I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang vanname
(Litopenaeus vannamei) merupakan
salah satu komoditas perikanan ekonomis
penting dikarenakan secara umum peluang
usaha budidaya udang vaname tidak berbeda
jauh dengan peluang usaha udang jenis lainnya. Sebab pada dasarnya udang merupakan
komoditi ekspor andalan pemerintah dalam menggaet devisa (Amri dan Kanna, 2008). Udang
L. vannamei berasal dari perairan Amerika
d sudah
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan telah berhasil dikembangkan oleh para
pembudidaya vaname. Kebutuhan masyarakat dunia terhadap protein hewani ikan
terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk dunia. Sejak tahun
1990-an, tren produksi perikanan tangkap mengalami stagnasi
dan cenderung menurun akibat kerusakan
lingkungan laut dan upaya penangkapan
ikan ilegal dengan menggunakan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Oleh karena itu sektor budidaya diharapkan
dapat menjadi solusi dalam pemenuhan konsumsi ikan dunia.
Tambak
merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan
budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Umumnya manajemen tambak yang berada di
Indonesia dilakukan mulai dari pembesaran dan masa panen, sedangkan untuk bibit
diperoleh dari penjual atau tangkapan langsung dari alam. Teknologi yang
diterapkan dalam pengelolaan tambak terdiri atas tiga tipe tambak yakni tambak
tradisional, tambak semi intensif dan tambak intensif. Indonesia sejak lama menggunakan teknologi tradisional dan semi intensif, namun
sejak tahun 1986, pemerintah mengupayakan agar seluruh tambak yang ada dikelola
secara intensif (Wahyudi et al.,
2013).
Namun
dalam usaha budidaya tersebut ada faktor yang berperan
penting yang sangat menentukan keberhasilan budidaya yaitu pakan. Pakan sebagai komponen terbesar dalam
pembiayaan sangat menentukan keberhasilan budidaya. Manajemen pakan juga harus
sangat diperhatikan (Yustianti et al.,
2013). Penerapan manajemen kesehatan ikan pada budidaya udang menjadi keharusan
terutama semakin intensifnya dan berva-riasinya metode budidaya yang digunakan.
Penerapan manajemen kesehatan ikan yang pada tahapan pelaksanaan dike-nal
dengan biosekuritas menjadi alternative baru dalam pengelolaan budidaya udang. Budidaya
udang sangat berhubungan de-ngan lingkungan disekitar yang secara ke-seluruhan
tergantung dengan daya dukung lahan. Berbagai metode budidaya udang diterapkan
yang mengedepankan produk-si dan keberlanjutan. memiliki keterbatasan. Selain
karena infeksi penyakit, budidaya udang di Indonesia mengalami hambatan juga
karena tingginya limbah yang dihasilkan tidak bisa terdegradasi secara alamiah
sehingga kualitas air sangat memiliki dampak terhadap budidaya (Hudaidah,
2014).
1.2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana persiapan tambak yang akan
digunakan untuk budidaya udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) pada tambak super intensif?
2.
Bagaimana pemeliharaan dan pemanenan
pada budidaya udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) di tambak ?
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang
Vannamei
2.1.1. Klasifikasi
Udang vannamei termasuk kelas crustacean ordo decapoda yang dicirikan
dengan memiliki 10 kaki, hewan berkulit ini memiliki persamaan seperti halnya
udang laut lainnya. Udang
ini termasuk ke dalam genus Litopenaeus, karena memiliki tipe
telikum terbuka, yaitu pemijahan terjadi di luar tubuh udang (tipe telikum
terbuka). Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum : Artrhopoda
Kelas : Malascostraca
Ordo : Decapoda
Super famili : Penaeioidea
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus
vannamei
2.1.2. Morfologi
Tubuh udang secara morfologi dapat dibedakan menjadi dua
bagian yaitu cephalotorax atau bagian
kepala dan abdomen
atau bagian perut.
Bagian cephalotorax terlindungi oleh kulit chitin yang dinamakan
carapace. Pada bagian perut (abdomen)
terdapat lima pasang kaki renang yang telah berubah menjadi dua pasang ekor
kipas atau sirip ekor (urupoda) dan stu ruas lagi ujungnya runcing membentuk
ekor yang disebut telson. Dibawah pangkal ujung dubur terdapat lubang dubur
(anus). Sedangkan bagian cephalotorax
terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan antara lain anula,
sirip kepala (scophocerit), sungut besar (mandibula), alat pembantu rahang
(maxilla) yangberjepit kecil pada ujungnya (chela) yang dua pasang periopoda
belakangnya tidak terjepit (Haliman dan Adijaya (2005).
2.1.3.
Makan dan kebiasan udang vanname
Menurut Farchan (2006),
Spesies ini cenderung suka berenang di badan air dari pada didasar perairan,
melawan arus dan pada umur 40 hari udang vaname sering ditemukan
melompat keluar perairan,
apabila terdapat cahaya
atau peerubahan lingkungan. Sehingga
tambak pertumbuhan plankton
yang padat dapat mengurangi
resiko udang yang melompat dan tidak mudah stress apa bila terjadi perubahan
lingkungan. Udang vaname besifat
omnivora atau detritus feeder. Pada tambak intensif hampir tidak
terdapat jasad renik,
sehingga udang vaname
akan memangsa makanan yang
diberikan, detritus dan sesama udang itu sendiri (Subaidah, 2006).
2.2.
Budidaya Super Intensif
Dalam
budidaya udang semi intensif, intensif dan super intensif, ketersediaan
pakan buatan berkualitas dan secara kontinu adalah hal
yang penting. Pakan buatan adalah pakat yang diramu dari bahan-bahan sesuai
dengan kebutuhan udang budidaya. Pakan buatan harus memenuhi standar kebutuhan
nutrisi atau gizi udang budidaya. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan
harus tersedia dalam pakan udang antara lain protein, lemak, karbohidrat,
vitamin dan mineral. Intensifikasi
tentunya membutuhkan lebih banyak input produksi terutama benih dan pakan serta
sistem manajemen yang lebih baik. Pada sistem budidaya super intensif,
keberadaan dan ketergantungan terhadap pakan alami sangat dibatasi, sehingga
pakan buatan menjadi satu-satunya sumber makanan bagi organisme yang dipelihara
(Tacon, 1987), Organisme akuatik umumnya membutuhkan protein yang cukup tinggi
dalam pakannya. Namun demikian organisme akuatik hanya dapat meretensi protein
sekitar 20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi dalam air (Stickney, 2005).
