MANAJEMEN UDANG VANNAME (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK DENGAN SISTEM BUDIDAYA SUPER INTENSIF

Jumat, 16 Maret 2018


I.                  PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Udang vanname  (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan  ekonomis penting dikarenakan secara umum  peluang usaha budidaya udang vaname tidak  berbeda jauh dengan peluang usaha udang jenis lainnya. Sebab pada dasarnya udang merupakan komoditi ekspor andalan  pemerintah dalam  menggaet devisa (Amri dan Kanna, 2008). Udang L. vannamei  berasal dari perairan Amerika d sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan telah berhasil dikembangkan oleh para pembudidaya vaname. Kebutuhan masyarakat dunia terhadap protein hewani ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk dunia. Sejak tahun 1990-an,  tren  produksi perikanan tangkap mengalami stagnasi dan cenderung menurun  akibat kerusakan lingkungan laut dan upaya  penangkapan ikan ilegal  dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.  Oleh karena itu  sektor budidaya diharapkan dapat menjadi solusi dalam pemenuhan konsumsi ikan dunia.
Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Umumnya manajemen tambak yang berada di Indonesia dilakukan mulai dari pembesaran dan masa panen, sedangkan untuk bibit diperoleh dari penjual atau tangkapan langsung dari alam. Teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan tambak terdiri atas tiga tipe tambak yakni tambak tradisional, tambak semi intensif dan tambak intensif. Indonesia sejak lama menggunakan  teknologi tradisional dan semi intensif, namun sejak tahun 1986, pemerintah mengupayakan agar seluruh tambak yang ada dikelola secara intensif (Wahyudi et al., 2013).
Namun dalam usaha budidaya tersebut ada faktor yang  berperan  penting yang sangat menentukan keberhasilan budidaya yaitu pakan.  Pakan sebagai komponen terbesar dalam pembiayaan sangat menentukan keberhasilan budidaya. Manajemen pakan juga harus sangat diperhatikan (Yustianti et al., 2013). Penerapan manajemen kesehatan ikan pada budidaya udang menjadi keharusan terutama semakin intensifnya dan berva-riasinya metode budidaya yang digunakan. Penerapan manajemen kesehatan ikan yang pada tahapan pelaksanaan dike-nal dengan biosekuritas menjadi alternative baru dalam pengelolaan budidaya udang. Budidaya udang sangat berhubungan de-ngan lingkungan disekitar yang secara ke-seluruhan tergantung dengan daya dukung lahan. Berbagai metode budidaya udang diterapkan yang mengedepankan produk-si dan keberlanjutan. memiliki keterbatasan. Selain karena infeksi penyakit, budidaya udang di Indonesia mengalami hambatan juga karena tingginya limbah yang dihasilkan tidak bisa terdegradasi secara alamiah sehingga kualitas air sangat memiliki dampak terhadap budidaya (Hudaidah, 2014).
1.2.      Rumusan Masalah
1.             Bagaimana persiapan tambak yang akan digunakan untuk budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak super intensif?
2.            Bagaimana pemeliharaan dan pemanenan pada budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di tambak ?


II.               TINJAUAN PUSTAKA

2.1.    Udang Vannamei
2.1.1. Klasifikasi
Udang vannamei termasuk kelas crustacean ordo decapoda yang dicirikan dengan memiliki 10 kaki, hewan berkulit ini memiliki persamaan seperti halnya udang laut  lainnya.  Udang  ini termasuk ke  dalam   genus Litopenaeus, karena memiliki tipe telikum terbuka, yaitu pemijahan terjadi di luar tubuh udang (tipe telikum terbuka). Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum               : Artrhopoda
Kelas               : Malascostraca
Ordo                : Decapoda
Super famili     : Penaeioidea
Famili              : Penaeidae
Genus              : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.1.2. Morfologi
Tubuh udang secara morfologi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu cephalotorax   atau   bagian   kepala   dan  abdomen  atau   bagian   perut.   Bagian cephalotorax terlindungi oleh kulit chitin yang dinamakan carapace.  Pada bagian perut (abdomen) terdapat lima pasang kaki renang yang telah berubah menjadi dua pasang ekor kipas atau sirip ekor (urupoda) dan stu ruas lagi ujungnya runcing membentuk ekor yang disebut telson. Dibawah pangkal ujung dubur terdapat lubang dubur (anus). Sedangkan   bagian cephalotorax terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan antara lain anula, sirip kepala (scophocerit), sungut besar (mandibula), alat pembantu rahang (maxilla) yangberjepit kecil pada ujungnya (chela) yang dua pasang periopoda belakangnya tidak terjepit (Haliman dan Adijaya (2005).
2.1.3. Makan dan kebiasan udang vanname
Menurut Farchan (2006), Spesies ini cenderung suka berenang di badan air dari pada didasar perairan, melawan arus dan pada umur 40 hari udang vaname sering   ditemukan   melompat   keluar   perairan,   apabila   terdapat   cahaya   atau peerubahan   lingkungan.   Sehingga   tambak   pertumbuhan   plankton   yang   padat dapat mengurangi resiko udang yang melompat dan tidak mudah stress apa bila terjadi perubahan lingkungan.  Udang vaname besifat omnivora atau detritus feeder. Pada tambak intensif hampir   tidak   terdapat   jasad   renik,   sehingga   udang   vaname   akan   memangsa makanan yang diberikan, detritus dan sesama udang itu sendiri (Subaidah, 2006).
2.2.       Budidaya Super Intensif
          Dalam budidaya udang semi intensif, intensif dan super intensif, ketersediaan
pakan buatan berkualitas dan secara kontinu adalah hal yang penting. Pakan buatan adalah pakat yang diramu dari bahan-bahan sesuai dengan kebutuhan udang budidaya. Pakan buatan harus memenuhi standar kebutuhan nutrisi atau gizi udang budidaya. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan harus tersedia dalam pakan udang antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Intensifikasi tentunya membutuhkan lebih banyak input produksi terutama benih dan pakan serta sistem manajemen yang lebih baik. Pada sistem budidaya super intensif, keberadaan dan ketergantungan terhadap pakan alami sangat dibatasi, sehingga pakan buatan menjadi satu-satunya sumber makanan bagi organisme yang dipelihara (Tacon, 1987), Organisme akuatik umumnya membutuhkan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Namun demikian organisme akuatik hanya dapat meretensi protein sekitar 20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi dalam air (Stickney, 2005). Metabolisme protein oleh organisme akuatik umumnya menghasilkan ammonia sebagai hasil ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam feses dan pakan yang tidak termakan akan diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang sama.


