayah (RUTRD/RUTRW).
Faktor non teknis merupakan pelengkap dan pendukung faktor – faktor teknis dalam pemilihan lokasi pembenihan. Persyaratan lokasi yang termasuk dalam faktor non teknis meliputi beberapa kemudahan seperti sarana transportasi, komunikasi, instalasi listrik (PLN), tenaga kerja, pemasaran, laboratorium, asrama, tempat ibadah dan pelayanan kesehatan. Selain itu, hal lain yang dapat menunjang kelangsungan usaha yakni adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat, termasuk dukungan masyarakat sekitar (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005).

2.6.       Pengelolaan Pakan
Media pemeliharaan larva umur 1 – 15 hari diberi Chlorella vulgaris untuk menjaga keseimbangan kualitas air dan sebagai pakan Rotifera yang ada dalam bak pemeliharaan. Pada larva umur 3 – 15 hari pakan alami yang diberikan adalah Rotifera dengan kepadatan 10 – 20 individu/ml. Larva umur 12 – 20 hari pakan alami yang diberikan adalah naupli Artemia spp. dengan kepadatan 1 – 3 individu/ml. Larva umur 21 – 30 hari diberi Artemia spp. muda dengan kepadatan 1 – 1,5 individu/ml. Larva umur 30 – 45 hari diberi Artemia spp. dewasa (Minjoyo dkk., 1998).

2.7.       Pengelolaan Kualitas Air
Pada hari pertama setelah menetas dilakukan penyifonan untuk membuang cangkang dan telur yang tidak menetas. Minjoyo dkk.,(1998) menyatakan larva umur 2 – 7 hari tidak dilakukan penyifonan karena masih dalam masa kritis sehingga sangat membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Penyifonan dilakukan pada larva umur 8 – 20 hari tiap 3 hari sekali, larva umur 21 hari penyifonan dilakukan setiap 2 hari sekali. Pergantian air mulai dilakukan pada larva umur 8 – 15 hari sebanyak 5 – 10% tiap 3 hari sekali. Pada larva umur 15 – 25 hari sebanyak 10 – 25% dan umur 25 – 35 hari sebanyak 20 – 30% tiap 1 hari sekali. Pada larva umur 35 hari sebanyak 40 – 60% tiap hari.

2.8.       Penyeragaman Ukuran (Grading)
Minjoyo dkk.(1998) menyatakan bahwa grading dimaksudkan untuk menyeragamkan ikan peliharaan yang ditempatkan dalam satu wadah dan bukan merupakan jalan pemecahan untuk mengatasi sifat kanibal melainkan mengurangi sifat kanibal. Sifat kanibal menurunkan tingkat populasi dan cara yang paling tepat untuk menguranginya adalah menyediakan pakan secara optimal. Grading pada ikan dilakukan pada waktu larva berumur 35 hari dimana larva sudah menjadi benih.



III.           PEMBAHASAN
3.1.       Konsep Latar Belakang, Jenis Kultivan, Visi Misi,  Manfaat Dan Kegiatan Usaha Hatchery
3.1.1. Konsep Latar Belakang
Ikan kerapu merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena permintaan di pasar dunia maupun domestik cukup tinggi. Rasa dagingnya yang lezat, membuat ikan kerapu ini memiliki nilai jual yang tinggi. Prospek budidaya ikan kerapu yang cerah ini, disebabkan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar baik pasar luar negeri mapun domestik. Pasar luar negeri yang potensial adalah Hongkong, Singapura dan Jepang, sementara pasar domestik diperuntukkan sebagai hidangan di restoran dan hotel (Ismail, 2009). Target produksi ikan kerapu berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No. 113/PER-DJPB/2015 pada tahun 2016 adalah 50.400 ton sehingga kebutuhan benih ikan kerapu tahun 2016 sekitar 126 juta ekor.
Ikan kerapu merupakan ikan karang yang bersifat karnivora. Menurut Langkosono (2007), untuk memenuhi permintaan ikan kerapu mengandalkan hasil tangkapan dan budidaya. Namun hasil budidaya masih terbatas dan hanya berasal dari daerah tertentu saja seperti Bali, Tanjung Pinang, Batam, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan lain-lain. Saat ini budidaya ikan kerapu sudah berkembang, maka perlu ketersediaan benih secara kontinu, untuk mencukupi kebutuhan benih perlu adanya usaha pembenihan ikan kerapu, yang teknologinya sudah dapat diaplikasikan (Sugama et al., 2013; Ismi et al., 2011). Benih ikan kerapu yang sudah dapat memasok kebutuhan budidaya adalah ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu macan (E.  fuscoguttatus) (Ismi, 2006a; 2008, 2014; Ismi et al., 2011). Hingga saat ini di tingkat petani harga kerapu harga kerapu bebek Rp. 350.000/kg, kerapu macan Rp. 125.000/kg dan salah satu kerapu yang banyak di minati karena enak rasanya adalah kerapu batik (Epinephelus microdon) harga dilapangan Rp.140.000/kg namun mempunyai pertumbuhan yang lambat dan hingga saat ini produksi benihnya masih sulit (Giri, 2001). Menurut Utama (2008), permasalahan utama dalam pengembangan budidaya ikan kerapu macan adalah terbatasnya benih dalam kualitas maupun kuantitas. Keterbatasan benih ikan kerapu perlu diatasi agar perminataan pasar ikan kerapu dapat terpenuhi. Salah satunya dengan cara mengoptimalkan fungsi hatchery dalam memproduksi benih yang berkualitas dan berkuantitas.
Istilah hatchery banyak digunakan dalam dunia peternakan dan perikanan yang berarti pembenihan. Hatchery berarti bangunan yang digunakan sebagai tempat pembenihan ikan, dari pemijahan sampai menghasilkan larva. Bangunan hatchery bisa dibuat secara permanen, semipermanen, atau secara sederhana dari tanah. Hatchery sangat menentukan berhasil tidaknya pemijahan. Karena itu perlu diperhatikan konsep pemilihan lokasi yang sesuai, konsep teknis berdasarkan jenis kultivan, konsep design dan rancang bangun serta konsep operasional hatchery.
3.1.2. Jenis Kultivan
Jenis kultivan yang dipilih pada hatchery yaitu ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Klasifikasi ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah sebagai berikut (Utama, 2008):
Class                : Chondrichthyes
Sub class         : Ellasmobranchii
Ordo                : Percomorphi
Divisi               : Perciformes
Famili              : Serranidae
Genus              : Epinephelus
Species            : Epinephelus fuscoguttatus

