Latar
belakang
Sektor perikanan
memiliki sumberdaya yang sangat potensial sebagai sumber potensi baru, seiring
dengan semakin berkurangnya sumberdaya pada sektor pertanian yang banyak
digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi yang lain. Potensi sumberdaya ikan
yang terkandung dalam wilayah perairan nasional memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang paling tinggi, yaitu 37% dari spesies ikan yang ada di dunia,
seperti halnya kultivan budidya udang vannamei. Hal ini memberi gambaran betapa
besarnya potensi perikanan di Indonesia.
Udang vanname
merupakan jenis udang potensial untuk dikembangkan dengan cara budidaya.
Perkembangan budidaya udang vaname sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi
dengan adanya pemanfaatan teknologi pertambakan baik pada tradisional,
tradisional plus, semi intensif dan intensif (Hendrajat, 2010).
Perkembangan
udang budidaya dapat dilakukan dengan cara polikultur misalnya udang vanname
dengan ikan bandeng untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Budidaya
polikultur atau lazim disebut budidaya multitropik antara dua jenis atau lebih
kultivan budidaya yang merupakan sistem budidaya yang dapat meningkatkan
produktivitas lahan, asalkan kultivan budidaya tersebut tidak saling mengganggu
baik secara biologis maupun ekologis (Suharyantoet al., 2010).
Pembudidayaan ikan merupakan kegiatan memelihara,
membesarkan dan memanen hasilnyadalam lingkungan yang terkontrol. Pembudidayaan
ikan dapat dilakukan secara polikulturyaitu pembudidayaan ikan lebih dari satu
jenis secara terpadu. Budidaya polikulturterpadu dan sinergis saat ini banyak
ditelitidan dikaji karena dapat meningkatkan kulitasair.Pembudidayaansecara
tradisional selalu mengedepankan luaslahan, pasang surut, intercrop dan
tanpapemberian makanan tambahan sehinggamakanan bagi komoditas yang
dibudidayakanharus tersedia secara alami dalam jumlahyang cukup (Murachman et al., 2010).
1.2.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana manajemen
wadah budidaya polikultur?
2.
Bagaimana manajemen
kualitas air tambak polikultur udang vaname dan bandeng?
3.
Bagaimana manajemen
pakan di tambak polikultur udang vanname dan bandeng?
4.
Apa saja kendala dalam
budidaya polikultur udang vaname dan bandeng?
5.
Bagaimana cara memanen
dalam tambak polikultur udang vaname dan bandeng?
6.
Apa saja kelebihan
serta kekurangan budidaya polikultur udang vaname dan bandeng?
1.3.
Tujuan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
manajemen wadah budidaya polikultur
2.
Untuk mengetahui
manajemen kualitas air tambak polikultur udang vaname dan bandeng
3.
Untuk mengetahui
manajemen pakan yang baik dalam tambak polikutur udang vaname dan bandeng
4.
Untuk mengetahui
kendala dalam budidaya polikultur udang vaname dan bandeng
5.
Untuk mengetahui cara
memanen dalam tambak polikultur udang vaname dan bandeng
6.
Untuk mengetahui
kelebihan serta kekurangan budidaya polikultur udang vaname dan bandeng
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Biologi Ikan
2.1.1. Biologi Udang Vanname (Litopenaeus vannamei)
Crustacea adalah hewan akuatik yang
terdapat di air laut dan air tawar. Kata crustacea berasal dari bahasa latin yaitu
kata crustace yang berarti cangkang yang keras. Ilmu yang mempelajari tentang
crustacean adalah karsinologi. Jumlah udang di perairan seluruh dunia di
perkirakan sebanyak 343 spesies yang potensial secara komersil. Dari jumlah itu
110 spesies termasuk didalam family Penaidae. Udang digolongkan ke dalam filum
Arthropoda dan merupakan filum terbesar dalam kingdom animalia. Menurut Effendi
(2006),udang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub
kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Sub
filum : Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Sub
kelas : Eumalacostraca
Super
ordo : Eucarida
Ordo
: Decapoda
Sub
ordo : Dendrobranchiata
Famili
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Spesies
: Litopenaeus vannamei
Gambar
1.Udang vanname (Litopenaeus vannamei)
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di sebut juga dengan udang putih yang
merupakan sumber daya ikan golongan Crustacea. Udang ini merupakan spesies asli
dari perairan Amerika Tengah. Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Penaid
pada filum Artrhopoda. Terdapat ribuan spesies dari filum ini, namun yang
mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri ciri subfilum
Crustacea, mamiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit. Genus
penaeus yang ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum
juga ditandai dengan hilangnya bulu cambuk (satae) pada tubuhnya. Secara khusus
udang ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada
tepi rostrum bagian dorsal. Subgenus Litopenaeus, yang ditandai dengan adanya
organ seksual (thelycum) yang terbuka
tanpa adanya tempat penampung sperma pada spesies betina.
Menurut Zulkarnain (2011), bahwa secara
umum tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan bagian dada (Cephalothorax)
dan bagian tubuh sampai ekor (Abdomen). Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit chitin yang disebut carapace. Bagian ujung cephalotorax
meruncing dan bergerigi yang disebut rostrum. Udang vannamei memiliki 2 gerigi
di bagian ventral rostrum sedangkan di bagian dorsalnya memiliki 8 sampai 9
gerigi. Tubuh udang vannamei beruas-ruas dan tiap ruas terdapat sepasang
anggota badan yang umumnya bercabang dua atau biramus. Jumlah keseluruhan ruas
badan udang vannamei umumnya sebanyak 20 buah. Cephalotorax terdiri dari 13
ruas, yaitu 5 ruas dibagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Ruas I terdapat
mata bertangkai, sedangkan pada ruas II dan III terdapat antenna dan antennula
yang berfungsi sebagai alat peraba dan pencium. Pada ruas ke III terdapat
rahang (mandibula) yang berfungsi sebagai alat untuk menghancurkan makanan
sehingga dapat masuk ke dalam mulut.
2.1.2. Biologi Ikan Bandeng
Menurut Nelson
(2006), klasifikasi ikan bandeng (Chanos
chanos) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Family : Chanidae
Genus : Chanos
Species : Chanos chanos
Gambar 2. IkanBandeng(Chanos
chanos)
Ikan Bandeng
mempunyai ciri-ciri seperti badan memanjang, padat, kepala tanpa sisik, mulut kecil terletak di depan mata. Mata
diselaputi oleh selaput bening (subcutaneus).