III.    PEMBAHASAN

3.1.    Persiapan Tambak
3.1.1.Sarana Prasarana
          Untuk dapat berhasil menjalankan sistem supra intensif, maka konstruksi tambak harus mengikuti standarnya yang telah ada,yaitu sebagai berikut:
a. Luasan tambak berkisar antara 400 m2-1600 m2 dengan kedalaman 2,5 m-3m    dapat berbentuk segi empat ataupun lingkaran.
b. Bagian dalam dan dasar tambak harus dilapisi beton atau plastik khusus High Density Polyethylene (HDPE) dengan ketebalan 0,7-1mm, agar tidak terjadi rembesan dari luar kolam, serta untuk mempermudah memutar air yang bertujuan untuk memusatkan bahan organik dengan sempurna ke Central Drain.
c. Standar Kincir, blower dan Turbo jet adalah 2 HP/ton biomassa udang. Dan sebagai acuan biomassa adalah per 1.000 m2 tambak dengan kedalaman 3 m dapat menampung 10 ton biomassa udang. Sehingga untuk tambak 1.000 m2 dengan kedalaman 3 m dibutuhkan energi sebesar 20 HP dan jika biomassa udang sudah hampir mencapai 10 ton, maka pemanenan partial wajib dilakukan. Dalam setiap siklus budidaya biasa dilakukan panen partial sebanyak 3-4 kali.

Manajemen modern.
Manajemen berbasis teknologi harus diterapkan dalam sistem budidaya supra intensif  untuk mengendalikan resiko yang dapat terjadi, antara lain:
a. Genset Otomatis, yang dapat berjalan secara otomatis pada saat terjadi pemadaman listrik dari PLN.
b. Automatic Feeder, pemberian pakan secara otomatis dan terprogram baik frekwensi pemberian pakan dan jumlah pakan yang diberikan dengan dilontarkan dalam sehari-semalam. Dengan mengunakan Automatic Feeder, maka nilai konversi pakan (FCR) dapat di tekan hingga mencapai kisaran 1,34 yang artinya 1,34 kg pakan dibutuhkan untuk menghasilkan1 kg udang.
c. Alat-alat ukur digital, untuk mengukur kualitas air seperti tingkat keasaman (PH), kadar oksigen, dan kadar amoniak secara berkala.
Dalam pengendalian limbah pada tambak supra intensif, seperti telah disebutkan diatas, bahwa limbah padat dapat diolah untuk menjadi bahan baku ikan nila dan kompos. Sedangkan air limbah dapat dialirkan ke tambak berisi ikan bandeng, rumput laut jenis gracillaria dan kerang-kerangan. Jadi pembudidayaan udang dengan sistem Supra Intensif sangat disarankan untuk memfasilitasi tambaknya dengan pengelolahan limbah (IPAL) agar menjadi tambak Supra Intensif berbasis Blue Economy.
3.1.2.   Teknik  Persiapan Wadah Budidaya
Pengelolaan tambak dengan prinsip Best Management Practice (BMP) dalam tambak super intensif harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.      Mendapatkan air pasok yang bebas hama penular dan logam berat yang berbahaya.
2.      Tambak dapat menampung  air dan mempertahankan kedalaman sesuai yang diinginkan (tidak rembes).
3.      Mengeluarkan limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut yang rendah.
4.      Dapat menjaga keseimbangan proses mikrobiologis.
5.      Menggunakan bahan  kimiawi/obat-obatan yang aman bagi manusia dan lingkungan.
6.      Menebar benih yang sehat.
Untuk memenuhi persyaratan di atas  maka  unit tambak terdiri dari :
1.      Saluran pengairan (sumber air pasok).
2.      Unit tandon (terdiri dari petak karantina, petak pengendapan, petak biofilter).
3.      Petak pemeliharaan.
4.      Petak pengolahan limbah.