Metabolisme protein oleh organisme akuatik umumnya menghasilkan ammonia sebagai
hasil ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam feses dan pakan yang tidak
termakan akan diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang sama.
III. PEMBAHASAN
3.1. Persiapan Tambak
3.1.1.Sarana Prasarana
Untuk
dapat berhasil menjalankan sistem supra intensif, maka konstruksi tambak harus
mengikuti standarnya yang telah ada,yaitu sebagai berikut:
a. Luasan tambak berkisar antara 400 m2-1600 m2 dengan kedalaman 2,5 m-3m dapat berbentuk segi empat ataupun lingkaran.
a. Luasan tambak berkisar antara 400 m2-1600 m2 dengan kedalaman 2,5 m-3m dapat berbentuk segi empat ataupun lingkaran.
b. Bagian dalam dan dasar tambak harus dilapisi beton
atau plastik khusus High
Density Polyethylene (HDPE) dengan ketebalan 0,7-1mm, agar tidak
terjadi rembesan dari luar kolam, serta untuk mempermudah memutar air yang
bertujuan untuk memusatkan bahan organik dengan sempurna ke Central Drain.
c. Standar Kincir, blower dan Turbo jet adalah 2
HP/ton biomassa udang. Dan sebagai acuan biomassa adalah per 1.000 m2
tambak dengan kedalaman 3 m dapat menampung 10 ton biomassa udang.
Sehingga untuk tambak 1.000 m2 dengan kedalaman 3 m dibutuhkan
energi sebesar 20 HP dan jika biomassa udang sudah hampir mencapai 10 ton,
maka pemanenan partial wajib dilakukan. Dalam setiap siklus budidaya biasa
dilakukan panen partial sebanyak 3-4 kali.
Manajemen modern.
Manajemen berbasis teknologi
harus diterapkan dalam sistem budidaya supra intensif untuk mengendalikan
resiko yang dapat terjadi, antara lain:
a. Genset Otomatis, yang dapat berjalan secara otomatis pada saat terjadi pemadaman listrik dari PLN.
a. Genset Otomatis, yang dapat berjalan secara otomatis pada saat terjadi pemadaman listrik dari PLN.
b. Automatic
Feeder, pemberian pakan secara otomatis dan terprogram baik
frekwensi pemberian pakan dan jumlah pakan yang diberikan dengan
dilontarkan dalam sehari-semalam. Dengan mengunakan Automatic Feeder, maka
nilai konversi pakan (FCR) dapat di tekan hingga mencapai kisaran 1,34
yang artinya 1,34 kg pakan dibutuhkan untuk menghasilkan1 kg udang.
c. Alat-alat ukur digital, untuk mengukur kualitas air
seperti tingkat keasaman (PH), kadar oksigen, dan kadar amoniak secara
berkala.
Dalam pengendalian limbah pada
tambak supra intensif, seperti telah disebutkan diatas, bahwa limbah padat
dapat diolah untuk menjadi bahan baku ikan nila dan kompos. Sedangkan air
limbah dapat dialirkan ke tambak berisi ikan bandeng, rumput laut jenis
gracillaria dan kerang-kerangan. Jadi pembudidayaan udang dengan sistem Supra
Intensif sangat disarankan untuk memfasilitasi tambaknya dengan pengelolahan
limbah (IPAL) agar menjadi tambak Supra Intensif berbasis Blue Economy.
3.1.2.
Teknik Persiapan Wadah Budidaya
Pengelolaan tambak
dengan prinsip Best Management Practice (BMP) dalam tambak super intensif harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.
Mendapatkan air pasok yang bebas hama
penular dan logam berat yang berbahaya.
2.
Tambak dapat menampung air dan mempertahankan kedalaman sesuai yang
diinginkan (tidak rembes).
3.
Mengeluarkan limbah dengan tingkat
sedimen dan bahan organik terlarut yang rendah.
4.
Dapat menjaga keseimbangan proses
mikrobiologis.
5.
Menggunakan bahan kimiawi/obat-obatan yang aman bagi manusia
dan lingkungan.
6.
Menebar benih yang sehat.
Untuk memenuhi persyaratan di atas maka
unit tambak terdiri dari :
1.
Saluran pengairan (sumber air pasok).
2.
Unit tandon (terdiri dari petak
karantina, petak pengendapan, petak biofilter).
3.
Petak pemeliharaan.
4.
Petak pengolahan limbah.
Pembangunan tambak intensif
dapat memanfaatkan lahan marginal (tidak termanfaatkan) seperti misalnya
rawa-rawa, lahan pasir, lahan parit atau gambut namun disesuaikan dengan
konstruksi dasar pematang.
1.
Konstruksi biocrete (campuran semen, ijuk, bambu dan dasar plastik).
2.
Konstruksi plastik PE, Geotextile.
3.
Konstruksi plastik berlapis pasir.
4.
Dasar semen/concrete.
5.
Konstruksi batako/bata merah.
6.
Konstruksi bata putih (kapur gunung).
7.
Konstruksi tanah liat.
1. Bentuk Petakan
Bentuk petakan : lingkaran,
bujur sangkar atau empat persegi panjang (1: 2), Memiliki sudut yang tumpul pada setiap
tambak, Sisa lahan dengan petakan tidak beraturan dapat dimanfaatkan sebagai
tandon, Dimensi pematang disesuaikan dengan struktur, tekstur tanah, dan kedalaman air tambak (lebih dari
1.2 m). Memiliki tabel pasang surut dan
gambaran pasang surut lokal. Lebar atas minimal 3,5 m untuk pematang utama,
Dimensi saluran : mempertimbangkan kebutuhan air, fenomena pasang surut lokal
dan simpangan waktu, Peletakan sarana listrik tertata rapi Dengan Tolok Ukur
Pekerjaan berupa Tidak ada titik mati di dalam tambak. Sehingga dapat dibilang
pengelolaan tambak haurus Efektif dan efisien dalam hal antara lain penggunaan
lahan, penggunaan kincir, penanganan.