Sirip punggung terletak jauh di belakang tutup insang dan sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventrial fin), sirip anus (anal fin) terletak jauh di belakang
sirip punggung dekat dengan sirip ekor (caudal
fin) berlekuk simetris. Ikan Bandeng (Chanos
chanos) dapat tumbuh hingga mencapai 1,8 m, anak ikan Bandeng (Chanos chanos) yang biasa disebut nener
yang biasa ditangkap di pantai panjangnya sekitar 1 -3 cm, sedangkan
gelondongan berukuran 5-8 cm.
Menurut USDA
National Nutrient Database for Standard Reference (2009), ikan bandeng
mempunyai nutrisi yang lengkap, terdiri dari proksimat, mineral lemak dan asam
amino yang bermanfat bagi pemenuhan nutrisi manusia.
2.2.Habitat
2.2.1.
Habitat
Udang Vanname (Litopenaeus vanname)
Di alam, populasi udang vannamei dapat
ditemukan di Pantai Pasifik Barat,sepanjang Peru bagian Utara, melalui Amerika
Tengah dan Selatan sampai Meksikobagian Utara, yang mempunyai suhu air normal
lebih dari 20° C sepanjang tahun.Udang vannamei hidup di habitat laut tropis.
Udang dewasa hidup dan memijah dilaut lepas dan larva akan bermigrasi dan
menghabiskan masa larva sampai post larvadi pantai, laguna atau
daerah mangrove. Secara umum, udang Penaeid membutuhkankondisi
lingkungan dengan suhu berkisar antara 23-32° C, kelarutan oksigen lebihdari 3
ppm, pH 8 dan salinitas berkisar antara 10-30 ppt. Udang vannamei sangat
toleran dan dapat bertahan hidup pada suhu yangrendah (di bawah 15° C),
walaupun pertumbuhannya akan sedikit terganggu. Sifat inimemungkinkan
budidaya udang ini di musim dingin. Namun, pertumbuhan terbaikdicapai pada suhu
berkisar antara 23-30°C, dengan pertumbuhan optimum pada suhu30° C untuk udang
muda (dengan berat rata-rata satu gram) dan suhu 27° C untukudang yang lebih
besar (12-18 gram). Udang vannamei juga mempunyai kisarantoleransi
yang tinggi terhadap salinitas. Udang ini mampu hidup pada salinitas
yangberkisar antara 0,5-45 ppt (Brown, 1991
dalam Zakaria, 2010)
Menurut
Murachman et al., (2010) menyatakan
bahwa model budidaya polikultur terdiri dari enam komponen yaitu penentuan
lokasi tambak, persiapan tambak, pemeliharaan, panen, kelembagaan sosial dan
kelembagaan ekonomi. Masing-masing komponne tersebut saling berhubungan.
Budidaya sistem polikulture terdapat tiga faktor yang mendukung penentuan
lokasi kolam, yaitu jenis tanah di atas kolam, sumber air tawar, sumber air
laut, dan keberadaan hutan mangrove. Kualitas dan kesuburan air cukup baik dan
berada pada kisaran standard kualitas air untuk tambak.
2.2.2. Habitat Bandeng (Chanos chanos)
Menurut
Ahmad dan Ratnawati (2002), ikan Bandeng di alam bebas hidup di laut, telurnya
di temukan pada jarak 8 – 26 Ion dari pantai pada laut yang dalamnya
lebib dari 40 in, telurnya terapung melayang dekat permukaan air. Memijah
diwaktu malam sekitar 20.00 – 22.00 dan telurnya menetas sesudah 24 jam. Larva
ikan bandeng dalam pertumbuhannya mendekati pantai dan diketemukan dua kali
setahun di dekat pantai – pantai yang berpasir ditempat – tempat tertentu. Ikan
bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makanan di daerah pennuk-aan
dan sering di jumpai di perairan dekat pantai atau daerah litoral. Secara
geografis ikan ini hidup di daerah tropis maupun sub-tropis antara 300 – 400 LS
dan antara 400 BT – 1000 BB. Ikan ini suka hidup bergerombol dalam kelompok
kecil antara 10 – 20 ekor. Berenang di permukaan perairan pantai terutama pada
saat air pasang.
Wilayah pesisir merupakan kawasan yang
mempunyai karakteristik tertentu dan subur, sehingga memiliki daya tarik yang
besar sebagai tujuan wisata dan pengembangan kegiatan perikanan serta tujuan
lain yang menghasilkan banyak keuntungan finansial. Kegiatan perikanan di
wilayah pesisir adalah usaha perikanan budidaya di tambak untuk udang, dan ikan
bandeng. Pembudidayaan ikan merupakan kegiatan memelihara, membesarkan dan
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Pembudidayaan ikan dapat
dilakukan secara polikultur yaitu pembudidayaan ikan lebih dari satu jenis
secara terpadu. Budidaya polikultur terpadu dan sinergis saat ini banyak
ditelitidan dikaji karena dapat meningkatkan kulitas air. Diintegrasikannya
kedalam kegiatan polikultur udang vanname
(Litopenaeus vanname)
dan ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal) secara terpadu. Pada umumnya
pembudidayaan secara tradisional selalu mengedepankan luas lahan, pasang surut,
intercrop dan tanpa pemberian makanan tambahan sehingga makanan bagi
komoditas yang dibudidayakan harus tersedia secara alami dalam jumlah yang
cukup. Sedangkan ikan bandeng sebagai pemakan plankton merupakan pengendali
terhadap kelebihan plankton dalam perairan. Kotoran udang, ikan bandeng dan
bahan organik lainnya merupakan sumber hara yang dapat dimanfaatkan
olehfitoplankton untuk pertumbuhan. Hubungan yang ini dapat menyeimbangkan ekosistem
perairan (Murachman et al., 2010).