Pembangunan tambak intensif dapat memanfaatkan lahan marginal (tidak termanfaatkan) seperti misalnya rawa-rawa, lahan pasir, lahan parit atau gambut namun disesuaikan dengan konstruksi dasar pematang.
1.    Konstruksi biocrete (campuran semen, ijuk, bambu dan dasar plastik).
2.    Konstruksi plastik PE, Geotextile.
3.    Konstruksi plastik berlapis pasir.
4.    Dasar semen/concrete.
5.    Konstruksi batako/bata merah.
6.    Konstruksi bata putih (kapur gunung).
7.    Konstruksi tanah liat.
1. Bentuk Petakan
Bentuk petakan : lingkaran, bujur sangkar atau empat persegi panjang (1: 2),  Memiliki sudut yang tumpul pada setiap tambak, Sisa lahan dengan petakan tidak beraturan dapat dimanfaatkan sebagai tandon, Dimensi pematang disesuaikan dengan struktur, tekstur  tanah, dan kedalaman air tambak (lebih dari 1.2 m). Memiliki  tabel pasang surut dan gambaran pasang surut lokal. Lebar atas minimal 3,5 m untuk pematang utama, Dimensi saluran : mempertimbangkan kebutuhan air, fenomena pasang surut lokal dan simpangan waktu, Peletakan sarana listrik tertata rapi Dengan Tolok Ukur Pekerjaan berupa Tidak ada titik mati di dalam tambak. Sehingga dapat dibilang pengelolaan tambak haurus Efektif dan efisien dalam hal antara lain penggunaan lahan, penggunaan kincir, penanganan.
Pematang memiliki aksesibilitas terhadap kendaraan roda Tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal. Jaminan keamanan dan keselamatan kerja tinggi. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah mengeluarkan  imbahnya adalah tambak lingkaran atau  bujur sangkar  dengan sudut melengkung.  Namun pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada salah satu wilayah kecil di tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi saluran tengah, kolam tengah di dalam tambak dan yang paling berperan adalah peletakan kincir air  tunggal atau berangkai. Peran dan Bentuk Saluran Pembuangan, Pintu panen dan pengeluaran lapisan air, Caren (Peripheral canal) Pada umumnya caren hanya berfungsi pada saat panen. Namun kini caren tengah juga sangat banyak manfaatnya dalam mengendapkan dan menampung limbah untuk selanjutnya dihisap dengan pompa alcon (pompa centrifugal bermesin) dengan diameter  selang dan alat 2 inch. Sehingga Diperlukan pada saat persiapan untuk tambak yang memiliki masalah rembesan atau sulit dikeringkan, Besaran   Luas dan kedalaman disesuaikan dengan tingkat perembesan dan kemampuan pompa dan Bila dimanfaatkan untuk memudahkan panen, jaraknya 5 m dari kaki pematang, miring ke arah pintu panen.
2.      Sumber Tenaga Listrik
Sumber tenaga listrik untuk budidaya udang intensif harus mampu memenuhi  kebutuhan listrik untuk mengoperasionalkan  pompa air, blower, kincir air, penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber tenaga listrik. Sumber tenaga listrik ini  bisa dipenuhi dari dua sumber yaitu listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan atau dari genset. Untuk budidaya udang intensif sebaiknya mempunyai kedua sumber listrik tersebut. Satu unit generator pembangkit listrik harus selalu siap kai saat terjadi gangguan listrik dari sumber pasokan listrik .Dengan Tolok ukur pekerjaan berupa Tersedianya pasokan  listrik 125 % dari kapasitas seluruh kincir air yang diperlukan dalam jumlah terbanyak pada akhir masa pemeliharaan.
3.      Peralatan Monitoring Kualitas Air
Peralatan monitoring kualitas air, penting untuk dimiliiki dalam usaha budidaya udang secara intensif. Peralatan ini harus ada agar kualitas air di tambak dapat dimonitor setiap saat dan dipertahankan pada kisaran optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan udang. Peralatan tersebut antara lain termometer (pengukur suhu), refraktometer atau salinometer (pengukur salinitas), DO meter (pengukur oksigen terlarut), pH meter, dan secchi disk (pengukur kecerahan air), dan alat test kit, seperti untuk analisa alkalinitas, Nitrit dan Nitrat. .
a.       Persiapan Tambak
Persiapan tambak bertujuan untuk  meningkatkan kualitas lingkungan, dan produktivitas lahan, dengan mengeliminir faktor-faktor yang tidak mendukung kelangsungan hidup udang dan mengoptimalkan beberapa faktor yang memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Uraian kegiatan ini mencakup perkerjaan   konstruksi secara umum,  persiapan dasar tambak dan persiapan air, yang akan diuraikan dalam petunjuk berikut ini:
b.      Konstruksi
Konstruksi tambak yang ideal dapat mendukung  budidaya udang bisa dilaksanakan dengan sempurna dan efisien, yakni ; mampu menahan air, mampu membuang air limbah, mampu memelihara kualitas air,  dan tambak dapat dikeringkan dengan mudah dan sempurna. Namun demikian sering kali konstruksi tambak tidak atau kurang sempurna, seperti adanya bocoran dari samping tambak, infiltrasi (rembesan air masuk), pintu air tambak kurang baik dan elevasi dasar tambak tidak ideal. Apabila konstruksi tambak tidak ideal maka langkah-langkah dan solusi yang harus dilakukan sebagai berikut.
c.       Penutupan bocoran
Penutupan bocoran pada pematang dapat dilakukan  dengan memasang kasa atau waring ukuran mata jaring (mesh size) 1,0 mm dan atau  ijuk (untuk jangka panjang lebih baik). Alternatif penyumbatan  dapat dilakukan  dengan menggunakan  kerai bambu, gedek bambu dilapis aspal pasir. Bila kondisi bocoran begitu berat, disarankan untuk memakai konstruksi lapisan plastik Geotextile, plastik PEBC (Poly Ethylen Biphenil Chloride), bata plesteran, batako, batu kumbung, plengsengan beton, dan pasangan batu dengan Tolak ukur pekerjaan berupa Pekerjaan berhasil bila tidak ada lagi bocoran atau maksimum kehilangan air 5%/hari pada bulan pertama dan 2%/hari pada bulan kedua hingga panen.
d.      Rembesan masuk
Bila tambak rembes atau sangat porous maka dilakukan perbaikan konstruksi dasar tambak sebagai berikut :
·         Dilapisi dengan tanah yang didominasi liat  melebihi 50%, sedalam minimal 20 cm.
·         Dilapisi plastik poliethylene 0,2 mm dan diatasnya dilapisi pasir 5 –10 cm
·         Plester dasar (teknik plester pakai sistem blok)