Pematang memiliki
aksesibilitas terhadap kendaraan roda Tersedia air yang cukup pada kondisi
pasang surut minimal. Jaminan keamanan dan keselamatan kerja tinggi. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah mengeluarkan imbahnya adalah tambak lingkaran atau bujur sangkar
dengan sudut melengkung. Namun
pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada salah satu wilayah kecil di
tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi saluran tengah, kolam tengah di
dalam tambak dan yang paling berperan adalah peletakan kincir air tunggal atau berangkai. Peran dan Bentuk
Saluran Pembuangan, Pintu panen dan pengeluaran lapisan air, Caren (Peripheral
canal) Pada umumnya caren hanya berfungsi pada saat panen. Namun kini caren
tengah juga sangat banyak manfaatnya dalam mengendapkan dan menampung limbah
untuk selanjutnya dihisap dengan pompa alcon (pompa centrifugal bermesin)
dengan diameter selang dan alat 2 inch.
Sehingga Diperlukan pada saat persiapan untuk tambak yang memiliki masalah
rembesan atau sulit dikeringkan, Besaran
Luas dan kedalaman disesuaikan dengan tingkat perembesan dan kemampuan
pompa dan Bila dimanfaatkan untuk memudahkan panen, jaraknya 5 m dari kaki
pematang, miring ke arah pintu panen.
2.
Sumber Tenaga Listrik
Sumber tenaga listrik
untuk budidaya udang intensif harus mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk
mengoperasionalkan pompa air, blower,
kincir air, penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber tenaga
listrik. Sumber tenaga listrik ini bisa
dipenuhi dari dua sumber yaitu listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan
atau dari genset. Untuk budidaya udang intensif sebaiknya mempunyai kedua
sumber listrik tersebut. Satu unit generator pembangkit listrik harus selalu
siap kai saat terjadi gangguan listrik dari sumber pasokan listrik .Dengan
Tolok ukur pekerjaan berupa Tersedianya pasokan
listrik 125 % dari kapasitas seluruh kincir air yang diperlukan dalam
jumlah terbanyak pada akhir masa pemeliharaan.
3.
Peralatan Monitoring Kualitas Air
Peralatan monitoring kualitas
air, penting untuk dimiliiki dalam usaha budidaya udang secara intensif.
Peralatan ini harus ada agar kualitas air di tambak dapat dimonitor setiap saat
dan dipertahankan pada kisaran optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan
udang. Peralatan tersebut antara lain termometer (pengukur suhu), refraktometer
atau salinometer (pengukur salinitas), DO meter (pengukur oksigen terlarut), pH
meter, dan secchi disk (pengukur kecerahan air), dan alat test kit, seperti
untuk analisa alkalinitas, Nitrit dan Nitrat. .
a.
Persiapan Tambak
Persiapan tambak
bertujuan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan, dan produktivitas lahan, dengan mengeliminir faktor-faktor yang
tidak mendukung kelangsungan hidup udang dan mengoptimalkan beberapa faktor
yang memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Uraian
kegiatan ini mencakup perkerjaan
konstruksi secara umum, persiapan
dasar tambak dan persiapan air, yang akan diuraikan dalam petunjuk berikut ini:
b.
Konstruksi
Konstruksi tambak yang
ideal dapat mendukung budidaya udang
bisa dilaksanakan dengan sempurna dan efisien, yakni ; mampu menahan air, mampu
membuang air limbah, mampu memelihara kualitas air, dan tambak dapat dikeringkan dengan mudah dan
sempurna. Namun demikian sering kali konstruksi tambak tidak atau kurang
sempurna, seperti adanya bocoran dari samping tambak, infiltrasi (rembesan air
masuk), pintu air tambak kurang baik dan elevasi dasar tambak tidak ideal.
Apabila konstruksi tambak tidak ideal maka langkah-langkah dan solusi yang harus
dilakukan sebagai berikut.
c.
Penutupan bocoran
Penutupan bocoran pada
pematang dapat dilakukan dengan memasang
kasa atau waring ukuran mata jaring (mesh size) 1,0 mm dan atau ijuk (untuk jangka panjang lebih baik).
Alternatif penyumbatan dapat dilakukan dengan menggunakan kerai bambu, gedek bambu dilapis aspal pasir.
Bila kondisi bocoran begitu berat, disarankan untuk memakai konstruksi lapisan
plastik Geotextile, plastik PEBC (Poly Ethylen Biphenil Chloride), bata
plesteran, batako, batu kumbung, plengsengan beton, dan pasangan batu dengan
Tolak ukur pekerjaan berupa Pekerjaan berhasil bila tidak ada lagi bocoran atau
maksimum kehilangan air 5%/hari pada bulan pertama dan 2%/hari pada bulan kedua
hingga panen.
d.
Rembesan masuk
Bila tambak rembes atau
sangat porous maka dilakukan perbaikan konstruksi dasar tambak sebagai berikut
:
·
Dilapisi dengan tanah yang didominasi
liat melebihi 50%, sedalam minimal 20
cm.
·
Dilapisi plastik poliethylene 0,2 mm dan
diatasnya dilapisi pasir 5 –10 cm
·
Plester dasar (teknik plester pakai
sistem blok)
e.
Sistim pembuangan
Memastikan air dapat
dikeluarkan dengan sempurna, lumpur tidak mengendap di pipa dan kotoran (limbah organik) dapat dikurangi,
dengan cara :
1.
Monik, dapat mengeluarkan air sesuai
pada kolom atau lapisan yang diuinginkan,
2.