Epinephelus fuscoguttatus mempunyai warna kuning kecoklatan sampai coklat muda dengan percakan coklat gelap yang tidak beraturan bentuknya pada kepala, punggung dan kedua sisi tubuhnya. Kepala, tubuh dan sirip memiliki bintik-bintik gelap kecil dan tempat pelana hitam di pangkal ekor. Ikan ini memiliki 11 duri punggung, 14-15 buah ruas lunak pada sirip punggungnya, 3 duri anal dan 8 duri lunak anal (Sugama et al., 2013).
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) atau sering juga disebut Groouper dipasarkan dalam keadaan hidup. Golongan ikan kerapu yang paling banyak adalah golongan Epinepelus sp, namun yang paling banyak di kenal di budidayakan adalah jenis kerapu Lumpur (Epinephelus suillus) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Golongan Epinephelus memiliki tubuh yang lebih tinggi dari kerapu Lumpur (Epinephelus suillus), dengan bintik-bintik yang rapat dan berwarna gelap, sirip ikan kerapu macan berwarna kemerahan, sedangkan bagian sirip yang lain berwarna coklat kemerahan (Sunyoto dan Mustahal, 2002).
Menurut Anonim (1991), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan kelompok yang hidup di dasar perairan berbatu dengan kedalaman 60 meter dan daerah dangkal yang mengandung koral. Selama siklus hidupnya memiliki habitat yang berbeda-beda pada setiap fasenya, ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mampu hidup di daerah dengan kedalaman 0.5-3 meter pada area padang lamun, selanjutnya menginjak dewasa akan berpinda ke tempat yang lebih dalam lagi, dan perpindahan ikan berlansung pada pagi hari atau menjalan senja. Telur dan larva ikan kerapu macan bersifat pelagis sedangkan ikan kerapu muda hingga dewasa bersifat domersal. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) bersifat nokturnal, dimana pada siang hari lebih banyak bersembunyi pada liang-liang karang dan akan beraktifitas pada malam hari unuk mencari makanan (Anonim, 1991).
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan hewan karnifora yang memansa ikan-ikan kecil, kepiting, dan udang-udangan, sedangkan larva merupakan memansa larva moluska. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) bersifat karnifora dan cenderung menangkap/memansa yang aktif bergerak di dalam kolam air (Anonim, 1991), ikan kerapu macan juga bersifat kanibal. Biasanya mulai terjadi saat larfa kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat itu larva cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tinggi.
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) bersifat hermaprodit protogini, yaitu perubahan kelamin dari betina dan menjelang dewasa akan berubah menjadi jantan (Sunyoto dan Mustahal, 2002). Ikan kerapu mulai suklus reproduksinya sebagai ikan betina, kemudian akan berubah menjadi ikan jantan yang berfungsi masa interseks dan masa terakhir masa jantan (Effendie, 1997). Ketika ikan kerapu masih muda (juvenile), gonadnya mempunyai daerah ovarium dan daerah testis. Jaringan ovari kemudian mengisih sebagian gonad dan setelah jaringan ovari berfungsi mampu menhasilkan telur, Kemudian akan terjadi transisi di mana testisnya akan membesar dan ovarinya mengurut. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang sudah tua umumnya ovarium sudah teroduksi sekali sehingga sebagian besar dari gonad terisi oleh jaringan lain.  Fase produksi pada induk betina  di capai pada panjang tubuh antara 45-50 cm dengan berat 3-10 kg dan umur kurang lebih 5 tahun, selanjutnya menjadi jantan yang matang gonad pada ukuran minimal 74 cm dengan berat kurang lebih 11 kg.
Sekitar 50% dari kebutuhan kalori yang diperlukan oleh ikan berasal dari protein. Bahan ini berfungsi untuk membangun otot, sel-sel dan jaringan tubuh, terutama bagi ikan-ikan muda. Kebutuhan protein sendiri bervariasi tergantung pada jenis ikannya. Meskipun demikian, protein adalah unsur yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan pada seluruh jenis ikan. Umumnya, ikan membutuhkan protein lebih banyak daripada hewan-hewan ternak di darat (unggas dan mamalia). Jenis dan umur ikan juga berpengaruh pada kebutuhan protein. Ikan karnivora membutuhkan protein yang lebih banyak daripada ikan herbivora, sedangkan ikan omnivora berada diantara keduanya. Umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 20-60%, dan optimum 30- 36% (Masyamsir, 2001). Umumnya kebutuhan ikan terhadap protein dapat digolongkan secara garis besar sebagai berikut yaitu ikan-ikan herbivor 15-30% dari total pakan dan 45% bagi ikan karnivor. Sedangkan untuk ikan-ikan omnivor diperlukan dengan kandungaan protein 50%.


3.1.3. Tujuan
Tujuan dari hatchery ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah sebagai berikut:
1.               Menentukan dan memilih lokasi hatchery pada budidaya ikan kerapu;
2.               Mempersiapkan bio-teknis hatchery pada budidaya ikan kerapu;
3.               Menyiapkan pakan sesuai dengan feeding regime pada budidaya ikan kerapu;
4.               Menentukan tata letak calon hatchery, rancangan bangun, dan design hatchery ikan kerapu; dan
5.               Melakukan kegiatan pembenihan sesuai dengan standar operasional prosedur kegiatan pada budidaya ikan kerapu.

3.1.4. Visi dan Misi
Visi:
“Mewujudkan Balai Benih Ikan Kerapu menjadi Tontonan, Tunntunan, dan Mandiri”
Misi :
1.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas benih unggul ikan kerapu macan;
2.      Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan kawasan pembenihan ikan kerapu macan; dan
3.      Mewujudkan ikan kerapu macan sebagai komoditas unggulan dan andalan perikanan nasional

3.1.5. Manfaat Program dan Kegiatan Hatchery
Manfaat program dan kegiatan hatchery ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah sebagai berikut:
1.             Penyelenggaraan pengkajian bahan penyusunan petunjuk tehnis pengembangan benih ikan kerapu macan; dan
2.             Penyelenggaraan pengembangan benih ikan kerapu macan.



3.2.       Konsep penentuan lokasi hatchery (site selection)
3.2.1. Penentuan Lokasi
Pemilihan lokasi sangat penting untuk hatchery ikan kerapu. Sumber air yang bersih sangat menentukan. Menurut Sim et al. (2005), lokasi yang cocok untuk hatchery ikan laut harus memiliki karakteristik berikut:
-          Sumber air yang baik-air laut maupun air tawar
-          Infrastruktur yang baik, seperti jalan, listrik dan suplai air tawar
-          Bebas dari polusi limbah rumah tangga, industri, perikanan dan pertanian.
-          Terletak di daerah dimana dukungan teknis dapat diperoleh dari pemerintah atau pusatpusat penelitian.
-          Memungkinkan akses terhadap:
1)      Telur yang sudah dibuahi bermutu baik.
2)      Penyedia pakan hidup dan hatchery.
3)      Pedagang/eksportir benih.

Pantai yang bersih menyediakan sumber air yang bersih untuk kebutuhan kegiatan hatchery ikan kerapu. Perairan yang keruh perlu adanya penyaringan supaya layak untuk digunakan dalam hatchery ikan. kekeruhan mungkin berasal dari perairan sungai sehingga rawan menyebabkan perubahan salinitas perairan. Menurut Sim et al. (2005), pemilihan hatchery perlu menghindari hal-hal sebagai berikut:
1.      Suplai air laut yang berkualitas jelek atau terpolusi (sangat keruh, kandungan nutrient yang tinggi, salinitas yang bervariasi akibat aliran air tawar).
2.      Lokasi hatchery yang dekat dengan lokasi hatchery lain, karena dapat menyebabkan:
-          Hatchery dapat membuang limbah yang kaya akan nutrien.
-          Penularan penyakit dari satu hatchery ke hatchery lain, baik melalui kontak secara langsung maupun melalui buangan dari hatchery.
3.      Daerah rawan terjadi konflik kepentingan antar masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut.

Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan kerapu memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan mendukung kelangsungan usaha dan target produksi. Pemilihan lokasi meliputi beberapa faktor, antara lain:
1.             Faktor Teknis
Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam memproduksi benih (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI):
1)      Letak unit pembenihan di tepi pantai untuk memudahkan perolehan sumber air laut,
2)      Pantai tidak terlalu landai dengan kondisi dasar laut yang tidak berlumpur dan mudah dijangkau untuk memperlancar transportasi,
3)      Air laut harus bersih, tidak tercemar dengan salinitas 28 – 35 ppt,
4)      Sumber air laut dapat dipompa minimal 20 jam per hari,
5)      Sumber air tawar tersedia dengan salinitas maksimal 5 ppt,
6)      Peruntukan lokasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah/Wilayah (RUTRD/RUTRW).
2.             Faktor Non Teknis
Faktor non teknis merupakan pelengkap dan pendukung faktor-faktor teknis dalam pemilihan lokasi pembenihan. Persyaratan lokasi yang termasuk dalam faktor non teknis meliputi beberapa kemudahan seperti sarana transportasi, komunikasi, instalasi listrik (PLN), tenaga kerja, pemasaran, laboratorium, asrama, tempat ibadah dan pelayanan kesehatan. Selain itu, hal lain yang dapat menunjang kelangsungan usaha yakni adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat, termasuk dukungan masyarakat sekitar (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003).

3.3.       Konsep bioteknisi hatchery kultivan terpilih
Komponen utama yang perlu diperhatikan dalam desain dan pengoperasian tempat pembenihan, terlepas jenis skalanya, adalah pelaksanaan biosekuriti untuk mengurangi timbulnya penyakit, terutama VNN (viral nervous necrosis). Untuk lebih mendukung biosekuriti dan mengurangi timbulnya penyakit, tempat pembenihan harus diletakkan jauh dari fasilitas dan kegiatan budidaya ikan lainnya, khususnya limbah dari tempat pembenihan lain, pendederan dan pembesaran.

1. Pemisahan berbagai area fungsional (area indukan, produksi pakan hidup, dan pemeliharaan larva) dengan tempat cuci kaki dan cuci tangan pada titik-titik akses.
2.  Akses ke lokasi pembenihan terbatas hanya bagi orang yang berkepentingan.
3. Disinfeksi dan pembilasan yang seksama pada semua perlengkapan, termasuk perlengkapan untuk memantau kualitas air, jarring dan baskom sebelum digunakan dan ketika dipindahkan antar tempat.
4.  Karantina ikan baru (indukan, larva atau gelondongan).
5. Pengelompokan produksi larva, dengan disinfeksi dan pengeringan tempat pembenihan antara kelompok.
6.  Pelatihan staf dalam hal biosekuriti dan pengelolaan kesehatan.
7.  Pemisahan yang ketat pada kelompok ikan yang terindikasi terinfeksi penyakit.
8.  Pemantauan yang teratur terhadap kuman dan penyakit serta diagnosis cepat dari setiap kejadian penyakit.
9. Optimalisasi kualitas air dan nutrisi untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan dan ketahanan larva.

Tata Letak Calon Hatchery

Tata letak hatchery harus diatur sedemikian agar memudahkan dalam pengoperasiannya dan juga harus bebas dari resiko kecelakaan kerja. Pengaturan tata letaknya juga harus mempertimbangkan kemungkinan pengembangan ke depan, dengan menyediakan ruangan agar di kemudian hari dapat digunakan untuk konstruksi tangki, suplai air dan udara, dan lain-lain.

3.5.       Konsep rancang bangun dan desain hatchery
Desain untuk pembenihan harus dilakukan sebaik mungkin. Mulai dari fungsi desain, tata letak, skala produksi sampai sarana dan prasarana harus dipersiapkan dengan baik.
3.5.1. Fungsi Desain
          Desain unit pembenihan adalah penataan ruangan dan lay out. Dengan demikian, aktifitas dalam proses produksi dapat berjalan lancar dan untuk mencegah adanya kontaminasi silang. Efisiensi waktu dan tenaga kerja serta efektifitas penggunaan sarana dan prasarana pembenihan harus menjadi pertimbangan dalam membangun sebuah hatchery pembenihan.
1.    Desain dan deskripsi tangki, bagian ini menggambarkan tipe-tipe tangki utama dalam hatchery. Tangki dimaksud adalah tangki saringan pasir, tangki larva dan tangki untuk pakan hidup.
2.    Tangki saringan pasir, hatchery dapat menggunakan saringan pasir secara gravitasi untuk memisahkan partikel- partikel kasar dan organisme dari sumber air. Beberapa tangki saringan biasanya dibuat dari beton dan mediumnya terdiri dari batuan di bagian dasarnya kemudian kerikil dan pasir pada lapisan atasnya. Air masuk dari bagian atas tangki ini, dan tersaring melewati media dari atas ke bawah sebelum dialirkan ke tangki pemeliharaan larva.
3.    Tangki pemeliharaan larva, tangki pemeliharaan larva umumnya terbuat dari beton, berbentuk persegi atau bujur-sangkar. Kapasitas tangki berkisar antara 6-10 m3. Biasanya tangki larva memiliki kedalaman 1 meter, tetapi untuk tangki pendederan antara 0.5-1 meter. Semua tangki beton yang digunakan untuk hatchery biasanya bagian dalamnya dicat epoxy untuk mencegah air kontak langsung dengan beton. Pada hatchery ikan laut, tangki sering dicat dengan warna biru atau kuning (untuk ikan bandeng).
4.    Tangki untuk pakan hidup, tangki produksi mikroalga biasanya mencakup sekitar 30% dari volume produksi total hatchery skala kecil. Tangki ini biasanya terletak di luar gedung hatchery dan tidak memiliki atap. Kapasitasnya bervariasi antara 10-20 m3. Tangki untuk rotifer biasanya terletak dekat dengan lokasi kultur mikroalga, meski-pun pada beberapa lokasi hatchery, rotifer dapat dikultur dalam ruangan. Umumnya, areal kultur rotifer meliputi 10% dari total area hatchery. Tangki rotifer biasanya 5-6 m3. Artemia ditetaskan dalam tangki fibreglass atau plastik. Tangki ini berkapasitas 20-500 liter. Hatchery skala lebih besar dapat menggunakan tangki beton untuk memenuhi kebutuhan produksi yang lebih tinggi.

3.5.2. Skala Produksi
Pembenihan kerapu dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pembenihan skala lengkap dan skala rumah tangga. Perbedaan keduanya terletak pada kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Pembenihan kerapu skala lengkap harus terdapat fasilitas pembenihan larva, pakan alami, pemeliharaan induk dan laboratorium. Sementara itu, pembenihan kerapu skala rumah tangga diawali dari penetasan telur tanpa adanya pemijahan induk. Selain itu, kegiatan kultur pakan alami dilakukan pada skala massal tanpa adanya kultur murni dalam laboratorium maupun intermediet seperti halnya pembenihan skala lengkap.