e.       Sistim pembuangan
Memastikan air dapat dikeluarkan dengan sempurna, lumpur tidak mengendap di pipa dan  kotoran (limbah organik) dapat dikurangi, dengan cara :
1.      Monik, dapat mengeluarkan air sesuai pada kolom atau lapisan yang diuinginkan,
2.      Monik harus dirancang agar  dapat digunakan untuk panen sistem kantong dengan dinding di depan monik harus diperkuat agar tahan terhadap terjangan air.
3.       Mampu atau terdapat sarana untuk melakukan pembuangan setiap 2 jam setelah pemberian pakan melalui sentral drain dan kolom air melalui pintu air atau PVC.
4.       Sentral drain harus memiliki saringan yang sesuai dengan ukuran udang.
Elevasi dasar petakan, saluran pembuangan, dan tendon  Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti semula.
1.        Dasar petakan diatur miring kearah pembuangan dengan slope minimal 0,2%.
2.        Beda elevasi dasar antara petakan pemeliharaan dan saluran pembuangan minimal  25 cm, sedangkan elevasi tandon lebih tinggi dari saluran tapi lebih rendah dari petak pemeliharaan. Bila elevasi tidak sesuai maka untuk pengeringan gunakan pompa air.
3.        Saluran pembuangan dapat dikeduk beberapa kali selama pemeliharaan untuk menghindari pendangkalan oleh kotoran tambak.
4.        Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti semula. Dengan Tolok Ukur Pekerjaan berupa Air di petak pemeliharaan dapat terbuang hingga kering.
f.     Rasio luas tandon atau petakan pemeliharaan
Volume air yang tersedia dalam tandon memenuhi syarat minimum kebutuhan air/hari dan pergantian air maksimum pada masa kritis (yaitu 30% dari total volume  tambak yang beroperasional) sehingga  air yang siap pakai dalam 1 hari harus mencapai 30 % dari areal. Sedangkan untuk petak pengendapan dan penyerapan nutrient (petak pengolah limbah), dan petak treatment awal memerlukuan areal tambahan  sekitar 20 %.
3.2.  Adaptasi dan Penebaran Benih
Benur udang vannamei yang akan ditebar dan dibudidayakan harus dipilih yang terlihat sehat. Kriteria benur sehat dapat diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan pengujian visual, mikroskopik dan ketahanan benur. Hal tersebut bisa dilihat dari warna, ukuran panjang dan bobot sesuai umur Post Larva (PL), kulit dan tubuh bersih dari organisme parasit dan patogen, tidak cacat, tubuh tidak pucat, gesit, merespon cahaya, bergerak aktif dan menyebar di dalam wadah (Haliman dan Adijaya, 2005). Persiapan yang harus dilakukan sebelum penebaran adalah penumbuhan pakan alami dengan pemupukan. Persiapan lain yang perlu dilakukan yaitu pengukuran kualitas air, seperti suhu, salinitas, pH, DO, ammonia dan nitrit. Selain itu, aklimatisasi atau proses adaptasi benur terhadap suhu maupun salinitas juga merupakan hal yang penting dalam penebaran benur (Haliman dan Adijaya, 2005).
Setelah persiapan tambak selesai dan benar-benar siap untuk dilakukan budidaya udang vannamei di tambak super intensif, terlebih dahulu ditebar benih udang vannamei. Penebaran dilakukan pada pukul 08.00 WIB atau menjelang sore hari pukul 16.00 WIB agar menghindari adanya perbedaan suhu yang terlalu besar dari air pengangkut ke air yang ada di tambak. Sebelum penebaran benih ke tambak, perlu adaptasi dengan suhu air yang ada di tambak. Adaptasi ini dilakukan dengan cara aklimatisasi. Aklimatisasi ini dapat dilakukan dengan cara, kantong plastik yang berisi benih vanname diapungkan diatas permukaan air tambak selama 30-60 menit agar suhu yang ada di kantong sama dengan suhu air tambak. Setelah suhu air dalam kantong kira-kira sama dengan suhu tambak, kantong plastik dibuka dan air tambak dimasukkan ke dalam kantong plastik sedikit demi sedikit sampai kantong terisi penuh dengan air tambak. Hal ini diperkuat oleh Supriyono et al, (2006), Proses aklimatisasi berlangsung selama 1 - 1,5 jam dengan cara membuka plastik kemasan benur dan dimasukan kedalam tambak. Air tambak dimasukan ke dalam plastik sampai penuh secara perlahan-lahan. Setelah air tercampur, benur siap dimasukan dalam hapa. Benur yang telah siap digunakan untuk percobaan dihitung sesuai kebutuhan dan ditebar pada media pemeliharaan.
3.3. Pemeliharaan
3.3.1. Manajemen pakan
          Pakan merupakan salah satu komponen pembiayaan terbesar sangat menentukan keberhasilan budidaya. Untuk itu diperlukan pakan alternatif yang murah dan mudah didapat. Selama ini protein bersumber dari tepung ikan, karena produksi perikanan tangkap mulai menurun akibatnya harga tepung ikan menjadi mahal. Sehingga diperlukan sumber protein alternatif sebagai pengganti tepung ikan yang mengandung protein cukup baik. Menurut  Wijana (2006) yang menyatakan bahwa udang vaname pada stadia post larva membutuhkan protein pada pakan berkisar antara 30-50% untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Pakan yang baik adalah pakan yang mengandung protein yang tinggi dimana didalamnya terdapat asam-asam amino yang dapat membantu pertumbuhan.  Mudjiman (2004) menambahkan bahwa protein sangat dibutuhkan oleh tubuh ikan baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan bagi ikan. Protein merupakan sumber tenaga yang paling utama dimana didalamnya terdapat asam-asam amino yang sangat dibutuhkan oleh ikan.
          Kekurangan asam amino dalam pakan dapat menghambat proses pertumbuhan. Jenis asam amino yang tidak terdapat pada tepung usus ayam tersebut yaitu methionin. Methionin merupakan salah satu jenis asam amino essensial, methionin ini diperlukan untuk pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buwono (2000) menyatakan bahwa metionin dan sistin, keduanya merupakan asam amino yang mengandung gugus sulfur. Sistin mempunyai kemampuan mereduksi sejumlah metionin yang diperlukan bagi pertumbuhan yang optimal. Protein pakan yang tinggi tidak selamanya menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik, tergantung dari bahan pakan yang digunakan dan keseimbangan dari komposisi bahan pakan.