Monik harus dirancang agar dapat digunakan untuk panen sistem kantong
dengan dinding di depan monik harus diperkuat agar tahan terhadap terjangan
air.
3.
Mampu atau terdapat sarana untuk melakukan
pembuangan setiap 2 jam setelah pemberian pakan melalui sentral drain dan kolom
air melalui pintu air atau PVC.
4.
Sentral drain harus memiliki saringan yang
sesuai dengan ukuran udang.
Elevasi dasar petakan,
saluran pembuangan, dan tendon Dalam
pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti semula.
1.
Dasar petakan diatur miring kearah
pembuangan dengan slope minimal 0,2%.
2.
Beda elevasi dasar antara petakan
pemeliharaan dan saluran pembuangan minimal
25 cm, sedangkan elevasi tandon lebih tinggi dari saluran tapi lebih
rendah dari petak pemeliharaan. Bila elevasi tidak sesuai maka untuk
pengeringan gunakan pompa air.
3.
Saluran pembuangan dapat dikeduk
beberapa kali selama pemeliharaan untuk menghindari pendangkalan oleh kotoran
tambak.
4.
Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi
dikembalikan seperti semula. Dengan Tolok Ukur Pekerjaan berupa Air di petak
pemeliharaan dapat terbuang hingga kering.
f. Rasio luas tandon atau petakan pemeliharaan
Volume air yang
tersedia dalam tandon memenuhi syarat minimum kebutuhan air/hari dan pergantian
air maksimum pada masa kritis (yaitu 30% dari total volume tambak yang beroperasional) sehingga air yang siap pakai dalam 1 hari harus
mencapai 30 % dari areal. Sedangkan untuk petak pengendapan dan penyerapan
nutrient (petak pengolah limbah), dan petak treatment awal memerlukuan areal
tambahan sekitar 20 %.
3.2. Adaptasi
dan Penebaran Benih
Benur udang vannamei yang akan ditebar dan
dibudidayakan harus dipilih yang terlihat sehat. Kriteria benur sehat dapat
diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan pengujian visual, mikroskopik
dan ketahanan benur. Hal tersebut bisa dilihat dari warna, ukuran panjang dan
bobot sesuai umur Post Larva (PL), kulit dan tubuh bersih dari organisme
parasit dan patogen, tidak cacat, tubuh tidak pucat, gesit, merespon cahaya,
bergerak aktif dan menyebar di dalam wadah (Haliman dan Adijaya, 2005).
Persiapan yang harus dilakukan sebelum penebaran adalah penumbuhan pakan alami
dengan pemupukan. Persiapan lain yang perlu dilakukan yaitu pengukuran kualitas
air, seperti suhu, salinitas, pH, DO, ammonia dan nitrit. Selain itu,
aklimatisasi atau proses adaptasi benur terhadap suhu maupun salinitas juga
merupakan hal yang penting dalam penebaran benur (Haliman dan Adijaya, 2005).
Setelah persiapan tambak selesai dan
benar-benar siap untuk dilakukan budidaya udang vannamei di tambak super
intensif, terlebih dahulu ditebar benih udang vannamei. Penebaran dilakukan
pada pukul 08.00 WIB atau menjelang sore hari pukul 16.00 WIB agar menghindari
adanya perbedaan suhu yang terlalu besar dari air pengangkut ke air yang ada di
tambak. Sebelum penebaran benih ke tambak, perlu adaptasi dengan suhu air yang
ada di tambak. Adaptasi ini dilakukan dengan cara aklimatisasi. Aklimatisasi
ini dapat dilakukan dengan cara, kantong plastik yang berisi benih vanname
diapungkan diatas permukaan air tambak selama 30-60 menit agar suhu yang ada di
kantong sama dengan suhu air tambak. Setelah suhu air dalam kantong kira-kira
sama dengan suhu tambak, kantong plastik dibuka dan air tambak dimasukkan ke
dalam kantong plastik sedikit demi sedikit sampai kantong terisi penuh dengan
air tambak. Hal ini diperkuat oleh Supriyono et al, (2006), Proses aklimatisasi
berlangsung selama 1 - 1,5 jam dengan cara membuka plastik kemasan benur dan
dimasukan kedalam tambak. Air tambak dimasukan ke dalam plastik sampai penuh
secara perlahan-lahan. Setelah air tercampur, benur siap dimasukan dalam hapa.
Benur yang telah siap digunakan untuk percobaan dihitung sesuai kebutuhan dan ditebar
pada media pemeliharaan.
3.3. Pemeliharaan
3.3.1. Manajemen pakan
Pakan
merupakan salah satu komponen pembiayaan terbesar sangat menentukan
keberhasilan budidaya. Untuk itu diperlukan pakan alternatif yang murah dan
mudah didapat. Selama ini protein bersumber dari tepung ikan, karena produksi
perikanan tangkap mulai menurun akibatnya harga tepung ikan menjadi mahal.
Sehingga diperlukan sumber protein alternatif sebagai pengganti tepung ikan
yang mengandung protein cukup baik. Menurut
Wijana (2006) yang menyatakan bahwa udang vaname pada stadia post larva
membutuhkan protein pada pakan berkisar antara 30-50% untuk menunjang
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Pakan yang baik adalah pakan yang
mengandung protein yang tinggi dimana didalamnya terdapat asam-asam amino yang
dapat membantu pertumbuhan. Mudjiman
(2004) menambahkan bahwa protein sangat dibutuhkan oleh tubuh ikan baik untuk menghasilkan
tenaga maupun untuk pertumbuhan bagi ikan. Protein merupakan sumber tenaga yang
paling utama dimana didalamnya terdapat asam-asam amino yang sangat dibutuhkan
oleh ikan.
Kekurangan
asam amino dalam pakan dapat menghambat proses pertumbuhan. Jenis asam amino
yang tidak terdapat pada tepung usus ayam tersebut yaitu methionin. Methionin
merupakan salah satu jenis asam amino essensial, methionin ini diperlukan untuk
pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buwono (2000) menyatakan bahwa
metionin dan sistin, keduanya merupakan asam amino yang mengandung gugus
sulfur. Sistin mempunyai kemampuan mereduksi sejumlah metionin yang diperlukan
bagi pertumbuhan yang optimal. Protein pakan yang tinggi tidak selamanya
menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik, tergantung dari bahan pakan yang
digunakan dan keseimbangan dari komposisi bahan pakan.