Menurut Habitat Kholifah
et al.(2008), udang vanname dan ikan bandeng dalam
sistem polikulture sangat berkesinambungan. Hal ini disebabkan kedua jenis spesies tersebut memiliki
habitat hidup dan kebiasaan makan yang berbeda. Ikan bandeng pada stadia
gelondongan hidupnya di kolom perairan yang menyebabkan pergerakkannya luas,
aktif kedasar perairan untuk mencari makanan (klekap dan plankton) pada siang
hari dengan mengandalkan kemampuan penglihatannya. Sedangkan udang windu stadia
gelondonganhidupnya di dasar perairan yang pergerakkannya dipengaruhi oleh
luasan lahannya dan adanya pergerakan ikan bandeng untuk mencari makanan
didasar sehingga mempengaruhi ruang gerak udang windu.
Sistem polikultur ini dilakukan di lahan tambak dengan ukuran tambak.
2.3.
Siklus Hidup
2.3.1.
Siklus Hidup Udang
Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Udang vannamei
adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi iklimnya subtropics.
Di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman kurang lebih 70 meter. Udang
vannamei bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam hari.
Proses perkawinan pada udang vannamei ditandai dengan loncatan betina secara
tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada
saat yang bersamaan, udang jantan mengeluarkan sperma, sehingga sel telur dan
sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit. Menurut
Brown (1991) dalam Zakaria (2010) menyatakan bahwa sepasang udang vannamei
berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur sebanyak 100.000-250.000 butir.
Telur dapat menetas berkisar antara 18-24 jam pada suhu 28° C.
Siklus hidup udang
vannamei sebelum ditebar di tambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia
mysis, dan stadia post larva. Stadia nauplius adalah stadia yang pertama
setelah telur menetas. Stadia ini memiliki lima sub stadia. Larva berukuran
antara 0,32-0,58 mm, sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki
cadangan makanan berupa kuning telur (Haliman dan Adijaya, 2005).
Stadia zoea terjadi
berkisar antara 15 – 24 jam setelah stadia nauplius. Larva sudah berukuran
antara 1,05 – 3,30 mm (Haliman dan Adijaya, 2005). Stadia zoea memiliki
tiga sub stadia, yang ditandai dengan tiga kali molting. Tiga tahap molting
atau tiga sub stadia itu disebut dengan zoea 1, zoea 2 dan zoea
3. Stadia ini, larva sudah dapat makan plankton yang mengapung dalam kolom
air. Tubuh akan semakin memanjang dan mempunyai karapaks. Dua mata majemuk dan uropods
juga akan muncul (Brown, 1991). Lama waktu dari stadia ini menuju stadia
berikutnya berkisar antara 4-5 hari (Haliman dan Adijaya, 2005).
Siklus hidup udang Vannamei dapat
di lihat pada gambar berikut.
Gambar Siklus hidup udang
vanammei
Stadia
mysis memiliki durasi waktu yang sama dengan stadia sebelumnya dan
memiliki tiga sub stadia, yaitu mysis 1, mysis 2 dan mysis 3.
Perkembangan tubuhnya dicirikan dengan semakin menyerupai udang dewasa serta
terbentuk telson dan pleopods. Benih pada stadia ini sudah mampu
berenang dan mencari makanan, baik fitoplankton maupun zooplankton.Saat stadia post
larva (PL), benih udang sudah tampak seperti udang dewasa. Umumnya,
perkembangan dari telur menjadi stadia post larva dibutuhkan waktu
berkisar antara 12-15 hari. PL I berarti post larva berumur satu
hari. Stadia ini, udang sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan dan sifatnya
cenderung karnivora. Umumnya, petambak akan melakukan tebar dengan menggunakan
udang yang sudah masuk dalam stadia antara PL10-PL15 yang sudah
berukuran rata-rata sepuluh millimeter (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.3.2.
Siklus Hidup Bandeng (Chanos chanos)
Siklus
hidup bandeng di mulai dari telur yang menetas menjadi larva (pro - larva dan post - larva), benih bandeng
atau juvenil, dan bandeng dewasa. Menurut Ahmad dan Ratnawati (2002), telur
bandeng biasanya terbawa arus ke arah pantai yang dihasilkan dan pemijahan dari
induk bandeng di perairan pantai. Larva bandeng merupakan bagian dari komunitas
plankton di laut lepas yang kemudian hidup dan berkembang. Habitat larva
bandeng berada di perairan pantai berpasir, beralrjermh dan banyak mengandung plankton.
Berdasarkan siklus hidupnya benih bandeng yang tertangkap
didalam perairan pantai telah mencapai umur tiga — empat minggu, berdasarkan
dari pengamatan dari benih yang di hasilkan dari pembenihan dan di bandingkan
dengan benih tangkapan di slam di perkirakan benih bandeng yang di tangkap di
daerah pantai pada musimnya telah mencapai usia 21 — 25 hari. Larva yang
berumur lebih 20 hari di sebut benih. Habitat benih di perairan pantai
berkarang atau pasir yang kadang — kadang di tumbuhi vegetasi campuran atau
mangrove yang subur. Benih bandeng hidup diperairan berlumpur yang sedikit
mengandung lumut, sedangkan induk bandeng biasanya berumur lebih dari empat
tahun dan panjang total 70 — 150 cm hidup diperairan pantai karang didaerah
pantai sampai perairan laut dalam (Giri et al, 1986 dalam Mas’ud, 2011).
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Manajemen Wadah
Budidaya Polikutur Udang Vanname dan Ikan Bandeng
Persiapan tambak
mempunyai arti bagi kunci keberhasilan dalam budidaya tambak secara polikultur.
Persiapan tambak meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Persiapan dasar tambak
Setelah panen,
air tambak dibuang dan jika banyak endapan lumpur hitam dan tanah dasar tambak
yang membusuk maka perlu diadakan pemompaan dan pencucian dasar tambak. Tambak
adalah lahan buatan yang kemudian di isi air payau (campuran air tawar dan
laut) dan difungsikan untuk budidaya ikan. (Jamaluddin et al., 2013). Tambak merupakan salah satu habitat yang
dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya payau yang berlokasi di
daerah pesisir (Wulandari, 2014).
Menurut Martosudarmo dan Ranoemihardjo (1992) dalam Wulandari (2014), tambak
merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk
memelihara bandeng, udang, dan hewan lainnya yang biasa hidup di air payau. Air
yang masuk ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut saat terjadi
pasang, sehingga pengelolaan air dalam tambak dilakukan dengan memanfaatkan
pasang surut air laut.