          Pada awal pemeliharaan, pakan yang diberikan berbentuk crumble/remahan, karena ukuran udang yang kecil dan menyesuaikan dengan bukaan mulut udang. Kandungan proteinnya masih tinggi, sesuai dengan kebutuhan udang. Hal ini diperkuat oleh Zakaria (2010), kandungan protein crumble yaitu 30 persen karena udang memerlukannya untuk proses pertumbuhan. Pakan yang dikonsumsi udang secara normal akan diproses selama 3-4 jam setelah pakan tersebut dikonsumsi, kemudian sisanya dikeluarkan sebagai kotoran. Pertimbangan waktu biologis tersebut yang menentukan pemberian pakan dapat dilakukan pada interval waktu tertentu. Frekuensi pemberian pakan di tambak tersebut pada awal pemeliharaan dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 06.00, 11.00 dan 15.00 WIB. Frekuensi pemberian pakan tidak terlalu sering karena benur udang masih memanfaatkan pakan alami yang tersedia dalam petakan. Banyaknya pemberian pakan pun masih dengan metode blind feeding, karena banyaknya konsumsi pakan masih belum bisa dikontrol melalui anco. Setelah dilakukan sampling pertama pada umur 35 hari, pemberian pakan baru bisa dikontrol melalui anco. Pada umur 35 hari, pakan buatan yang diberikan sudah dalam bentuk pellet dan frekuensi pemberian pakan adalah lima kali sehari, yaitu pada pukul 06.00, 11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00 WIB karena udang sudah terbiasa dan banyak bergantung pada pakan buatan. Setelah udang berumur 60- 70 hari, pakan buatan pellet yang diberikan mempunyai kandungan protein yang lebih rendah, yaitu 28 persen. Kuantitas pemberian pakan perlu diperhatikan agar udang tidak mengalami kekurangan pakan maupun kelebihan pakan. Aplikasi pakan tambahan juga diterapkan dalam pemeliharaan udang ditempat ini. Pakan tambahan tersebut antara lain vitamin C, imunostimulan, omega protein dan probiotik. Pemberian pakan tambahan dicampurkan pada pakan dengan dosis tertentu. Vitamin C diberikan dengan dosis tiga gram per satu kilogram pakan, imunostimulan sebanyak lima gram per kilogram pakan, omega sebanyak 20 ml per kilogram pakan, sedangkan bakteri probiotik sebanyak 200 ml per kilogram pakan.
          Probiotik yang diberikan adalah probiotik dari jenis Bacillus sp. yang merupakan hasil kultur. Program pemberian pakan tambahan tersebut diterapkan selama empat hari berturut-turut dalam satu minggu. Pencampurannya dilakukan pada pemberian pakan pukul 15.00 WIB. Tahap-tahap kultur bakteri probiotik tersebut adalah dengan mempersiapkan media untuk tempat tumbuh dan makanan bakteri, yaitu dengan merebus setengah kilogram tepung kanji, setengah kilogram tepung kedelai atau kacang hijau, setengah kilogram tepung beras, 100 mililiter susu kental manis, dan dua liter tetes (molase) dalam 20 liter air. Setelah rebusan tersebut dingin, kemudian dituangkan dalam 80 liter air dan diaerasi. Setelah itu starter bakteri dapat ditebarkan ke dalam wadah tersebut. Starter yang digunakan adalah probiotik yang dijual di pasaran dengan nama dagang Pond Plus. Bakteri probiotik hasil kultur ini dapat digunakan selama sekitar dua minggu pemeliharaan. Namun aerasi harus selalu dinyalakan untuk mensuplai kebutuhan bakteri tersebut akan oksigen.
Menurut Sarwono (2007), Strategi pemberian pakan dikontrol sangat ketat berdasarkan jam pakan dan kontrol anco dimana penambahan atau pengurangan pakan dilakukan /jam pakan.
3.3.2.Manajemen Kualitas Air
          Kualitas air yang sesuai bagi kehidupan organisme akuatik merupakan faktor penting karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisma perairan. Cuzon et al. (2004) menyatakan faktor lingkungan harus optimal bagi proses fisiologi udang Litopenaeus vannamei. Selanjutnya dikatakan bahwa kebutuhan nutrisi dapat berubah sesuai dengan variasi faktor lingkungan seperti salinitas, temperatur, pH dan oksigen terlarut dan NH3.
          Menurut Haliman dan Adijaya (2003), suhu optimal pertumbuhan larva udang antara 26- 32°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan kekurangan oksigen. Zweig et al (1999) dalam Suwoyo (2009) menambahkan bahwa temperatur optimal untuk udang vaname berkisar antara 28 – 30 oC.
          Xincai dan Yongquan (2001) menjelaskan bahwa salinitas optimal untuk udang vaname berkisar antara 5-35 ppt. Saoud et al. (2003) menambahkan bahwa udang vaname dapat tumbuh pada perairan dengan salinitas berkisar 0,5-38,3 ppt. Menurut  Purba (2012) bahwa derajat keasaman (pH) air media pemeliharaan Larva udang vannamei selama penelitian adalah 7,7 - 8,7. Kisaran pH tersebut masih layak bagi kegiatan pembenihan udang vannamei serta mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Elovaara (2001) menambahkan bahwa untuk stadia larva pH yang layak untuk udang vaname berkisar antara 7,8-8,4, dengan pH optimum 8,0.
          Selalu di upaya kan dalam kondisi optimal jadi di ukur lengkap untuk mendapat kan data akurat sebagai acuan untuk treatmen harian petakan kualitas air, bakteri dan patologi (Sarwono, 2007).
3.3.3.Manajemen Kesehatan
          Menurut Zakaria (2010) pencegahan masuknya hama dan penyakit dilakukan sejak tahap persiapan. Langkah-langkah yang diambil antara lain dengan mensterilkan air yang masuk dengan kaporit dan saponin. Pemasangan filter berupa net atau jaring pada pipa inlet dan outlet air laut dan air tawar juga dilakukan untuk mencegah masuknya hama ke dalam petakan. Sedangkan pencegahan keberadaan penyakit pada udang vannamei bisa dilakukan dengan penggantian air tambak, pengelolaan pemberian pakan dan pemberian probiotik. Pada tahap pemeliharaan, permasalahan yang sering timbul adalah menurunnya nafsu makan udang akibat molting. Hal ini diantisipasi dengan aplikasi vitamin C, imunostimulan serta probiotik untuk menambah nafsu makan udang. Pemberian kapur (CaCO3) juga diterapkan untuk menyuplai kalsium sebagai pembentuk karapaks udang untuk mempercepat proses molting. Karena pada saat proses molting, kondisi tubuh udang vannamei melemah dan mudah terserang penyakit.