Pada awal pemeliharaan, pakan yang
diberikan berbentuk crumble/remahan, karena ukuran udang yang kecil dan
menyesuaikan dengan bukaan mulut udang. Kandungan proteinnya masih tinggi,
sesuai dengan kebutuhan udang. Hal ini diperkuat oleh Zakaria (2010), kandungan
protein crumble yaitu 30 persen
karena udang memerlukannya untuk proses pertumbuhan. Pakan yang dikonsumsi
udang secara normal akan diproses selama 3-4 jam setelah pakan tersebut
dikonsumsi, kemudian sisanya dikeluarkan sebagai kotoran. Pertimbangan waktu
biologis tersebut yang menentukan pemberian pakan dapat dilakukan pada interval
waktu tertentu. Frekuensi pemberian pakan di tambak tersebut pada awal
pemeliharaan dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 06.00, 11.00 dan
15.00 WIB. Frekuensi pemberian pakan tidak terlalu sering karena benur udang
masih memanfaatkan pakan alami yang tersedia dalam petakan. Banyaknya pemberian
pakan pun masih dengan metode blind feeding, karena banyaknya konsumsi
pakan masih belum bisa dikontrol melalui anco. Setelah dilakukan sampling
pertama pada umur 35 hari, pemberian pakan baru bisa dikontrol melalui anco.
Pada umur 35 hari, pakan buatan yang diberikan sudah dalam bentuk pellet dan
frekuensi pemberian pakan adalah lima kali sehari, yaitu pada pukul 06.00,
11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00 WIB karena udang sudah terbiasa dan banyak
bergantung pada pakan buatan. Setelah udang berumur 60- 70 hari, pakan buatan
pellet yang diberikan mempunyai kandungan protein yang lebih rendah, yaitu 28
persen. Kuantitas pemberian pakan perlu diperhatikan agar udang tidak mengalami
kekurangan pakan maupun kelebihan pakan. Aplikasi pakan tambahan juga
diterapkan dalam pemeliharaan udang ditempat ini. Pakan tambahan tersebut
antara lain vitamin C, imunostimulan, omega protein dan probiotik. Pemberian
pakan tambahan dicampurkan pada pakan dengan dosis tertentu. Vitamin C diberikan
dengan dosis tiga gram per satu kilogram pakan, imunostimulan sebanyak lima
gram per kilogram pakan, omega sebanyak 20 ml per kilogram pakan, sedangkan
bakteri probiotik sebanyak 200 ml per kilogram pakan.
Probiotik yang diberikan
adalah probiotik dari jenis Bacillus sp. yang merupakan hasil kultur.
Program pemberian pakan tambahan tersebut diterapkan selama empat hari
berturut-turut dalam satu minggu. Pencampurannya dilakukan pada pemberian pakan
pukul 15.00 WIB. Tahap-tahap kultur bakteri probiotik tersebut adalah dengan
mempersiapkan media untuk tempat tumbuh dan makanan bakteri, yaitu dengan
merebus setengah kilogram tepung kanji, setengah kilogram tepung kedelai atau
kacang hijau, setengah kilogram tepung beras, 100 mililiter susu kental manis,
dan dua liter tetes (molase) dalam 20 liter air. Setelah rebusan tersebut
dingin, kemudian dituangkan dalam 80 liter air dan diaerasi. Setelah itu
starter bakteri dapat ditebarkan ke dalam wadah tersebut. Starter yang
digunakan adalah probiotik yang dijual di pasaran dengan nama dagang Pond Plus.
Bakteri probiotik hasil kultur ini dapat digunakan selama sekitar dua minggu
pemeliharaan. Namun aerasi harus selalu dinyalakan untuk mensuplai kebutuhan bakteri
tersebut akan oksigen.
Menurut Sarwono
(2007), Strategi pemberian pakan dikontrol
sangat ketat berdasarkan jam pakan dan kontrol anco dimana penambahan atau
pengurangan pakan dilakukan /jam pakan.
3.3.2.Manajemen Kualitas Air
Kualitas
air yang sesuai bagi kehidupan organisme akuatik merupakan faktor penting
karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup
organisma perairan. Cuzon et al. (2004) menyatakan faktor lingkungan harus
optimal bagi proses fisiologi udang Litopenaeus vannamei. Selanjutnya dikatakan
bahwa kebutuhan nutrisi dapat berubah sesuai dengan variasi faktor lingkungan
seperti salinitas, temperatur, pH dan oksigen terlarut dan NH3.
Menurut
Haliman dan Adijaya (2003), suhu optimal pertumbuhan larva udang antara 26-
32°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi
metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses
metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan
mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi
menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan kekurangan
oksigen. Zweig et al (1999) dalam Suwoyo (2009) menambahkan bahwa temperatur
optimal untuk udang vaname berkisar antara 28 – 30 oC.
Xincai
dan Yongquan (2001) menjelaskan bahwa salinitas optimal untuk udang vaname
berkisar antara 5-35 ppt. Saoud et al. (2003) menambahkan bahwa udang vaname
dapat tumbuh pada perairan dengan salinitas berkisar 0,5-38,3 ppt. Menurut Purba (2012) bahwa derajat keasaman (pH) air
media pemeliharaan Larva udang vannamei selama penelitian adalah 7,7 - 8,7.
Kisaran pH tersebut masih layak bagi kegiatan pembenihan udang vannamei serta
mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Elovaara (2001) menambahkan
bahwa untuk stadia larva pH yang layak untuk udang vaname berkisar antara
7,8-8,4, dengan pH optimum 8,0.
Selalu di
upaya kan dalam kondisi optimal jadi di ukur lengkap untuk mendapat kan data
akurat sebagai acuan untuk treatmen harian petakan kualitas air, bakteri dan
patologi (Sarwono, 2007).