2. Pengeringan dasar tambak
Setelah
pembersihan tanah dasar tambak dilakukan, maka tanah dasar tambak tersebut di
jemur / dikeringkan terlebih dahulu selama 7 – 14 hari sampai retak-retak
(tergantung cuaca). Kemudian dilanjutkan dengan pembalikan tanah (dicangkul)
lebih kurang 10 – 20 cm, selanjutnya tanah dasar dikeringkan lagi untuk mencegah
proses perombakan dan produksi H2S secara anaerob.Guna mempermudah pengeringan,
dasar tambak dibuat dengan kemiringan 0,1 % kearah pintu pembuangan air, sedang
dasar pintu air dibuat 15 cm di atas saluran pembuangan. Hal ini terutama pada
tambak-tambak yang pengelolaan airnya mengandallkan potensi pasang surut dan
gaya gravitasi. Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk mempercepat
proses oksidasi bahan-bahan organik dan pelepasan gas-gas beracun (NH3
dan H2S) serta untuk memberantas hama dan memperbaiki struktur
tanah.
3. Pengapuran
Keasaman tanah
dalam budidaya tambak yang optimum dalam budidaya udang dan ikan bandeng adalah
pH tanah danah sekitar 7,0 – 8,0. Pengapuran harus dilakukan apabila pH tanah
dasar tambak kurang dari enam (tanah berlumpur). Jenis kapur yang digunakan adalan Kaptan ( kapur
pertanian ) dengan dosis 500 – 1.500 kg/Ha. Setelah kapur tersebut ditebar
merata kedasar tanah tambak, maka tanah dasar tambak tersebut dibiarkan
terjemur selam kurang lebih satu minggu.
Menurut Handaryono dan Abdul (2014),
konstruksi tambak yang ada di UPT PBAP Bangil dalam budidaya polikultur
merupakan jenis tambak tanah. Hal ini dikarenakan tambak tanah akan lebih mudah
menumbuhkan pakan alami. Tambak pembesaran polikultur ikan bandeng dan udang vannamei
ada di tambak unit 1 sebanyak 3 buah tambak
yaitu tambak RP.1, tambak RP.2 dan tambak RP.3 dimana masing-masing seluas
7.067 m2, 8.600 m2, dan 3.800
m2 dengan keadaan tanahnya berupa tanah lempung. Pematang
tambak berbentuk trapesium dengan kemiringan berkisar antara 1:2, lebar atas
2-3 m dan lebar bawah 4-5 m serta tingginya berkisar antara 1,5-2,0 m. Ukuran
lebar caren berkisar 4-6 m dengan kedalaman 40-60 cm dari dasar pelataran.
Sedangkan pelataran merupakan dasar tambak yang berfungsi untuk tempat
tumbuhnya makanan alami seperti klekap, ganggeng, sutran, diatom, dan jasad
renik lainnya. Dasar pelataran dibuat rata dengan keadaan miring ke arah pintu
air. Ketinggian air diatas pelataran berkisar antara 70-100 cm. Lebar kanal
pada area tambak ini 5 m dengan kedalaman air 20 cm. Terdapat 2 jenis pintu air
yang ada di tambak yaitu pintu pemasukkan ( inlet ) dan pintu
pengeluaran ( outlet ). Pintu air ini dibuat dari beton dengan lebar
1 m, panjang 4 m dan tinggi 1,5-2,0 m. Pada sisi utama pintu air diletakkan
papan yang diberi jaring (waring) dengan posisi mengelilingi beton agar ketika
pemasukan air, tidak ada organisme liar yang ikut masuk.
3.2.
Manajemen
Kualitas Air
3.2.1. Parameter Kualitas Air
Kualitas air merupakan sesuatu yang
penting dalam budidaya ikan baik di kolam air tawar maupun kolam air payau.
Penurunan produksi udang banyak disebabkan oleh penurunan kualitas air. Ikan
bandeng sebagai pemakan plankton baik plankton yang berguna maupun yang tidak
berguna merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton di perairan (Murachman
et.al., 2010). Kualitas air tambak
yang baik akan mendukung pertumbuhan udang vannamei secara optimal. Oleh karena
itu, kualitas air tambak perlu diperiksa dengan seksama. Beberapa parameter
kualitas air selama budidaya harus terus diamati. Kualitas air tambak terkait
erat dengan kondisi kesehatan udang. Kualitas air yang baik mampu mendukung
pertumbuhan secara optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stress udang
akibat perubahan parameter kualitas air di tambak. Beberapa parameter kualitas
primer yang harus selalu dipantau yaitu suhu air, salinitas air, pH air,
kandungan oksigen terlarut (dissolved
oxygen, DO), dan ammonia. Parameter-parameter tersebut akan mempengaruhi
proses metabolisme tubuh udang, seperti keaktifan mencari pakan, proses
pencernaan dan pertumbuhan udang.
Tabel
1. Parameter Kualitas Air Tambak
Parameter
|
Metode atau Alat Uji
|
Waktu Uji
|
Angka Referensi
|
Fisika
|
|||
Suhu
|
Thermometer
|
Pagi dan sore hari
|
26-30ºC
|
Ph
|
pH meter, kertas Ph
|
Pagi dan sore hari
|
7,5-8,5
|
Salinitas
|
Refractometer
|
Pagi dan sore hari
|
15-30 ppt
|
DO
|
DO meter
|
02.00-05.00
|
≥ 3 ppm
|
Kecerahan
|
Secchi disk
|
Siang atau sore
|
≤ 30 cm
|
Kimia
|
|||
Nitrit
|
Test kit
|
Siang atau sore, 2-3 hari sekali
|
≤ 0,1 ppm
|
Fosfat
|
Test kit
|
Siang atau sore, seminggu sekali
|
1-3 ppm
|
Alkalinitas
|
Titrasi asam-basa
|
Siang atau sore
|
≥ 150 ppm
|
Besi (Fe)
|
Test kit
|
2-3 hari sekali
|
≤ 1 ppm
|
H2S
|
Spektrofotometer
|
Berkala seminggu sekali
|
≤ 7 ppb
|
Biologi
|
|||
Jumlah vibrio pathogen
|
Hitungan cawan
|
2-3 hari sekali
|
≤ 1.000 cfu/ml
|
1.