3.6.       Prinsip dasar standar operasional prosedur setiap kegiatan
A.           Kunci Pengoperasian Hatchery
a.             Sintasan
Sintasan pada tahap berbeda bervariasi antara hatchery dan juga antara cara produksi. Diagram ini hanya sebagai acuan spesies kerapu yang berbeda akan mempunyai kebutuhan yang berbeda pada berbagai tahap.
Tabel 1. Sintasan Larva Kerapu

Hari
Sintasan
Awal Penebaran
1
100%
Pemberian rotifer awal
4
40%
Setelah pakan awal
6
20%
Pemberian Artemia
10
15%
Kematian hari ke 25
25
12%
Pemberian pakan
35
10%
Ukuran penjualan
60
5%

b.            Produksi per unit modul kultur
Produksi larva per siklus ±2.000.000 ekor (60 hari) dengan SR hari ke 60 yaitu 5% dan derajat penetasan telur HR 70%. Ukuran induk betina 5-10 kg. kepadatan larva kerapu 10 ekor/L.

B.            Pekerja dan Keterampilan dalam hatchery
a.             Jumlah pekerja
Hatchery akan membutuhkan teknisi penuh waktu dan paruh waktu atau pekerja sambilan untuk membantu, khususnya selama waktu panen. Jika terdapat lebih dari empat tangki larva, dibutuhkan dua staf penuh waktu (satu teknisi dan satu buruh).
b.            Tingkat keterampilan
Keterampilan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan hatchery. Pelatihan dasar aspek-aspek teknis dibutuhkan dari hari ke hari operasi hatchery. Pekerjaan rutin sehari-hari termasuk pembersihan tangki larva, pemanenan mikroalga, rotifer dan Artemia, pemberian pakan kepada larva, dan lain-lain. Jenis pelatihan dasar dapat diperoleh dari penyuluhan oleh pemerintah atau pusat penelitian.

C.           Pembenihan Ikan Kerapu
a.             Pemijahan
Indukan kerapu macan dibiarkan untuk memijah secara alami dalam tangki.
Pemijahan umumnya terjadi pada malam hari (antara jam 9 malam-3 pagi). Pemijahan berlangsung selama tiga sampai enam malam setiap bulan selama fase bulan baru. Indukan kerapu umumnya dapat bertelur sepanjang tahun (Sugama et al., 2013). Selama periode pemijahan, kerapu macan dapat bertelur antara 0,8 dan 6,0 juta telur setiap malam. Apabila suhu air turun menjadi sekitar 25° C, indukan kerapu macan biasanya berhenti memijah. Kalaupun indukan tersebut memijah selama periode ini, telur yang dihasilkan hanya sedikit dan kualitasnya rendah sehingga tidak dapat digunakan untuk produksi pembenihan.
b.            Prosedur penaganan telur
-                Pengumpulan Telur
Ketika terjadi pemijahan, telur yang telah dibuahi akan terapung dan dikumpulkan melalui tangki overflow yang ditampung dengan jaring halus (Plankton net) dengan kerapatan 400 μm. Telur kerapu yang sudah dibuahi tidak lengket dan terapung, diameternya bekisar antara 0,8-0,9 mm. Telur kerapu sensitif terhadap penanganan, pada fase perkembangan awal, telur boleh dipindahkan dari jaring pengumpul saat kantung optik pada embrio telah berkembang, yaitu pada tahap pertumbuhan mata. Penanganan/pemindahan telur sebelum fase ini akan menyebabkan kematian dan tingkat abnormalitas larva tinggi.
-                Disinfeksi
Digunakan untuk meminimalkan kemungkinan penularan vertikal penyakit VNN, telur berbagai spesies ikan laut yang telah dibuahi diberi perlakuan ozonisasi. Telur kerapu harus mendapatkan nilai skor waktu konsentrasi × waktu paparan (CT) sekitar 1,0 selama 1 menit atau nilai yang setara (misalnya 0,8 mg/L selama 1,25 menit).
-                Inkubasi
Setelah dicuci dengan air yang telah diozonisasi, telur dibilas dengan air laut
bersih yang telah didisinfeksi (menggunakan ozon). Inkubasi dilakukan setelah  telur dicuci, telur dipindahkan ke dalam tangki berukuran 0,5–1,0 m3 yang sudah diisi air laut dan dilengkapi aerasi. Hanya telur yang terapung yang digunakan untuk pemeliharaan larva, karena telur ini kemungkinan besar telah dibuahi dibandingkan dengan telur yang tenggelam yang biasanya tidak dibuahi atau mati. Telur yang tidak dibuahi mengendap di bagian bawah tangki induk dan harus dibersihkan dengan cara disiphon. Apabila ada telur yang belum dibuahi yang masuk ke dalam tangki inkubasi, telur tersebut harus dihisap keluar dan dibuang untuk mencegah penurunan kualitas air.
c.             Pembuahan dan Penetasan
Baik tingkat pembuahan dan tingkat penetasan ikan kerapu keduanya harus lebih tinggi dari 50%, dan lebih baik > dari 80%. Larva ikan dari kelompok telur dengan tingkat pembuahan dan penetasan yang buruk (<30%) dianggap sebagai larva yang berkualitas buruk, dan umumnya menunjukkan sintasan yang rendah, rasio abnormal yang tinggi dan masalah kesehatan lainnya. Kelompok tersebut biasanya dibuang. Telur kerapu macan menetas antara 18 hingga 22 jam setelah pembuahan pada suhu 27–29 °C.
d.            Pemeliharaan larva
Umumnya, telur ikan kerapu ditebar di tahap pertumbuhan mata sebelum menetas karena tahap ini adalah tahapan yang lebih kuat daripada larva yang baru menetas. Larva yang baru menetas sangat sensitiv terhadap guncangan fisik atau perubahan kualitas air. Pemindahkan larva dari tangki penetasan ke tangki pembesaran larva dapat mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi bila tidak berhati-hati. Dikarenakan tingkat penetasan tidak diketahui, sebelum telur ditebar dalam tangki pemeliharaan larva, jumlah telur yang akan ditebar diduga dari riwayat tingkat penetasan pada tempat pembenihan yang bersangkutan. Perkiraan akurat jumlah larva yang ditebar dapat dihitung kembali dengan menggunakan data dari kelompok yang sebenarnya ditebar, seperti dijelaskan di atas. Jika tingkat penetasan rendah, larva dalam tangki pemeliharaan larva harus dibuang, dan tangki dibersihkan serta didisinfeksi.
Air laut yang digunakan untuk mengisi tangki pemeliharaan larva harus disaring dengan saringan pasir, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kotoran masuk ke tangki larva kemudian disterilisasi menggunakan ozon atau klorin untuk mengurangi potensi datangnya patogen dalam pasokan air. Kepadatan tebar awal yang direkomendasikan untuk kerapu macan adalah 10 larva/L.
Larva kerapu macan yang baru menetas berukuran TL 1.4–1.7 mm. Perkembangan larva kerapu macan ditunjukkan saat mulut membuka 2–3 hari setelah menetas dan kuning telur sudah benar-benar diserap. Larva ikan kerapu macan telah bermetamorfosis menjadi juvenile dengan ukuran TL mulai 2,0–2,8 cm. Sintasan kerapu macan berkisar antara 5–40% dan umumnya berkisar antara 15–25%. Untuk tangki pemeliharaan larva berukuran 10 m3, awalnya ditebar dengan kepadatan 10 ekor larva/L, dengan harapan hasil panen benih sekitar 20.000 ekor. Ukuran benih yang dipanen masih terlalu kecil untuk ditebar dalam keramba jaring apung (KJA). Oleh karena itu diperlukan pendederan lebih lanjut untuk menghasilkan benih yang lebih besar dan layak untuk ditebar di KJA.