3.3.3.Manajemen Kesehatan
Menurut
Zakaria (2010) pencegahan masuknya hama dan penyakit dilakukan sejak tahap
persiapan. Langkah-langkah yang diambil antara lain dengan mensterilkan air
yang masuk dengan kaporit dan saponin. Pemasangan filter berupa net atau jaring
pada pipa inlet dan outlet air laut dan air tawar juga dilakukan untuk mencegah
masuknya hama ke dalam petakan. Sedangkan pencegahan keberadaan penyakit pada
udang vannamei bisa dilakukan dengan penggantian air tambak, pengelolaan
pemberian pakan dan pemberian probiotik. Pada tahap pemeliharaan, permasalahan
yang sering timbul adalah menurunnya nafsu makan udang akibat molting. Hal ini
diantisipasi dengan aplikasi vitamin C, imunostimulan serta probiotik untuk
menambah nafsu makan udang. Pemberian kapur (CaCO3) juga diterapkan untuk
menyuplai kalsium sebagai pembentuk karapaks udang untuk mempercepat proses
molting. Karena pada saat proses molting, kondisi tubuh udang vannamei melemah
dan mudah terserang penyakit.
Pengendalian
penyakit pada larva udang vaname dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan
pencegahan dan pengobatan. Subaidah et al. (2006) yang menyatakan bahwa upaya
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit
antara lain adalah dengan menerapkan sistem biosecurity. Selama kegiatan
penelitian, upaya menjaga kesehatan larva dilakukan dengan cara mengelola
kualitas air dan penerapan biosecurity serta strerilisasi terhadap semua
peralatan yang digunakan. Penerapan biosecurity dilakukan dengan cara menempatkan
cuci kaki (foot bath) pada setiap pintu
masuk ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi
ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan. Setelah larva
memasuki stadia Mysis-1, jenis penyakit yang sering mewabah adalah jenis
Zoothamnium sp dari golongan protozoa dengan gejala gerakan lemah dan
kebanyakan larva berada di atas permukaan air. Tetapi selama peneliatian ini
berlangsung, tidak ditemukan adanya penyakit pada larva udang. Probiotik adalah
salah satu bahan alternatif pengganti antibiotik yang berpotensi untuk
dikembangkan yang mampu berkompetisi dengan patogen penyebab penyakit.
Penggunaan
probiotik bertujuan untuk memperbaiki kualitas air dan daya tahan tubuh, dimana
penggunaan probiotik ini sesuai dengan kebutuhan larva itu sendiri. Selama
pemeliharaan larva, probiotik yang digunakan adalah bubuk Epicin D merk
Epicore, Sanolife dan Bacillus substilis. Bakteri tersebut berfungsi untuk
menghambat munculnya bakteri pathogen, meningkatkan kesehatan larva dan sebagai
salah satu upaya penanggulangan penyakit (Panjaitan et al., 2014).
Untuk
mencegah terjadinya serangan penyakit yaitu hal yang baik bagi kesehatan ikan
adalah salah ssatunya dengan cara melakukan kegiatan pembesihan kotoran.
Biasanya punya saluran buang di tengah dasar petakan dan setting kincir yang
men-dukung sehingga kotoran bisa ter-kumpul di dasar tengah petakan selain
pintu outlet yang bisa diatur untuk b-ang air atas dan bawah bahkan disipon
(kotoran disedot dari atas) (Sarwono, 2007).
3.4. Pemanenan
3.4.1.Persiapan pemanenan
a. sarana dan prasarana
Adapun sarana dan prasarana yang perlu dipersiapkan dalam
pemanenan udang adalah saluran air dalam tambak dan saringan. Saluran air dalam
tambak (inlet dan outlet) menggunakan pipa paralon dan air
disalurkan dengan pompa. Hal ini dilakukan karena tidak tersedianya pintu masuk
dan pintu keluar air. Hal ini diperkuat oleh Zakaria (2010) yang central drainage (saluran pembuangan air
tengah) diperlukan untuk membuang lumpur dan kotoran dari dasar tengah kolam.
Namun saluran ini tidak tersedia pada petakan tambak, sehingga penyiponan tidak
dapat dilakukan. Air tawar yang masuk diambil dari sumur bor yang berjarak
sejauh kurang lebih satu kilometer dari lokasi tambak dan dialirkan melalui
pipa paralon. Begitu pula air laut, diambil dari tandon dengan menggunakan
pompa dan dialirkan melalui pipa paralon, sedangkan pembuangan air dilakukan
dengan menggunakan pompa dan dibuang di sungai yang mengalir di sebelah tambak.
Saringan khusus digunakan untuk melakukan penangkapan udang.
b. teknik pemanenan
Pemanenan udang dilakukan karena
beberapa sebab atau alasan. Alasan-alasan dilakukannya pemanenan udang tersebut
antara lain karena melihat harga udang yang tinggi pada ukuran tertentu dan
dirasa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan biaya pembesaran untuk
ukuran yang lebih besar, kondisi kualitas air yang terus menurun sehingga tidak
memungkinkan lagi untuk media hidup udang vannamei serta karena udang terserang
penyakit sehingga dengan terpaksa dipanen untuk menghindari kerugian yang lebih
besar. Normalnya pemanenan dilakukan pada umur sekitar 100 hari saat ukuran
udang mencapai 60-70 ekor per kilogram. Waktu pelaksanaannya adalah pada malam
atau pagi hari untuk menghindari terik matahari sehingga udang tidak stres
terhadap perubahan suhu yang mengakibatkan moltingnya udang. Udang yang
berganti kulit saat panen akan mengurangi harga jualnya. Oleh karena itu,
sebelum panen ada aplikasi pemberian kaptan dan semen putih sebanyak kurang
lebih 400-500 kg/ha untuk mengeraskan karapaks udang (Zakaria, 2010). Menurut
Zakaria (2010), proses pemanenan dilakukan dengan tahap-tahap antara lain air
dalam petakan dipompa keluar dan saat ketinggian air mencapai lutut orang
dewasa, beberapa pekerja menyaring udang-udang tersebut menggunakan alat
penyaring yang dirancang khusus untuk panen. Setelah air menyusut, sisa-sisa
udang di dasar tambak dipungut belakangan. Udang yang telah dipanen kemudian
dicuci sampai bersih dengan cara disemprot air berulang-ulang. Udang yang sudah
dicuci bersih kemudian dikelompokkan oleh petugas yang mengelompokkan udang
berdasar besar dan kualitasnya. Pengelompokan udang ini berfingsi untuk
memisahkan udang yang mempunyai kualitas bagus dengan udang yang mengalami
molting. Setelah melewati proses ini, udang dimasukkan dalam
keranjang-keranjang besar dan ditimbang. Sampling
panen untuk penentuan ukuran udang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu
pihak pemilik tambak dan pihak pembeli udang. Udang yang sudah ditimbang lalu
dimasukkan dalam kontainer fiber di atas truk/pick up dan dicampur dengan es.