Suhu Air
Suhu optimal pertumbuhan udang antara
26-32ºC. jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang
akan berlangsung cepat. Imbasnya kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Itu
berarti penambahan kincir air perlu dilaukan yang berarti menambah biaya
produksi. Pada suhu air dibawah 25ºC, umumnya terjadi saat masa-masa
peralihan musim antara Juni-Agustus,
udang sudah kurang aktif mencari pakan.
Pengelolaan
Air :
A.
Air pekat : Pergantian
air diperbanyak
B.
Kecerahan air tinggi
a.
Pergantian air
diperjarang
b.
Lakukan pemupukan
C.
Air drop (kualitas
menurun)
a.
Masukkan plankton
sebanyak mungkin
b.
Lakukan pemupukan
2.
Salinitas dan pH air
Salinitas merupakan salah satu aspek
kualitas air yang memegang peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan
udang. Udang muda yang berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar
pertumbuhannya dapat optimal. Setelah umurnya lebih dari 2 bulan, pertumbuhan
relative baik pada kisaran salinitas 5-30 ppt. Pada kondisi tertentu, sumber
air tambak dapat menjadi hipersalin atau berkadar garam tinggi (di atas 40
ppt). Hal ini sering terjadi pada musim kemarau.
pH merupakan parameter air untuk mengetahui
derajat kesamaan. Air tambak memiliki pH ideal antara 7,5-8,5. Umumnya,
perubahan pH air dipengaruhi oleh sifat tanahnya. Sebagai contoh, tanah yang
mengandung pirate menyebabkan pH air asam antara pH 3-4. Umumnya, pH air tambak
pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Penyebabnya yaitu adanya
kegiatan fotosintesis oleh pakan alami, seperti fitoplankton yang menyerap CO2.
Sebaliknya, pada pagi hari CO2 melimpah sebagai hasil pernapasan
udang.
3.
Kandungan oksigen
terlarut (DO)
Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) sangat
mempengaruhi metabolism tubuh udang. Kadar oksigen terlarut yang baik berkisar
4-6 ppm. Pada siang hari, tambak akan memiliki angka DO yang cenderung tinggi
karena adanya proses fotosintesis plankton yang menghasilkan oksigen. Keadaan
berbalik saat malam hari. Pada saat itu plankton tidak melkukan proses
fotosintesis, bahkan membutuhkan oksigen sehingga menjadi competitor bagi udang
dalam mengambil oksigen. Upaya untuk meningkatkan angka DO dilakukan dengan
pemakaian kincir air. Sebagai panduan, tambak seluas 0,25 ha membutuhkan 4-6
kincir air. Kincir air berfungsi sebagai penyuplai oksigen dan membuat arus
untuk mengumpulkan kotoran ditengah tambak sehingga memudahkan proses penyiponan
tambak. Tambak yang bersih membuat tempat makan (feeding area) udang vannamei menjadi lebih luas.
4.
Amonia
Amonia merupakan hasil eksresi atau
pengeluaran kotoran udang yang berbentuk gas. Selain itu, ammonia bisa berasal
dari pakan yang tidak termakan oleh udang vannamei sehingga larut dalam air.
Ammonia akan mengalami proses nitrifikasi dan denitrifikasi sesuai dengan
siklus nitrogen dalam air sehingga menjadi nitrit (NO2) dan nitrat
(NO3). Salah satu cara meningkatkan jumlah bakteri nitrifikasi dan
denitrifikasi yaitu dengan aplikasi probiotik yang mengandung bakteri yang
dibutuhkan. Namun demikian, harus diperhatikan jenis probiotik yang akan
digunakan karena setiap jenis bakteri memiliki fungsi dan membutuhkan
persyaratan hidup yang berbeda.
3.2.2. Pengaruh
Kualitas Air
Kandungan salinitas air terdiri dari
garam-garam mineral yang bermanfaat. Kalsium berfungsi mempercepat pengerasan
kulit udang setelah moulting. Kisaran
salinitas air tambak untuk budidaya udang vannamei supaya pertumbuhannya
optimal yaitu 15-30 ppt. Salinitas air tambak di atas 30 ppt bisa mengganggu
pertumbuhan udang vannamei. Salinitas yang terlalu tinggi juga bisa menyebabkan
kesulitan udang untuk berganti kulit karena kulit cenderung keras, kebutuhan
energi untuk proses adaptasi meningkat, lumutan pada karapak, dan mudah
terserang white spot pada musim
kemarau.
Suhu air berhubungan dengan nafsu
makan dan proses metabolism udang. Bila suatu lokasi tambak mempunyai
mikroklimat berfluktuatif, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
kualitas air. Misalnya pada musim kemarau (puncak antara Juli-September) suhu
air menurun hingga kurang dari 24ºC. Pada kondisi itu nafsu makan udang dapat
menurun.
Tingkat kekeruhan air mempunyai
dampak positif dan negatif terhadap udang, terutama sumber pakan. Misalnya
kerang hijau dapat hidup normal pada tingkat kekeruhan yang tinggi. Bahan
organic yang menumpuk dalam jumlah banyak merupakan sarang bakteri dan vibrio
yang sangat merugikan bagi budidaya udang vannamei. Bila sumber air yang digunakan
mengandung material organic akibat limbah dari darat maka secara tidak langsung
akan berdampak buruk. Tingkat kekeruhan air tambak yang tinggi sering terjadi
pada musim penghujan. Di saat itu material yang terbawa dari darat bisa
berbentuk cair, padat, dan gas (Haliman dan Adijaya, 2005).
3.3.
Manajemen
Pakan
Pakan merupakan salah
satu fakor yang penting dalam usaha budidaya. Pakan harus selalutersedia agar
kultivan yang dibudidayakan dapat bertahan hidup. Selain untuk dapat bertahan
hidup, pemberian pakan pun dimaksudkan agar kultivan dapat tumbuh dengan cepat
dan sehat. Menurut Nuhman (2008), pakan merupakan sumber nutrisi yang terdiri
dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nutrisi digunakan oleh
udang vannamei sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan berkembang biak.
Secara alami udang tidak mampu mensintesis protein dan asam amino, begitu pula
senyawa anorganik.Oleh karena itu asupan protein dari luar dalam bentuk pakan
buatan sangat dibutuhkan.