D.           Manajemen Pemberian Pakan
Bagian ini memaparkan tipe pakan hidup yang digunakan dalam hatchery skala kecil di dalamnya termasuk mikroalga, zooplankton dan misid.
1.    Mikroalga, mikroalga yang digunakan dalam hatchery adalah Nannochloropsis, yang digunakan untuk mengkultur rotifer. Mikroalga dimasukkan ke dalam wadah kultur rotifer sebagai sumber pakan bagi rotifer. Bibit Nannochloropsis dapat diperoleh dari hatchery pemerintah setempat.
2.    Rotifer, ada dua tipe rotifer yang digunakan hatchery ikan laut. ‘Super-small’ atau ‘SS’-strain rotifer (Brachionus rotundiformis) digunakan sebagai pakan awal ketika larva mengganti sumber pakan internal dengan pakan eksternal. Tipe rotifer yang agak besar (‘small’ or S-strain) rotifer diberikan setelah beberapa hari pertama kultur larva. Komposisi nutrisi rotifer yang dikultur dengan Nannochloropsis harus dimodifikasi untuk meningkatkan kadar asam lemak tak jenuh (HUFA) agar dapat menyediakan nutrisi yang memadai untuk larva ikan. Hal ini dilakukan dengan membiarkan rotifer dalam tangki dengan media pengkayaan komersial selama 12-24 jam.
3.    Artemia, nauplii Artemia nauplii digunakan selama tahap lanjut pemeliharaan larva. Seperti halnya rotifer, Artemia harus diperkaya untuk meningkatkan nilai nutrisinya sebelum diberikan pada larva ikan.
4.    Misid adalah udang putih yang sangat kecil (Palaemon spp.) yang dapat ditemukan dalam tambak udang dimana mereka biasanya terdapat dalam jumlah yang besar dan dapat dikumpulkan dengan jaring yang halus. Misid dapat digunakan sebagai sumber pakan alternatif untuk larva kerapu selama tahap lanjut, yakni setelah hari ke 35.
5.    Pakan buatan, sebagian besar ikan laut membutuhkan pakan hidup selama masa larva. Namun demikian, pakan hidup dapat ditambah dengan pakan buatan pada tahap lanjut larva, khususnya ketika larva ikan mulai diberi Artemia. Beberapa pakan buatan untuk larva ikan tersedia secara komersial.

E.        Teknik Kultur Pakan Alami
a.             Kultur fitoplankton Nannochloropsis oculata
Nannochloropsis sp. lebih dikenal dengan nama Chlorella laut. Dalam pembenihan mempunyai tiga peranan yaitu digunakan sebagai pakan pada klutur rotifera, untuk pengkayaan rotifera, dan untuk menghasilkan efek “green water” pada pemeliharaan larva. Nannochloropsis sp. dapat digunakan sebagai pakan rotifera, karena ukuran tubuhnya sesuai dengan bukaan mulut rotifera, mempunyai kandungan vitamin B12 yang sangat penting untuk populasi rotifera dan penting untuk nilai nutrisi rotifera untuk pakan larva dan juvenil ikan laut (Meritasari et al., 2010).
Kepadatan optimum yang dapat dicapai untuk skala laboratrium 50-60 juta sel/mL, skala semi massal 20-25 juta sel/mL dan massal 15-20 juta sel/mL dengan masa kultur 4-7 hari (Anon, 2009). Nannochloropsis sp. memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi yaitu antara 31-68% berat kering (Rezza, 2011). Menurut Sari dan Manan (2012), kultur skala massal diawali dengan pencucian bak kultur. Treatment air laut dengan larutan kaporit 50 ppm, diaerasi kuat agar kaporit tercampur merata sehingga dapat mematikan organisme-organisme patogen, setelah 15 menit matikan aerasi agar chlor tidak mudah menguap, biarkan selama 24 jam. Menetralkan kandungan kaporit dalam media maka ditambahkan Natrium thiosulfat 25 ppm. Setelah 15 menit media netral dilakukan pemupukan. Media kultur yang telah netral dari kandungan kaporit dapat digunakan untuk kultur. Pengisian air laut bersalinitas 30-32 ppt pada bak melalui pipa inlet yang diberi filter bag berukuran 10 mikron sebagai penyaring air laut. Perbandingan antara bibit dan media air laut yaitu 1:4. Pertama pengisisan air laut 10 ton ke dalam bak, kemudian bibit menggunakan pompa celup dan selang spiral 1 inch sebanyak 2 ton sehingga volume total dalam bak 12 ton.
Stater atau bibit N. oculata yang digunakan berasal dari kultur skala intermediet dengan kepadatan awal kultur kurang lebih 2 juta sel/ml, bibit dimasukkan dalam media kultur. Pemupukan dengan komposisi pupuk FeCl3 1 ppm, EDTA 5 ppm, TSP 20 ppm, ZA 40 ppm dan Urea 50 ppm, aerasi dibesarkan sehingga pupuk menyebar dan tidak langsung mengendap ke dasar. Pemeliharan bibit selama 7 hari. Pemanenan bibit setelah 5-6 hari dengan kepadatan mencapai 12-16 x 106 sel/mL. Teknik panen dengan menggunakan pompa celup dan didistribusikan ke dalam bak pembenihan sebagai pakan larva dan juga berfungsi sebagai penyangga lingkungan dan juga didistribusikan ke dalam bak rotifer (Sari dan Manan, 2012). Wadah yang sudah dipanen akan berkurang volume airnya. Biasanya ditambahkan air 50% dan dilakukan pemupukan kembali.
b.            Kultur Rotifer
Bak yang digunakan kultur ukuran 5-12 m3. Kolam dibersihkan dan dikeringkan selama 3-4 hari dan diberikan kapur tohot 200-300 g/m2 dan pupuk. Kemudian air laut dengan salinitas 20-25 ppt dialirkan ke dalam bak. Menurut Suastika dan Sumiarsa (2011), rotifer dikultur dengan kepadatan awal 40-50 ind/mL. Pakan yang digunakan dalam pemeliharaan adalah plankton Nannochloropsis oculata hasil kultur massal di luar ruangan wadah bak beton dengan kepadatan (± 12-16 x 106 sel/mL). Pemanenan rotifer dilakukan pada hari ke lima dengan kepadatan 250 ind/mL. Pemanenan dilakukan menggunakan plankton net 100 mm.