Susunannya berurutan antara es dengan udang. Menurut Zakaria (2010) perlakuan
udang pasca panen perlu diperhatikan, karena udang termasuk produk makanan yang
mudah sekali rusak. Tenaga yang digunakan saat panen mulai dari proses
penjaringan udang dalam tambak sampai pengelompokan dan penempatan udang di
dalam kontainer pendingin pada truk sebanyak lebih kurang 20-30 orang.
3.4.2.Pasca
Panen
a. Penanganan pasca panen
Beberapa hal pertama yang perlu
diperhatikan dan perlu dilakukan pada saat
adalah udang siap dipanen yaitu harus berkoordinasi dengan petani udang
yang lain. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi konflik dengan petani udang
yang lainnya. Koordinasi tersebut dilakukan dengan cara memberitahukan kepada
petani yang lain kapan waktu pemanenan udang dilaksanakan. Jika tidak
dikoordinasikan dengan petani lain, akan dikhawatirkan air yang dibuang oleh
tambak yang sudah dipanen tersebut disedot dan masuk kedalam tambak yang belum
panen lainnya. Air yang disedot tersebut tentu saja mengandung pencemar berupa
limbah yang berasal dari tambak yang telah panen. Setelah sepakat dengan petani
tambak yang lain, maka selanjutnya adalah mempersiapkan tambak agar udang tidak
mengalami stress yaitu dengan cara
mengapur tambak di dasar perairan tambak. Jika udang ada yang sedang moulting, maka tundalah pemanenan. Udang
sebaiknya jangan diberi makan agar usus udang kosong. Pemanenan udang harus
selesai dalam jangka waktu maksimal 6 jam dalam satu lokasi tambak. Menurut KKP
(2007), penanganan saat panen dan pasca panen yaitu dengan cara
mengkoordinasikan waktu panen dengan petani lain. Harus dipastikan petani lain
tahu mengenai waktu panen. Gunakanlah kapur pertanian (100-200 kg/Ha) ke dalam
kolam dan ke dasar kolam yang lebih hitam khususnya dibagian sudut dan di
pinggir. Hindari pula pemanenan pada saat bulan penuh atau mati. Udang juga
perlu diperiksa apakah ada yang berganti kulit, jika ada udang yang berganti
kulit >10% maka tundalah panen satu atau dua hari kemudian. Air jangan
sampai ditukar atau dikurangi selama 3-4 hari sebelum panen. Udang juga jangan
diberi pakan 6 jam sebelum dilakukan pemanenan agar usus kosong dan meningkatkan
ketahanan hidupnya. Proses pemanenan harus selesai dalam waktu 6-8 jam dan dipanen dalam jangka waktu jam 6 sore sampai
jam 6 pagi.
b. Peralatan yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam proses pemanenan udang
sangat sederhana. Alat-alat tersebut diantaranya adalah seser/serok, jaring
kantung, pompa air dan tanki penampungan hasil panen. Seser/serok digunakan
untuk mengambil udang dalam jumlah yang sedikit, sedangkan jaring kantung
digunakan untuk mengambil udang dalam jumlah yang banyak. Pompa air perlu
digunakan untuk memudahkan proses pengeringan tambak. Jika pengeringan sulit
dilakukan, maka perlu ditambahkan pintu air tambahan yang dilasisi dengan
jaring. Menurut KKP (2007), pompa digunakan dalam proses pemanenan untuk
mempercepat panen dan menggunakan jaring kantung untuk menangkap udang dalam
jumlah yang banyak. Hindari pemanenan menggunakan jala. Jika pemgeringan air
tambak terasa sulit, gunakan pintu air tambahan yang terbuat dari banbu atau
jaring ikan di dalam kolam disudut yang paling dalam untuk memasang jaring
kantung.
c. Pengemasan dan
Penanganan Selama Transportasi
Dapat dilakukan dengan
dua cara yakni cara terbuka dan cara tertutup. Cara terbuka dilakukan dengan mengisi kantong plastik
yang kuat menggunakan air bersih dan
benih dimasukkan sedikit demi sedikit
(satu kantong diisi 5000-6000 ekor dengan air 10 liter, ketinggiannya 8-9 cm). Kantong
tersebut dimasukkan dalam karton. Pecahan es sebanyak 10% volome air dimasukkan
ke dalam sejumlah kantong plastik. Kantong plastik yang telah berisi es ditempatkan
diantara kantong benih dan kotak karton. Suhu air yang baik maksimal 20° C. Udara dalam plastik
dikeluarkan dan diberi oksigen dari tabung sampai volume air dan
oksigen dalam plastik berbanding 1:1 bagian. Ujung plastik segera diikat rapat dan benih siap diangkut.
Setelah benih sampai di tempat tujuan, kantong benih diapungkan dalam tambak
sekitar 1 jam, dan dibuka agar air tambak masuk pelan-pelan. Kantong
dimiringkan agar benih keluar.