Pemberian pakan
sangat mempengaruhi pertumbuhan kultivan yang dibudidayakan. Pemberian pakan
yang sesuai takaran dan frekuensinya akan memberikan efek yang baik bagi
perkembanagan kultivan. Takaran pakan yang diberikan disesuaikan dengan stadia
kultivan. Menurut Suwoyoet al. (2010),
Pemberian pakan yang tepat baik kualitas maupun kuantitas dapat memberikan
pertumbuhan yang optimum bagi udang. Pemberian pakan dalam jumlah yang
berlebihan akan meningkatkan biaya produksi dan pemborosan serta menyebabkan
sisa pakan yang berlebihan yang berakibat pada penurunan kualitas air sehingga
berpengaruh pada pertumbuhan dan sintasan udang.
Stadia
mempengaruhi pemberian pakan terutama dalam ukuran pakan yang akan diberikan.
Ukuran pakan harus disesuaikan dengan bukaan mulut dari kutivan. Pakan yang
terlalu besar ukurannya akan sulit dikonsumsi oleh kultivan sehingga dalam
menimbulkan kerugian. Menurut Panjaitan et
al. (2014), ketidaksesuaian ukuran pakan yang diberikan akan mengakibatkan
kegagalan dalam pemangsaan awal oleh larva sehingga kebutuhan nutrisi larva
tidak terpenuhi. Hal ini menyebabkan kualitas larva menjadi kurang baik.
Setiap kultivan
budidaya memiliki kebiasaan yang berbeda, begitu juga dengan atraktan apa yang
dapat mencuri perhatian kultivan tersebut. Atraktan pada pakan dapat berbagai
macam disesuaikan dengan kultivan. Kultivan yang mudah tertarik pada warna
pakan yang diberikan harus menggunakan warna yang disukai kultivan, kultivan
yang tertarik pada bau pakan maka komposisi pakan harus diperhatikan agar
menimbulkan aroma yang disukai kultivan. Menurut Nuhman (2008), udang vannamei
mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran
dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (seta). Dengan
bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap udang akan merespon untuk mendekati atau
menjauhi sumber pakan.
Pada kegiatan
budidaya pakan diberikan sejak larva sudah tidak memiliki kuning telur. Pada
stadia ini pakan yang diberikan sebagian besar merupakan pakan alami. Pakan
alami dipilih karena ukurannya yang dapat menyesuaikan dengan bukaan mulut
larva yang sangat kecil.Sedangkan pakan buatan masih sangat sulit untuk dibuat
menyerupai pakan alami tersebut. Namun, saat ini tidak mudah mendapatkan pakan
alami karena belum banyak yang membudidayakan. Menurut Panjaitan et al. (2014), budidaya udang vaname
tersebut dihadapkan pada masalah rendahnya kualitas benur karena pemberian
pakan yang tidak sesuai, baik jenis, ukuran maupun kandungan nutrisinya.
Fitoplankton merupakan pakan alami yang sangat memegang peranan penting sebagai
dasar pemenuhan nutrisi pada awal kehidupan larva udang vaname, sehingga
penelitian beberapa jenis fitoplankton yang diberikan kepada larva perlu
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi beberapa jenis
fitoplankton sebagai pakan alami yang paling memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan (growth rate) dan sintasan (survival rate) larva
udang vaname (Litopenaeusvannamei). Sampai saat ini pakan alami masih
merupakan pakan utama untuk larva ikan laut dan krustacea yang belum dapat
digantikan kualitas nutrientnya secara lengkap oleh pakan buatan.
Pemanfaatan
pakan dapat dibantu dengan pemberian probiotik. Pemberian probiotik ini
dimaksudkan agar kultivan dapat mencerna lebih baik pakan yang diberikan.
Probiotik pun perberan dalam penguraian pakan yang tidak termakan sehingga
dapat mengurangi pencemaran. Menurut Suwoyoet
al. (2010), probiotik didefinisikan sebagai segala bentuk akan tambahan
berupa sel mikroba utuh (tidak harus hidup) yang menguntungkan bagi hewan
inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi mikrobologis inang, memodifikasi
bentuk asosiasi dengan inang atau komunias mikroba lingkungan hidupnya,
meningkatkan pemanfaatan nutrisi pakan atau meningkatkannya nutrisinya,
meningkatkan respons kekebalan inang terhadap pathogen atau memperbaiki
kualitas lingkungan.
Pakan alami yang
diberikan pada udang vannamei dapat berbagai macam. Pembudidaya biasa
memberikan satu jenis pakan alami untuk udang vannamei. Pemberian pakan alami
dapat berbeda disesuaikan dengan stadia larva. Menurut Panjaitan et al. (2014), larva udang vaname yang
diberikan fitoplankton campuran mempunyai nilai nutrisi lebih baik karena
terdapat dua jenis sumber nutrisi dibandingkan dengan pemberian fitoplankton
satu jenis saja.
Pemanfaatan
pakan dapat dipengaruhi oleh lingkunagan budidaya terutama kualitas air.
Kualitas air yang tidak sesuai dengan udang vannamei dapat menyebabkan
efisiensi pemanfaatan pakan pada udang vannamei. Menurut Kaligis (2015), kualitas
air harus selalu dijaga agar kultivan dapat memiliki efisiensi pemanfaatan yang
tinggi. Menurut pertumbuhan vaname pada salinitas 15 ppt lebih tinggi bila
diberi pakan buatan dengan kadar protein 50 % dibandingkan pakan buatan dengan
kadar protein 30%. Adanya peningkatan kadar protein dan kalsium pakan juga
memberikan respons terhadap frekuensi ganti kulit.
3.4.
Kendala
Budidaya Polikultur Udang vanname dan Bandeng
Budidaya udang
vanamei yang saat ini tengah mengalami perkembangan dengan cukup pesatnya,
seperti halnya dengan menggunakan system polikultur bersamaan dengan ikan
bandeng (Chanos chanos). Perkembangan
budidaya udang vanamei secara polikultur terfokus dalam hal teknik
pembudidayaan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sehingga penghasilan
pembudidaya udang vannamei dapat terus
meningkat ditiap masa panennya. Beberapa permasalahan yang saat ini timbul
dengan penggunaan metode atau teknik budidaya yang super intensif dengan
dibarengi pembudidayaan bandeng yang dipolikulturkan adalah meningkatnya
keberadaan pakan alami berupa klekap di perairan tambak yang mengalami blooming atau keberadaannya yang
berlebihan. Dampak yang akan diakibatkan
dari terjadinya blooming adalah berupa ketersediaan oksigen terlarut ditambak
pada malam hari sangatlah minim dan berpotensi menimbulkan penyakit pada udang.