c.              Penetasan Artemia
Menurut Panggabean (1984), kista-kista yang dimasukkan ke dalam media air laut akan segera mengalami hidrasi dan terjadilah perkembangan embryonal di dalam kista. Hidrasi ini dapat terjadi pada kisaran salinitas antara 5‰-70‰. Oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan embryonal A. salina. Oleh karena itu erasi harus diberikan terus sampai terjadi penetasan, Selain untuk mencukupi kebutuhan akan oksigen, erasi dapat mencegah terjadinya pengendapan kista-kista di dasar tangki. Pengendapan kista-kista dapat menimbulkan kondisi "anaerob" pada kista-kista tersebut sehingga perkembangan embryo akan terhambat. Kandungan oksigen yang minimal untuk penetasan A. salina adalah 3 ppm. Kepadatan penetasan yang effien adalah 10 g/L memberi hasil yang memuaskan.
Pemanenan nauplius ada beberapa cara. Cara lama yang biasa dilakukan pada pemanenan A. salina adalah mematikan erator dan kemudian dilakukan sifonisasi. Setelah erator dimatikan, maka kista-kista yang tidak menetas dan kista-kista yang kosong akan mengambang di permukaan. Kista-kista yang belum menetas akan mengendap di dasar. Nauplius yang berenang-renang di bawah kista-kista yang tidak menetas dapat disifon keluar. Cara lama ini ada kelemahannya: 1) memerlukan waktu yang agak lama tanpa erasi sehingga mungkin berpengaruh terhadap nauplius yang baru menetas, 2) membutuhkan ketrampilan supaya nauplius tidak banyak tercampur dengan kista-kista yang kosong. Cara kedua, memanfaatkan sifat nauplius A. salina yang bergerak kearah cahaya (fototaksis positif). Prinsip dasarnya adalah menempatkan cahaya pada salah satu sudut atau celah. Nauplius akan berkumpul pada bagian yang intensitas cahayanya lebih tinggi dan mudah dipanen. Cara ini kurang efektif untuk wadah yang besar. Hal ini disebabkan karena sifat nauplius cenderung berkumpul pada sudut-sudut, Rangsangan cahaya pada sudut yang lain terlalu jauh bagi nauplius tersebut (Panggabean, 1984).

3.7.       Sarana dan prasarana (mencakup jumlah dan ukuran)
Pembenihan kerapu tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana. Kemudahan transportasi serta ketersediaan bahan dan peralatan untuk kegiatan pembenihan harus mudah, murah dan cepat didapat, sarana dan prasarasana yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.        Wadah pemeliharaan induk, tangki indukan diguanakan tidak hanya untuk pemeliharaan dan pembesaran namun juga untuk pemijahan. Karena ukuran induk kerapu macan yang besar biasanya > 10 kg, maka lebih baik menggunakan tangki indukan besar (50-100m3). Tangkinya berbentuk bundar kotak atau persegi panjang dengan sudut membuulat dengan kedalaman 2 m dan sebaiknya 2.5 m. Warna yang disarankan adalah biru, hijau atau abu-abu.
2.        Wadah inkubasi telur, wadah inkubasi telur adalah tangki berukuran 0,5–1,0 m3 yang sudah diisi air laut dan dilengkapi aerasi. Hanya telur yang terapung yang digunakan untuk pemeliharaan larva, karena telur ini kemungkinan besar telah dibuahi dibandingkan dengan telur yang tenggelam yang biasanya tidak dibuahi atau mati.
3.        Wadah pemeliharaan larva, bentuk bak pemeliharaan larva bisa bulat, segi empat (sudutnya melengkung) dan semi oval dengan daya tampung sekitar 10m3 kedalaman 1,2 m. Bak larva sebaiknya di tempatkan di dalam ruangan dan bak dapat ditutup untuk mempertahankan suhu.
4.        Wadah kultur pakan alami merupakan tempat memperbanyak pakan alami. Pakan alami yang diperlukan antara lain Rotifer, Artemia dan fitoplanton.
5.        Wadah air laut harus dalam keadan bersih sehingga mendukung pembenihan.
6.        Wadah air tawar digunakan untuk menjaga keseimbangan salinitas pada bak larva dan kultur pakan alami.
7.        Pompa air laut, terdapat dua tipe pompa air yang dibutuhkan untuk pengoperasian hatchery. Satu pompa dibutuhkan untuk memompa air laut ke tangki saringan pasir. Ada pula pompa tenggelam untuk mengalirkan air dalam sistem hatchery, jika dibutuhkan, misalnya untuk memindahkan mikroalga untuk kultur rotifer.
8.        Generator, generator sangat penting untuk cadangan suplai listrik untuk hatchery. Sebab suplai listrik utama bisa mengalami gangguan (misalnya pada saat badai).
9.        Sistem aerasi, blower udara umumnya digunakan untuk menyediakan aerasi dalam hatchery.
10.    Perlengkapan hatchery lainnya, macam-macam perlengkapan lain dibutuhkan untuk keberhasilan pengoperasian hatchery, beberapa di antaranya adalah mikroskop merupakan alat untuk operator hatchery dalam mengamati perkembangan pakan alami, larva dan kondisi kesehatannya,
11.    Penerangan/ listrik, lampu neon 40 watt (atau sejenisnya) dapat digunakan untuk setiap tangki larva (kapasitas 6-10 m3). Lampu tersebut dipasang di atas tangki, sekitar 30-60 cm di atas air. Penggunaan penerangan buatan juga akan membantu dalam mempertahankan konsistensi lingkungan pemeliharaan dalam tangki.
12.    Keramba jaring apung. Adanya beberapa karamba jaring apung yang bisa digunakan untuk budidaya ikan laut, antara lain karamba yang berbentuk empat persegi dan karamba yang berbentuk lingkaran/bundar. Ukuran karamba juga bervariasi ada yang berukuran 5x5 meter, 5x8 meter dan 8x8 meter. Sedangkan untuk karamba yeng berbentuk lingkaran biasanya terbuat dari bahan pipa galvanis, pipa polyetheline (HDPE) dengan ukuran diameter 5 – 15 meter. Di Indonesia, bentuk dan ukuran karamba yang umum digunakan adalah bentuk persegi dengan ukuran 8x8 meter yang terdiri 4 kotak dengan ukuran 3 x 3 meter untuk masing-masing kotaknya.
13.    Waring. Waring adalah bahan yang digunakan untuk membuat kantong pemeliharaan. Kantong yang  terbuat dari bahan waring ini umumnya digunakan untuk pemeliharaan kerapu phase awal atau pendederan. Waring sering juga disebut hapa atau jaring bagan. Waring ini terbuat dari bahan polyetheline berwarna hitam dengan ukuran mata waring 4 mm. Umumnya ukuran kantong waring yang digunakan untuk pemeliharaan pada phase pendederan dan penggelondongan adalah 1x1x1,5 meter dan 1x1,5x3 meter.
14.    Sumber air. Air yang digunakan adalah air laut yang dipompa dan dialirkan melalui pipa paralon yang ditanam di bawah tanah, pada ujung pipa dipasang filter hisap yang diberi lubang-lubang kecil. Hal ini untuk menghindari kotoran yang ikut tersedot ke bak tendon. Penempatan filter hisap diletakan melebihi surut air laut terendah dengan menggunakan pemberat yang terbuat dari semen beton. Sebelum air dialiri kedalam bak larva, terlebih dahulu disaring di bak filter.
15.    Transportasi sangat menentukan keberhasilan dalam hatchery ikan kerapu macan karena adanya transportasi yang sesuai akan mempermudah dalam usaha budidaya ikan kerapu macan saat ini.