Selain cara terbuka, udang
yang akan dipanen dipuasakan terlebih dahulu
agar selama pengangkutan, air tidak keruh oleh kotoran udang. Pemuasaan
dilakukan apabila pengangkutan lebih dari 1 jam. Tempat yang akan
digunakan untuk mengangkut udang berupa bak drum atau fiber diisi dengan air
bersih,
lalu udang
dimasukkan sedikit demi sedikit dengan jumlah tergantung
ukurannya. Benih ukuran 1-1.2 cm dapat diangkut
dengan kepadatan maksimal 5.000-6000 ekor dalam 10 liter. Selama
pengangkutan diberikan aerasi.
Selama pengangkutan, suhu
dalam kemasan yang digunakan harus stabil dan maksimal 20° C. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi aktivitas fisik dan metabolisme udang agar ketersediaan
oksigen lebih banyak. Apabila suhu tidak stabil atau tinggi dapat menyebabkan
aktivitas fisik maupun metabolisme udang meningkat, yang dapat menurunkan
kandungan oksigen sehingga dapat menyebabkan kematian. Menurut Karnila et al.
(1999), perubahan suhu kemasan yang disimpan pada ruang dingin dengan suhu
terkontrol pada suhu 17° C sangat kecil, sehingga menyebabkan udang sudah
tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasi berkurang
sehingga diharapkan daya tahan hidup udang cukup tinggi Adanya perubahan suhu
yang sangat besar diduga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang. Dengan
suhu yang tinggi udang akan cepat sadar dan aktivitasnya tinggi. Makin tinggi
aktivitas udang, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut
ketersediaan oksigen yang tinggi. Karena di dalam media kering ketersediaan oksigen
terbatas maka udang akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian.
Apabila suhu dalam kemasan dapat dipertahankan stabil, maka ketahanan hidup
udang dalam media kering ikut meningkat. Dengan suhu yang stabil tersebut
diharapkan aktivitas fisik maupun metabolisme udang rendah, sehingga konsumsi
oksigen juga rendah.
IV.
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
ditarik dari makalah yang telah dibuat adalah sebagai berikut :
1.
Udang vannamei banyak diminati merupakan udang yang memiliki keunggulan seperti tahan penyakit, pertumbuhan cepat,
sintasan selama pemeliharan tinggi
dan nilai konversi pakan rendah (1:1,3).
2.
Sebelum menebarkan benur udang sebaiknya benur diadaptasikan
pada kolam tambak agar tidak terjadi perbedaan suhu yang meningkat dengan cara
mengapungkan kantong yang berisi benur kekolam dan menyiram perlahan-lahan
3. Selama
pemeliharaan dilakukan monitoring kualitas air yang meliputi: suhu, salinitas,
pH, kedalaman air dan oksigen
4.2. Saran
Saran yang dapat diberikan
dari makalah ini diantaranya adalah :
1.
Sebaiknya pembudidaya dapat memberikan pakan yang mengandung nutrisi yang
mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan kultivan.
2.
Sebaiknya dalam pemeliharaan manajemen kualitas air lebih diperhatikan untuk
meminimalisir hama maupun penyakit.
Amri, K. dan Khairuman, 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif.
Agromedia Pustaka, Depok. 75 hlm.
Amri, K dan Kanna, I, 2008. Budidaya Udang Vaname: Secara Intensif, Semi Intensif, dan Tradisional.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Farchan M, 2006 teknik budidaya udang vaname BAPPL
Sekolah Tinggi Perikanan Serang.
Haliman, R. W Adijaya D.S. 2004.Udang Vannamei.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Haliman,
Rubiyanto. W dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei, pembudidayaan dan prospek
pasar udang putih tahan penyakit. Jakarta: Penebar swadaya, Jakarta, 75 hlm.
Herlina
N. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Pada Pembesaran Udang. Fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan. Universitas Negeri Surakarta. Hal 66.
Irawan,
A., Aminullah, Dahlan, Ismail, Bahri, S., & Fahdian, Y. 2009. Faktor – Faktor Penting dalam Proses
Pembesaran Ikan di Fasilitas Nursery dan Pembesaran. Makalah Bidang
Kosentrasi Aquaculture Program Alih Jenjang Diploma IV ITB. hlm 1-17.
KKP.
2007. Panduan Praktis Praktek Manajemen yang Baik untuk Tambak Udang di Aceh. Banda Aceh. 55 halm.
Mustafa
A., Erna Ratnawati dan Irmawati Sapo. 2010. Penentuan Faktor Pengelolaan Tambak yang Mempengaruhi Produktivitas
Tambak Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.
Panjaitan, Amyda
Suryati.,, Wartono Hadies Dan Sri Harijati.
2014. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus
Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal
Manajemen Perikanan Dan Kelautan Vol. 1(1) artikel 2.
Ratnawati, E. dan Asaad, A, I. 2012. Daya Dukung Lingkungan Tambak di Kecamatan
Pulau Derawan Dan Sambaliung, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Sulawesi
Selatan.
Subaidah,S. 2006. Juknis Pembenihan udang vannamei
di BBAP Situbondo. Kementrian
Kelautan dan Perikanan,Direktorat Jendral Perikanan Budidaya,BBAP Situbondo.
Supriyono, E., E. Purwanto dan N. B. P. Utomo. 2006. Produksi Tokolan Udang Vanamei (Litopenaeus
Vannamei) dalam Hapa dengan
Padat Penebaran yang Berbeda. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 5 (1): 57 – 64.
Tacon, A.G.J., Cody, J.J., Conquest, L.D.,
Divakaran, S., Forster, LP., Decamp, O.E., 2002. Effect of culture sistem on
the nutrition and growth performance of Pacific white shrimp Litopenaeus
vannamei (Boone) fed different diets. Aquaculture Nutrition 8,121 -137.
Yustianti, Moh. Noh Ibrahim Dan Ruslaini. 2013. Pertumbuhan Dan Sintasan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei)
Melalui Substitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Usus Ayam. Jurnal Mina Indonesia.
V0l 1(1):93-103.
Zakaria, Ayudhia Savitri. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Tambak Udang
Binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan. Program Studi Budidaya
Perairan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.
0 komentar:
Posting Komentar