Menurut Rantetondok (2011), penyakit pada udang menyebabkan kerugian yang
sangat besar pada usaha budidaya udang. Walaupun teknologi untuk mengurangi
dampak penyakit sudah berkembang namun beberapa penyakit pada udang masih sukar
diatasi. Berikut adalah beberapa kendala yang ada dalam budidaya udang vanamei
secara polikultur dengan kultivan bandeng :
1.
Perhitungan padat tebar
udang dan bandeng yang kerap tidak sebanding, hal ini berbeda ketika bandeng
dipolikulturkan dengan udang windu, sebab udang ini memiliki kebiasaan hidup
didasar perairan tambak, berbeda dengan udang vanamei yang memiliki kebiasaan
hidup di kolom air dan dasar periran.
2.
Penyediaan pakan dari
kultivan yang harus sesuai dengan karakteristik masing-mmasing kultivan,
sehingga hal ini dapat menjadi kendala dalam hal tenaga yang dikeluarkan akan
jauh lebih besar disbanding budidaya non-polikultur.
3.
Kendala ketiga adalah
meningkatnya hasil fases di tambak, hal ini dapat meningkatkan proses
dekomposisi bahan anorganik. Proses dekomposisi ini tentunya membutuhkan
oksigen dalam keberlangsungannya, sehingga dapat menurunkan oksigen diperairan
dan hasil dekomposisi berpotensi untuk meracuni kultivan baik itu udang maupun
ikan bandeng.
4.
Kendala keempat adalah
dalam hal pemanenan, tentunya diperlukan tenaga dan alat tambahan yang nantinya
digunakan untuk memanen udang vanamei dan ikan bandeng yang sudah siap dipanen,
sehingga akan berimbas pada peningkatan cost operasional.
3.5. Kelebihan dan
kekurangan Sistem Polikultur
Kelebihan
Produksi Budidaya
polikultur udang vaname dan ikan bandeng dalam teknologi Ekstensif dapat memberikan
keuntungan yaitu :
·
Dapat
menghasilkan produk sampingan dari hasil Budidaya udang Vanammei dan Ikan
Bandeng
·
Mengahasilkan
panen antara lain 2 Kultivan yaitu Ikan Bandeng danUdang
·
Biasanya pada
budidaya sistem Budidaya Ekstensif, pembudidaya tidak memfokuskan untuk member
pakan buatan karena Ikan dan Udang mengkonsumsi pakan alami yang ada di tambak
tersebut
·
Manajemen waktu
dan pemasarannya lebih dapat terkendali dan dapat diatur
·
Produk Udang /
ikan yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan terjaga mutunya karena
diakibatkan sistem managemen budidayanya yang lebih dioptimalkan dan dijaga
Kekurangan
Produksi Budidaya
polikultur udang vaname dan ikan bandeng dalam teknologi Ekstensif dapat memberikan
kekurangan yaitu :
· Budidaya ekstensif yang memiliki luas wilayah yang
lumayan terbilang cukup kecil dapat mengakibtkan Produktivitas yang rendah.
· Budidaya polikultur Bandeng dan vannamei air pematang
dibiarkan masuk kedalam kolam tambak sehingga kemungkinan kultivan yang lain
dan predator dapat masuk dan mengganggu kultivan yang dibudidayakan
· Budidaya teknologi ekstensif biasanya memiliki
keuntungan yang sedikit dan mengakibatkan Analisa Usaha yang tidak memperoleh
keuntungan yang signifikan dalam Budidaya yang baik.
· Produksi yang lebih kecil daripada Sistem budidaya
yang lainnya.
· Memiliki kandungan kualitas air yang kurang baik dan
tidak ramah lingkungan bila kualitasairnya tidak dijaga dengan baik.
3.6.
Panen
3.6.1. Pemanenan
Panen dilakukan secara bertahap karena
waktu yang berbeda. Panen udang vaname dilakukan pada saat umur tiga bulan,
sedangkan panen ikan bandeng dilakukan pada saat umur lima bulan. Panen udang vaname dilakukan
dengan menggunakan alat yang dinamakan prayang dan panen ikan bandeng dilakukan
dengan menggunakan jaring biasanya ukuran konsumsi yaitu untuk udang vaname antara 20 –
30 ekor/kg dan ikan bandeng 3 – 4 ekor/kg. Teknik pada saat pemanenan berupa caranya berupa penyurutan air didalam tambak secara perlahan-lahan hingga air dalam tambak tinggal dicaren saja. Pemanenan dapat pula dilakukan
dengan alat jaring yang ditarik sepanjang caren, dan selanjutnya diadakan
penangkapan. Hal ini
diperkuat oleh Murrachman et al., (2010),
yang menyatakan bahwa panen udang vaname dilakukan dengan
menggunakan prayang dan panen ikan bandeng dilakukan dengan menggunakan jaring.
3.6.2. Pasca panen
Setelah baik udang vaname maupun ikan bandeng selesai
ditangkap, maka tahapan berikutnya adalah pembersihan udang dan bandeng, setelah
itu kita siapkan peti yang sudah berisi gumpalan es. Ikan dan udang dimasukkan
kedalam peti tersebut, agar supaya kesegaran baik udang maupun ikan bandieng
tetap terjaga, dan siap dipasarkan. Menurut Lubiset al., (2010) yang
menyatakan bahwa Ikan akan rusak umumnya pada suhu 12-20oC,
tergantung antara lain pada jenis ikan dan metoda penangkapannya. Ikan dari
perairan yang lebih dingin, akan rusak kurang dari 2 hari jika disimpan pada
suhu 20oC tetapi bisa sampai 5-6 hari jika disimpan pada suhu sekitar
5oC. Maka dari itu perlu dilakukan pengesan.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
Sistem budidaya Udang Vanname dan
Ikan Bandeng secara polikultur dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
budidaya yang telah diterapkan, sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan
bagi pembudidaya antara lain ialah :
1.
Makanan alamiah seperti fitoplankton dan
zooplankton yang tersedia di kolam dapat dimanfaatkan oleh Udang Vanname
dan Ikan Bandeng secara efektif sehingga tidak ada lagi makanan yang
terbuang sia-sia.