          Pengendalian penyakit pada larva udang vaname dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Subaidah et al. (2006) yang menyatakan bahwa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit antara lain adalah dengan menerapkan sistem biosecurity. Selama kegiatan penelitian, upaya menjaga kesehatan larva dilakukan dengan cara mengelola kualitas air dan penerapan biosecurity serta strerilisasi terhadap semua peralatan yang digunakan. Penerapan biosecurity dilakukan dengan cara menempatkan cuci kaki  (foot bath) pada setiap pintu masuk ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan. Setelah larva memasuki stadia Mysis-1, jenis penyakit yang sering mewabah adalah jenis Zoothamnium sp dari golongan protozoa dengan gejala gerakan lemah dan kebanyakan larva berada di atas permukaan air. Tetapi selama peneliatian ini berlangsung, tidak ditemukan adanya penyakit pada larva udang. Probiotik adalah salah satu bahan alternatif pengganti antibiotik yang berpotensi untuk dikembangkan yang mampu berkompetisi dengan patogen penyebab penyakit.
          Penggunaan probiotik bertujuan untuk memperbaiki kualitas air dan daya tahan tubuh, dimana penggunaan probiotik ini sesuai dengan kebutuhan larva itu sendiri. Selama pemeliharaan larva, probiotik yang digunakan adalah bubuk Epicin D merk Epicore, Sanolife dan Bacillus substilis. Bakteri tersebut berfungsi untuk menghambat munculnya bakteri pathogen, meningkatkan kesehatan larva dan sebagai salah satu upaya penanggulangan penyakit (Panjaitan et al., 2014).
          Untuk mencegah terjadinya serangan penyakit yaitu hal yang baik bagi kesehatan ikan adalah salah ssatunya dengan cara melakukan kegiatan pembesihan kotoran. Biasanya punya saluran buang di tengah dasar petakan dan setting kincir yang men-dukung sehingga kotoran bisa ter-kumpul di dasar tengah petakan selain pintu outlet yang bisa diatur untuk b-ang air atas dan bawah bahkan disipon (kotoran disedot dari atas) (Sarwono, 2007).
3.4.    Pemanenan
3.4.1.Persiapan pemanenan
a. sarana dan prasarana
Adapun sarana dan prasarana yang perlu dipersiapkan dalam pemanenan udang adalah saluran air dalam tambak dan saringan. Saluran air dalam tambak (inlet dan outlet) menggunakan pipa paralon dan air disalurkan dengan pompa. Hal ini dilakukan karena tidak tersedianya pintu masuk dan pintu keluar air. Hal ini diperkuat oleh Zakaria (2010) yang central drainage (saluran pembuangan air tengah) diperlukan untuk membuang lumpur dan kotoran dari dasar tengah kolam. Namun saluran ini tidak tersedia pada petakan tambak, sehingga penyiponan tidak dapat dilakukan. Air tawar yang masuk diambil dari sumur bor yang berjarak sejauh kurang lebih satu kilometer dari lokasi tambak dan dialirkan melalui pipa paralon. Begitu pula air laut, diambil dari tandon dengan menggunakan pompa dan dialirkan melalui pipa paralon, sedangkan pembuangan air dilakukan dengan menggunakan pompa dan dibuang di sungai yang mengalir di sebelah tambak. Saringan khusus digunakan untuk melakukan penangkapan udang.
b. teknik pemanenan
          Pemanenan udang dilakukan karena beberapa sebab atau alasan. Alasan-alasan dilakukannya pemanenan udang tersebut antara lain karena melihat harga udang yang tinggi pada ukuran tertentu dan dirasa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan biaya pembesaran untuk ukuran yang lebih besar, kondisi kualitas air yang terus menurun sehingga tidak memungkinkan lagi untuk media hidup udang vannamei serta karena udang terserang penyakit sehingga dengan terpaksa dipanen untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Normalnya pemanenan dilakukan pada umur sekitar 100 hari saat ukuran udang mencapai 60-70 ekor per kilogram. Waktu pelaksanaannya adalah pada malam atau pagi hari untuk menghindari terik matahari sehingga udang tidak stres terhadap perubahan suhu yang mengakibatkan moltingnya udang. Udang yang berganti kulit saat panen akan mengurangi harga jualnya. Oleh karena itu, sebelum panen ada aplikasi pemberian kaptan dan semen putih sebanyak kurang lebih 400-500 kg/ha untuk mengeraskan karapaks udang (Zakaria, 2010). Menurut Zakaria (2010), proses pemanenan dilakukan dengan tahap-tahap antara lain air dalam petakan dipompa keluar dan saat ketinggian air mencapai lutut orang dewasa, beberapa pekerja menyaring udang-udang tersebut menggunakan alat penyaring yang dirancang khusus untuk panen. Setelah air menyusut, sisa-sisa udang di dasar tambak dipungut belakangan. Udang yang telah dipanen kemudian dicuci sampai bersih dengan cara disemprot air berulang-ulang. Udang yang sudah dicuci bersih kemudian dikelompokkan oleh petugas yang mengelompokkan udang berdasar besar dan kualitasnya. Pengelompokan udang ini berfingsi untuk memisahkan udang yang mempunyai kualitas bagus dengan udang yang mengalami molting. Setelah melewati proses ini, udang dimasukkan dalam keranjang-keranjang besar dan ditimbang.          Sampling panen untuk penentuan ukuran udang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik tambak dan pihak pembeli udang. Udang yang sudah ditimbang lalu dimasukkan dalam kontainer fiber di atas truk/pick up dan dicampur dengan es. Susunannya berurutan antara es dengan udang. Menurut Zakaria (2010) perlakuan udang pasca panen perlu diperhatikan, karena udang termasuk produk makanan yang mudah sekali rusak. Tenaga yang digunakan saat panen mulai dari proses penjaringan udang dalam tambak sampai pengelompokan dan penempatan udang di dalam kontainer pendingin pada truk sebanyak lebih kurang 20-30 orang.