3.8.       Perhitungan Feeding Regime produksi 50.000.000 benih/siklus
Feeding regime pada pemeliharaan larva kerapu menurut Sugama et al. (2013) adalah sebagai berikut:
1.             Perhitungan Kebutuhan Bak Larva
Hasil penelitian Ismi et al. (2013) menunjukkan bahwa kelangsungan hidup benih ikan kerapu cantik (24,59%) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kerapu macan (17,44%) dan ikan kerapu batik (4,63%). Menurut SNI (2000), bahwa fekunditas > 400.000 butir per kg induk betina, dengan laju penetasan/HR > 70 %.
-          Produksi benih ikan kerapu macan 50.000.000 per siklus dengan HR 70% dan SR 60 hari 30% serta fekunditasnya 400.000 telur/kg.
-          Kebutuhan Larva
Kebutuhan larva
Produksi benih x 100/SR  = 50.000.000 x
                                          = 166.666.667 larva
-          Kebutuhan Telur
Larva x 100/HR
Kebutuhan telur    = 166.666.667 x 
                              = 238.095.239 telur
-            Penetasan Telur
·         Referensi Andriyanto (2013)
·         Volume air 200 ml untuk penetasan 200 butir telur.
·         Diasumsikan ukuran kolam 10 m3 dengan diameter 3,5 meter dan kedalaman air 1 meter.
·         Kebutuhan telur 238.095.239 telur
·         Kebutuhan bak petasan volume bak 10 m3 = 10.000 L = 10.000.000
·         Kebutuhan bak = 238.095.239 : 10.000.000
                                      = 24 bak

-          Kebutuhan induk
Berat indukan betina standar minimal 5 kg-10 kg. (referensi)
Jumlah induk        
Telur / fekunditas = 238.095.239: 400.000
                        = 595,2381 kg
Jadi, jumlah induknya = 595,2381: 10 kg = 60 ekor induk betina
Bak Pemeliharaan Induk
a.      Induk Betina
·         Menurut Anindiyastuti (1999) bahwa pemeliharaan induk kerapu 1-3 kg/m3.
·         Perbandingan induk jantan dan betina 1: 3 (BPAP Gondol)
·         Diketahui induk betina 60 ekor
·         Induk jantan = 1/3 x 60 ekor = 20 ekor
·         Dibutuhkan 3 bak pemeliharaan betina
·         Induk yang digunakan berukuran 10 kg sehingga membutuhkan ukuran kolam sebesar 3 m3 untuk 1 ekor induk.
·         Kebutuhan induk total 60 induk betina
·         Asumsi ukuran bak 10 m3 , maka :
10 m3: 3m3/induk = 3 induk/bak
·         60 induk : 3 induk/bak = 20 bak
Jadi bak yang dibutuhkan untuk memelihara induk betina adalah 20 bak.
b.        Induk Jantan
·         Menurut Anindiyastuti (1999) bahwa pemeliharaan induk kerapu 1-3 kg/m3.
·         Perbandingan induk jantan dan betina 1: 3 (BPAP Gondol)
·         Diketahui induk jantan adalah 20 ekor
·         Asumsi induk jantan yang digunakan berukuran 12 kg sehingga membutuhkan ukuran kolam sebesar 4 m3 untuk 1 ekor induk.
·         Kebutuhan induk total 20 induk jantan
·         Asumsi ukuran bak 10 m3 , maka :
10 m3: 4m3/induk = 3 induk/bak
20 induk : 3 induk/bak = 7 bak
Jadi bak yang dibutuhkan untuk memelihara induk jantan adalah 7 bak.
Jadi 1 volume bak tersebut dapat memuat 3 ekor ikan jantan dan 3 ekor ikan betina.

Bak Pemijahan
·         Diasumsikan ukuran kolam 10 m3 dengan diameter 3,5  meter dan kedalaman air 1 meter.
·         Satu bak berisi 3 induk betina 1 induk jantan
·         Diketahui induk betina sejumlah 60 ekor dan induk jantan sejumlah 20 ekor
·         Maka banyak bak yang dibutuhkan adalah 60 induk : 3 induk/bak = 20 bak
Jadi bak yang dibutuhkan untuk pemijahan adalah 20 bak dengan ukuran 10 m3, kepadatan induk 3 betina dan 1 jantan.
Bak pemijahan dapat menggunakan bak pemeliharaan induk.


-          Kebutuhan untuk pemeliharaan larva
Kepadatan larva 10 ekor/L (Referensi)
Bak larva = (50.000.000 : 10) x 1 L = 5.000.000 L = 5.000 m3 = 5.000 x 106 mL
* Kebutuhan bak untuk larva  ukuran 10 m3 (referensi) yaitu 5000 m3 : 10 m3 = 500 bak
* kebutuhan bak larva dapat digunakan secara bergantian.

Bak Pendederan
Diketahui :
·         D1-15 kepadatan 40 ekor/liter. D15-30 kepadatan 10 ekor/liter (Resmiyati et al., 1993).
·         Jumlah larva 50.000.000
·         Volume bak 10 m3 (Sugama et al., 2013)
·         Jumlah bak D1-D15 = 50.000.000 ekor : 40 ekor/liter
                                 = 125 bak
·         Jumlah bak D15-D30 = 50.000.000 ekor : 10 ekor/liter
                                   = 5.000.000 L : 10.000 L
                                   = 500 bak

2.      Kebutuhan Bak Pakan Alami
a.       Nannochloropsis oculata
-          Kebutuhan sel Nannochloropsis oculata
Kepadatan awal kultur 12-13 x 106 sel/mL dan kepadatan optimum pada hari ke 7 sekitar 15-20 x 106 sel/ml.
D2-D6 = diberikan 300 x 103 sel/mL
Maka diperlukan =
Bak larva x dosis pakan
(5000 x 106 mL) x (300 x 103 sel/mL) = 15 x 1014 sel
D7-D20 = diberikan 500 x 103 sel/mL
Maka diperlukan = (5000 x 106 mL) x (500 x 103 sel/mL) = 25 x 1014 sel
D21-D25 = diberikan 300 x 103 sel/mL
Maka diperlukan = (5000 x 106 mL) x (300 x 103 sel/mL) = 15 x 1014 sel
Jumlah total = (15+25+15) x 1014 = 55 x 1014 sel
-          Kebutuhan Bak
Keseluruhan
Jumlah total nano / kepadatan optimum
= 55 x 1014 sel : 20 x 106 sel/mL = 2,75 x 108 mL = 2,75 x 105 L = 275 m3
* 1 bak kultur ukuran 10 m3 maka diperlukan bak = 275 m3 : 10 m3 = 28 buah
* kebutuhan bak kultur Nannochloropsis oculata dapat digunakan secara bergantian

b.      Rotifer
-          Kebutuhan Rotifer
Kepadatan awal kultur 40-50 ind/mL dan dipanen pada hari ke 5 dengan kepadatan 250 ind/mL.
D2-D5 = diberikan 5-7 ind/mL
Maka diperlukan = (5000 x 106 mL) x (7 ind/mL) = 35 x 109 ind
D6-D10 = diberikan 8-10 ind/mL
Maka diperlukan = (5000 x 106 mL) x (10 ind/mL) = 50 x 109 ind
D11-D30 = diberikan 15 ind/mL
Maka diperlukan = (5000 x 106 mL) x (15 ind/mL) = 75 x 109 ind
Jumlah total = (35+50+75) x 109 ind = 160 x 109 ind
-          Kebutuhan Bak
160 x 109 ind : 250 ind/mL = 64 x 106 mL = 64 x 103 L = 640 m3
* kebutuhan bak untuk rotifer dengan ukuran bak 10 m3 adalah 640 m3 : 10 m3 = 64 bak
* kebutuhan bak kultur dapat digunakan secara bergantian