2.
Penggunaan lahan menjadi efisien karena dengan
luas lahan yang sama dapat dipelihara jenis kultivan yang berbeda,yaitu Udang
Vanname dan Ikan Bandeng.
3.
Secara keseluruhan produksi kolam akan meningkat
karena jumlah kultivan yang dipelihara dalam satu kolam lebih banyak.
4.
Produksi tiap jenis kultivan akan lebih tinggi
bila dibandingkan dengan hasil pemeliharaan monokultur.
5.
Kepadatan pada sistem polikultur sama atau lebih
rendah bila dibandingkan dengan monokultur.
6.
Keuntungan finansial yang diterima pembudidaya Udang
Vaname dan Ikan Bandeng akan
berdampak positif kepada peningkatan kesejahteraan pembudidaya serta dapat memenuhi kebutuhan
pasar pada dua komoditas sekaligus.
4.2.
SARAN
Saran yang dapat di sampaikan adalah
sebagai berikut:
1.
Sebaiknya dalam budidaya
polikultur udang vaname dengan bandeng mampu memilih lokasi yang baik untuk
budidaya.
2.
Sebaiknya dalam
budidaya polikultur, pembudidaya harus mampu memanajemen pakan dan mengontrol
kualitas air, sehingga produksi budidaya dapat mencapai hasil yang maksimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Afaf, Nafiah.
2004. Prospek Pengembangan Usaha Pembesaran Ikan Bandeng Di Desa Muara,
Kecamatan Cimalaya Wetan, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat (Skripsi).
Ipb. Bogor.
Alboneh,
Farhanah Hasan. 2007. Analisis Pengembangan Usaha Pembesaran Ikan Bandeng Di
Desa Bipolo Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur
(Skripsi). Ipb. Bogor
Effendi, H. 2003.Telaah Kualitas Air
Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Ghufran,
M. 2006. Pemeliharaan Udang Vanname. Gramedia. Surabaya.
Haliman,
R.W. dan Adijaya, D. 2005. Udang
Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Handaryono,
P. Sasmito dan A. Rahem Faqih. 2014. Teknik Pembesaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dengan Udang Vannamei (Litopeanaeus vannamei) Secara
Polikultur Tradisional Di Upt Pbap Bangil Kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Brawijaya.
Hendrajat
E,A. Brata P,. Markus M. 2010. Polikultur Udang Vaname (Litopenaeus vannnamei) dan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.
Sulawesi Selatan.
Jamaluddin,
Akhbar Nur., Ika Ritniarsih Dan Wiwik Widyo Widjajanti. 2013. Perencanaan Dan
Perancangan Pusat Pengembangan Budidaya Ikan Bandeng Tambak Di Sidoarjo. Jurnal
Iptek Vol.17(1).
Kaligis,
Erly. 2015. Respons Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Media Bersalinitas Rendah dengan Pemberian
Pakan Protein dan Kalsium Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7
(1): 225-234.
Kholifah,
U. Ninis, T. Is, Y. 2008. Pengaruh Padat
Tebar yang Berbeda terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan pada Polikultur
Udang Windu (Penaeus Monodon Fab) dan Ikan Bandeng (Chanos Chanos) pada Hapa di Tambak Brebes - Jawa Tengah. 14
(2): 152-158.
Lubis, Ernani. Eko, S.R. dan Mareta Nirmalanti.
2010. Penanganan Selama Transportasi Terhadap Hasil Tangkapan didaratkan di
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman : Aspek Biologi dan Teknis. Jurnal
Mangrove Dan Pesisir (1): 1-7.
Mas’ud, F. 2011. Prevalensi dan Derajat Infeksi Dactylogyrus
sp. pada Insang Benih Bandeng (Chanos chanos)di Tambak Tradisional,
Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. 3(1) : 27-39.
Murachman,
N. Hanani, Soemarmo dan S. Muhammad. 2010. Model Polikultur Udang Windu (Penaeus monodon Fab), Ikan Bandeng (Chanos-chanos Forskal) dan Rumput Laut (Gracillaria sp.) Secara Tradisional.
Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 1(1): 1-10.
Nelson,
J. S. 2006. Fishes of the World. Fourth Edition. John Wiley and Sons.
Inc., New York, USA.601.
Nuhman.
2008. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju
Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Berkala Ilmiah Perikanan. 3 (1).
Panjaitan, Amyda Suryati,.Wartono Hadie, dan Sri
Harijati. 2014. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei, Boone
1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal Manajemen
Perikanan dan Kelautan. 1 (1).
Rangka, Nur
Ansari Dan Andi Indra Jaya Asaad. 2010. Teknologi Budidaya Ikan Bandeng Di
Sulawesi Selatan. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.
Rantetondok,
Alexander. 2011. Penyakit dan Parasit Budidaya Udang atau Ikan dan
Pengendaliannya. Brilian Internasional. Surabaya.
Reksono, Bayu.,
Herman Hamdani dan Yuniarti MS. 2012. Pengaruh Padat Penebaran Gracilaria sp.Terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Ikan Bandeng (Chanos
chanos) Pada Budidaya Sistem Polikultur. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
Vol. 3(3).
Suharyanto.
Muhammad T. Abdul M. 2010. Budidaya Multitropik Udang Windu (Penaeus monodon) Rumput Laut (Gracilaria sp.) dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Tambak. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.
Suwoyo,
Hidayat Suyanto dan Markus Mangampa. 2010. Aplikasi Probiotik dengan Konsentrasi
Berbeda pada Pemeliharaan Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.
Tarsim. 2004.
Pengaruh Penambahan Udang Putih (Penaeus
vannamei) Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Budidaya Intensif.
Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 3(3).
Tim Perikanan
Wwf Indonesia. 2014. Budidaya Ikan Bandeng (Chanos-chanos)
Pada Tambak Ramah Lingkungan. Versi 1.
Wulandari, Hesti
Yunita.2014. Optimalisasi Usaha Budidaya Tambak Ikan Bandeng Di Desa Tanjung
Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (Skripsi).
Ipb. Bogor.
Zulkarnain,
Muh Nur Fatih. 2011. Identifikasi Parasit yang Menyerang Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Dinas Kelautan
Perikanan dan Peternakan. Gresik.
0 komentar:
Posting Komentar