3.4.2.Pasca Panen
a. Penanganan pasca panen
          Beberapa hal pertama yang perlu diperhatikan dan perlu dilakukan pada saat  adalah udang siap dipanen yaitu harus berkoordinasi dengan petani udang yang lain. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi konflik dengan petani udang yang lainnya. Koordinasi tersebut dilakukan dengan cara memberitahukan kepada petani yang lain kapan waktu pemanenan udang dilaksanakan. Jika tidak dikoordinasikan dengan petani lain, akan dikhawatirkan air yang dibuang oleh tambak yang sudah dipanen tersebut disedot dan masuk kedalam tambak yang belum panen lainnya. Air yang disedot tersebut tentu saja mengandung pencemar berupa limbah yang berasal dari tambak yang telah panen. Setelah sepakat dengan petani tambak yang lain, maka selanjutnya adalah mempersiapkan tambak agar udang tidak mengalami stress yaitu dengan cara mengapur tambak di dasar perairan tambak. Jika udang ada yang sedang moulting, maka tundalah pemanenan. Udang sebaiknya jangan diberi makan agar usus udang kosong. Pemanenan udang harus selesai dalam jangka waktu maksimal 6 jam dalam satu lokasi tambak. Menurut KKP (2007), penanganan saat panen dan pasca panen yaitu dengan cara mengkoordinasikan waktu panen dengan petani lain. Harus dipastikan petani lain tahu mengenai waktu panen. Gunakanlah kapur pertanian (100-200 kg/Ha) ke dalam kolam dan ke dasar kolam yang lebih hitam khususnya dibagian sudut dan di pinggir. Hindari pula pemanenan pada saat bulan penuh atau mati. Udang juga perlu diperiksa apakah ada yang berganti kulit, jika ada udang yang berganti kulit >10% maka tundalah panen satu atau dua hari kemudian. Air jangan sampai ditukar atau dikurangi selama 3-4 hari sebelum panen. Udang juga jangan diberi pakan 6 jam sebelum dilakukan pemanenan agar usus kosong dan meningkatkan ketahanan hidupnya. Proses pemanenan harus selesai dalam waktu 6-8 jam dan   dipanen dalam jangka waktu jam 6 sore sampai jam 6 pagi.
b. Peralatan yang digunakan
            Alat-alat yang digunakan dalam proses pemanenan udang sangat sederhana. Alat-alat tersebut diantaranya adalah seser/serok, jaring kantung, pompa air dan tanki penampungan hasil panen. Seser/serok digunakan untuk mengambil udang dalam jumlah yang sedikit, sedangkan jaring kantung digunakan untuk mengambil udang dalam jumlah yang banyak. Pompa air perlu digunakan untuk memudahkan proses pengeringan tambak. Jika pengeringan sulit dilakukan, maka perlu ditambahkan pintu air tambahan yang dilasisi dengan jaring. Menurut KKP (2007), pompa digunakan dalam proses pemanenan untuk mempercepat panen dan menggunakan jaring kantung untuk menangkap udang dalam jumlah yang banyak. Hindari pemanenan menggunakan jala. Jika pemgeringan air tambak terasa sulit, gunakan pintu air tambahan yang terbuat dari banbu atau jaring ikan di dalam kolam disudut yang paling dalam untuk memasang jaring kantung.
c. Pengemasan dan Penanganan Selama Transportasi
     Dapat dilakukan dengan dua cara yakni cara terbuka dan cara tertutup. Cara  terbuka dilakukan dengan mengisi kantong plastik yang kuat menggunakan air bersih dan benih dimasukkan sedikit demi sedikit (satu kantong diisi 5000-6000 ekor dengan air 10 liter, ketinggiannya 8-9 cm). Kantong tersebut dimasukkan dalam karton. Pecahan es sebanyak 10% volome air dimasukkan ke dalam sejumlah kantong plastik. Kantong plastik yang telah berisi es ditempatkan diantara kantong benih dan kotak karton. Suhu air yang baik maksimal 20° C. Udara dalam plastik dikeluarkan dan diberi oksigen dari tabung sampai volume air dan oksigen dalam plastik berbanding 1:1 bagian. Ujung plastik segera diikat rapat dan benih siap diangkut. Setelah benih sampai di tempat tujuan, kantong benih diapungkan dalam tambak sekitar 1 jam, dan dibuka agar air tambak masuk pelan-pelan. Kantong dimiringkan agar benih keluar.
     Selain cara terbuka, udang yang akan dipanen dipuasakan terlebih dahulu agar selama pengangkutan, air tidak keruh oleh kotoran udang. Pemuasaan dilakukan apabila pengangkutan lebih dari 1 jam. Tempat yang akan digunakan untuk mengangkut udang berupa bak drum atau fiber diisi dengan air bersih, lalu udang dimasukkan sedikit demi sedikit dengan jumlah tergantung ukurannya. Benih ukuran 1-1.2 cm dapat diangkut dengan kepadatan maksimal 5.000-6000 ekor  dalam 10 liter. Selama pengangkutan diberikan aerasi.
     Selama pengangkutan, suhu dalam kemasan yang digunakan harus stabil dan maksimal 20° C. Hal ini dilakukan untuk mengurangi aktivitas fisik dan metabolisme udang agar ketersediaan oksigen lebih banyak. Apabila suhu tidak stabil atau tinggi dapat menyebabkan aktivitas fisik maupun metabolisme udang meningkat, yang dapat menurunkan kandungan oksigen sehingga dapat menyebabkan kematian. Menurut Karnila et al. (1999), perubahan suhu kemasan yang disimpan pada ruang dingin dengan suhu terkontrol pada suhu 17° C sangat kecil, sehingga menyebabkan udang sudah tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasi berkurang sehingga diharapkan daya tahan hidup udang cukup tinggi Adanya perubahan suhu yang sangat besar diduga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang. Dengan suhu yang tinggi udang akan cepat sadar dan aktivitasnya tinggi. Makin tinggi aktivitas udang, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut ketersediaan oksigen yang tinggi. Karena di dalam media kering ketersediaan oksigen terbatas maka udang akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian. Apabila suhu dalam kemasan dapat dipertahankan stabil, maka ketahanan hidup udang dalam media kering ikut meningkat. Dengan suhu yang stabil tersebut diharapkan aktivitas fisik maupun metabolisme udang rendah, sehingga konsumsi oksigen juga rendah.