c.       Artemia
-          Kebutuhan Artemia
Kepadatan artemia 10 g/L = 0,01 g/mL
1 individu cyste artemia yang menetas= 15 mikrogram= 15 x 10-6 g
D16-40 = diberikan 0,2-0,5 ind/mL = 7,6 x 10-6 g/mL
Maka diperlukan = (5000 x 106 mL) x (7,6 x 10-6 g/mL) = 38.000 g
-          Kebutuhan wadah kultur
38.000 : 0,01 g/mL = 3. 800.000 mL = 3.800 L
* penetasan artemia dilakukan pada conical tank ukuran 50
- kebutuhan bak artemia
3.800 L: 50 L = 76 bak conical
Maka diperlukan 76 bak conical

IV.            KESIMPULAN
4.1.       Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari makalah sistem wadah budidaya pada hatchery ikan kerapu adalah:
1.             Pemilihan lokasi sangat penting untuk hatchery ikan kerapu. Lokasi yang cocok untuk hatchery ikan laut harus memiliki karakteristik berikut: sumber air yang baik-air laut maupun air tawar, infrastruktur yang baik, seperti jalan, listrik dan suplai air tawar, bebas dari polusi limbah rumah tangga, industri, perikanan dan pertanian., terletak di daerah dimana dukungan teknis dapat diperoleh dari pemerintah atau pusat-pusat penelitian.
2.             Komponen utama yang perlu diperhatikan dalam desain dan pengoperasian tempat pembenihan, terlepas jenis skalanya, adalah pelaksanaan biosekuriti untuk mengurangi timbulnya penyakit.
3.             Sarana dan prasarasana yang digunakan antara lain wadah pemeliharaan induk, tangki indukan, wadah inkubasi telur, wadah pemeliharaan larva, wadah kultur pakan alami, wadah air laut, wadah air tawar, pompa air laut, pgenerator, sistem aerasi, penerangan/ listrik, waring, keramba jaring apung, sumber air dan transportasi.
4.             Produksi benih ikan kerapu macan sebanyak 50.000.000 per siklus dapat diketahui kebutuhan larva sebanyak 166.666.667 larva, kebutuhan telur sebanyak 238.095.239 telur, jumlah induk 60 ekor induk, kebutuhan bak larva 500 bak, kebutuhan Nannochloropsis oculata 55 x 1014 sel dengan 28 bak, kebutuhan rotifer 160 x 109 ind dengan 64 bak, dan kebutuhan artemia 38.000 g dengan 76 bak conical.


DAFTAR PUSTAKA

Antoro, S., E. Widiastuti dan P. Hartono. 1998. Biologi Kerapu Macan. Dalam : Balai Budidaya Laut Lampung (Eds). Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung:4 – 18.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

Giri, N.A. 2001. Pembenihan Ikan Kerapu Batik (Epinephelus microdon) sebagai Upaya Penyediaan Benih untuk Pengembangan Budidaya Laut. Warta Penelitian Perikanan Indonesia., 7(1):3.

Ismail, H.N. 2009. Profil Proyek Investasi Ikan Kerapu yang Menguntungkan. Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda., 36 hlm.

Ismi, S. 2006. Pemeliharaan Larva Kerapu. Bahan Kuliah pada Desiminasi Budidaya Laut Berkelanjutan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bekerja Sama dengan Japan International Cooperation Agency) dan Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. 8 hlm.

_______. 2008. Pendederan Benih Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutta-tus) di Tambak Merupakan Salah Satu Alternatif Usaha Perikanan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2008. Sekolah Tinggi Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 4-5 Desember 2008. hal. 378-381.

_______. 2014. Aplikasi Teknologi Pembenihan Kerapu untuk Mendukung Pengembangan Budidaya Laut. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis., 6 (1) : 109-119.

Ismi, S., dan Y.N. Asih. 2011. Pengamatan perkembangan benih kerapu hybrid persilangan antara kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus). Prosi-ding Seminar Nasional Kelautan VII. Surabaya, 18 Juli 2011. hal. 100-104.

Kordi K., M.G.H. 2001. Usaha Pembesaran Kerapu di Tambak. Kanisius.Yogyakarta. 111 hal.

Langkosono. 2007. Budidaya Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kualitas Perairan. Neptunus., 14(1): 61-67.

Masyamsir. 2001.Membuat Pakan Ikan Buatan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Meritasari, D., Riyadhul, Dina, dan Sathiul. 2010. Eksplorasi Bahan Aktif Mikroalga Nannochloropsis oculata sebagai Antibakteri (Penghambat) Vibrio alginolyticus. PKM Penelitian Universitas Airlangga. Surabaya.

Panggabean, M.G.L. 1984. Teknik Penetasan dan Pemanenan Artemia salina. Oseana., 9(2): 57-65.

Rezza. M. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka.[ Skripsi]. Bogor, IPB. 102 hlm.

Rimmer M.A., McBride S. and Williams K.C. 2004. Advances in grouper aquaculture. ACIAR Monograph No. 110. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra.

Sari, I.P. dan A. Manan. 2012. Pola Pertumbuhan Nannochloropsis oculata pada Kultur Skala Laboratorium, Intermediet, dan Massal. Jurnal Perikanan dan Kelautan., 4(2): 123-127.

Sim, S.Y., Rimmer, M.A., Toledo, J.D., Sugama, K., Rumengan, I., Williams,K.C., Phillips, M.J. 2005. Panduan Teknologi Hatcheri Ikan Laut Skala Kecil. NACA, Bangkok, Thailand. 17pp.

Suastika, M. dan S. Sumiarsa. 2011. Penggunaan Jenis Pakan Berbeda pada Kultur Rotifer (Brachionus rotundiformis). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur., hal. 817-824.

Subyakto, S. d an S. Cahyaningsih. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga. PT Agromedia Pustaka, Depok.

______________________________. 2005. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga : Kiat Mengatasi Masalah Praktis. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 hal.

Sugama K., Rimmer M.A., Ismi S., Koesharyani I., Suwirya K., Giri N.A. dan Alava V.R. 2013. Pengelolaan Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus): Suatu Panduan Praktik Terbaik. Monograf ACIAR No. 149a. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra, 66 hlm.
Suyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu, Kakap, Beronang. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tim Penyusun WFF Indonesia. 2011. Budidaya Ikan Kerapu Sistem Karamba Apung dan Tancap. WFF Indonesia., 18 hlm.

Tampubolon, G.H dan Mulyadi, E. 1989. Sinopsis Ikan Kerapu di Perairan Balit Bangkan. Semarang. Hlmn 2.
Utama, F.W. 2008. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 107 hlm.


1 komentar:

  1. yufta mengatakan...:

    sangat membantu

Posting Komentar