IV. PENUTUP

4.1.    Kesimpulan
          Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah yang telah dibuat adalah sebagai berikut :
1. Udang vannamei banyak diminati merupakan udang yang memiliki keunggulan  seperti tahan penyakit, pertumbuhan cepat, sintasan selama pemeliharan       tinggi dan nilai konversi pakan rendah (1:1,3).
2. Sebelum menebarkan benur udang sebaiknya benur diadaptasikan pada kolam tambak agar tidak terjadi perbedaan suhu yang meningkat dengan cara mengapungkan kantong yang berisi benur kekolam dan menyiram perlahan-lahan
3. Selama pemeliharaan dilakukan monitoring kualitas air yang meliputi: suhu, salinitas, pH, kedalaman air dan oksigen

4.2.    Saran
          Saran yang dapat diberikan dari makalah ini diantaranya adalah :
1. Sebaiknya pembudidaya dapat memberikan pakan yang mengandung nutrisi yang mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan kultivan.
2. Sebaiknya dalam pemeliharaan manajemen kualitas air lebih diperhatikan untuk meminimalisir hama maupun penyakit.



 DAFTAR PUSTAKA


Amri, K. dan Khairuman, 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Depok. 75 hlm.
Amri, K dan Kanna, I, 2008. Budidaya Udang Vaname: Secara Intensif, Semi Intensif, dan Tradisional. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Farchan M, 2006 teknik budidaya udang vaname BAPPL Sekolah Tinggi Perikanan Serang.
Haliman, R. W Adijaya D.S. 2004.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Haliman, Rubiyanto. W dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei, pembudidayaan dan prospek pasar udang putih tahan penyakit. Jakarta: Penebar swadaya, Jakarta, 75 hlm.
Herlina N. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Pada Pembesaran Udang. Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Universitas Negeri Surakarta. Hal 66.
Irawan, A., Aminullah, Dahlan, Ismail, Bahri, S., & Fahdian, Y. 2009. Faktor – Faktor Penting dalam Proses Pembesaran Ikan di Fasilitas Nursery dan Pembesaran. Makalah Bidang Kosentrasi Aquaculture Program Alih Jenjang Diploma IV ITB. hlm 1-17.
KKP. 2007. Panduan Praktis Praktek Manajemen yang Baik untuk Tambak Udang di Aceh. Banda Aceh. 55 halm.
Mustafa A., Erna Ratnawati dan Irmawati Sapo. 2010. Penentuan Faktor Pengelolaan Tambak yang Mempengaruhi Produktivitas Tambak Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.
Panjaitan, Amyda Suryati.,, Wartono Hadies Dan Sri Harijati. 2014. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal Manajemen Perikanan Dan Kelautan Vol. 1(1) artikel 2.
Ratnawati, E. dan Asaad, A, I. 2012. Daya Dukung Lingkungan Tambak di Kecamatan Pulau Derawan Dan Sambaliung, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Sulawesi Selatan.
Subaidah,S. 2006. Juknis Pembenihan udang vannamei di BBAP Situbondo. Kementrian Kelautan dan Perikanan,Direktorat Jendral Perikanan Budidaya,BBAP Situbondo.
Supriyono, E., E. Purwanto dan N. B. P. Utomo. 2006. Produksi Tokolan Udang   Vanamei (Litopenaeus Vannamei) dalam Hapa dengan Padat Penebaran      yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5 (1): 57 – 64.
Tacon, A.G.J., Cody, J.J., Conquest, L.D., Divakaran, S., Forster, LP., Decamp, O.E., 2002. Effect of culture sistem on the nutrition and growth performance of Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei (Boone) fed different diets. Aquaculture Nutrition 8,121 -137.
Yustianti, Moh. Noh Ibrahim Dan Ruslaini. 2013. Pertumbuhan Dan Sintasan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Melalui Substitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Usus Ayam. Jurnal Mina Indonesia. V0l 1(1):93-103.
Zakaria, Ayudhia Savitri. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Tambak Udang Binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.









0 komentar:

Posting Komentar