MANAJEMEN UDANG VANNAME (Litopenaeus vannamei) di HATCHERY

Jumat, 16 Maret 2018


I.                  PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Di Indonesia budidaya udang sudah lama dilakukan oleh para petani tambak, karena udang merupakan komoditas primadona dalam bidang perikanan yang dapat meningkatkan devisa negara melalui ekspor komoditas perikanan. Tingginya permintaan akan udang di dalam dan di luar negeri menjadikan Indonesia sebagai pengirim udang terbesar di dunia ini dikarenakan Indonesia mempunyai luas wilayah serta adanya sumberdaya alam yang mendukung untuk dapat mengembangkan beberapa usaha budidaya udang. Udang vannamei memiliki beberapa nama seperti white-leg shrimp (Inggris), crevette partes blances (Perancis), dan camaron patiblanco (Spanyol).  Sebelum dikembangkan di Indonesia, udang vannamei sudah dikembangkan di Amerika selatan seperti Ekuador, Mexico, Panama, Kolombia dan Honduras (Nuhman, 2008).
Udang vaname memiliki karakteristik spesifik seperti mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, mampu beradaptasi terhadap lingkungan bersuhu rendah dan memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Udang vaname memiliki nafsu makan yang tinggi dan dapat memanfaatkan pakan dengan kadar protein rendah. Dengan keunggulan yang dimiliki tersebut, jenis udang ini sangat potensial dan prospektif untuk dibudidayakan (Riani et al., 2012).
Pakan adalah sumber nutrisi yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nutrisi digunakan oleh udang vannamei sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan berkembang biak. Secara alami udang tidak mampu mensintesis protein dan asam amino, begitu pula senyawa anorganik. Oleh karena itu asupan protein dari luar dalam bentuk pakan buatan sangat dibutuhkan. Pakan juga merupakan faktor yang sangat penting dalam budidaya udang vannamei karena menyerap 60-70% dari total biaya operasional. Pemberian pakan yang sesuai kebutuhan akan memacu partumbuhan dan perkembangan udang vannamei secara optimal sehingga produktivitasnya bisa ditingkatkan. Pada prinsipnya semakin padat penebaran benih udang berarti ketersediaan pakan alami semakin sedikit dan ketergantungan pada pakan buatan pun semakin meningkat. Pemberian pakan buatan didasarkan pada sifat dan tingkah laku makan udang vannamei (Nuhman, 2008).

1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.    Bagaimana persiapan bak pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?
2.    Bagaimana padat tebar udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?
3.    Apa saja jenis pakan alami dan pakan buatan udang vannamei (litopenaeus vannamei) ?
4.    Bagaimana manajemen kualitas air udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?
5.    Bagaimana pemanenan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?

1.3.       Manfaat
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Mengetahui persiapan bak pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.
2.    Mengetahui padat tebar udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.
3.    Mengetahui jenis pakan alami dan pakan buatan udang vannamei (litopenaeus vannamei.
4.    Mengetahui manajemen kualitas air udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.
5.    Mengetahui pemanenan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.


II.               TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Klasifikasi Udang vannamei  (Litopenaeus vannamei)
Menurut Wyban dan Sweeney (2000), klasifikasi udang vannamei sebagai berikut:
Kingdom         : Animalia 
Filum               : Anthropoda
Kelas               : Crustacea
Ordo                : Decapoda
Famili              : Penaidae
Genus              : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

2.2.       Morfologi Udang vannamei  (Litopenaeus vannamei)
Menurut Haliman dan Adijaya (2005),  tubuh udang vanamei  dibentuk oleh dua cabang  (biramous),  yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :
1.  Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
2.  Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3.  Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
Selanjutnya,  kepala  udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan.
Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Warsito, 2012)
Ciri khusus yang dimiliki oleh udang vannamei adalah adanya pigmen karotenoid yang terdapat pada bagian kulit. Kadar pigmen ini akan berkurang seiring dengan pertumbuhan udang, karena saat mengalami molting sebagian pigmen yang terdapat pada kulit akan ikut terbuang. Keberadaan pigmen ini memberikan warna putih kemerahan pada tubuh udang (Haliman dan Adijaya, 2005). Udang jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya. Alat kelamin luar jantan disebut  petasma, yang terletak di dekat kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak di antara pangkal kaki jalan keempat dan kelima (Adiyodi, 1970).

2.3.       Habitat Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih ditemukan di perairan lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter. Menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya, dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban dan Sweeney, 2000). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lainnya, dimana mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan kembali ke laut (Elovaara, 2001).
Lingkungan hidup udang meliputi tanah dan air tempat (habitat) hidup udang. Kelayakannya, ditentukan oleh derajat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), kandungan oksigen terlarut, kandungan amonia, H2S, kecerahan air, kandungan plankton, dan lain-lain. Ketahanan hidup ini sangat menentukan dalam keberhasilan proses budidaya udang (Hudi dan Shabab, 2005).


III.           PEMBAHASAN

3.1.   Persiapan Bak Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Bak pemeliharaan larva yang terbuat dari semen tidak dapat langsung digunakan, karena akan menimbulkan efek buruk untuk larva. Dinding bak harus dilapisi dengan cat "epoxy" untuk menutupi pori-pori dari smen. Bak pemeliharaan larva berukuran 3,75 m dan lebar 2,75 m dengan ketinggian 1,25 m dengan kapasitas 10 ton. Bak pemeliharaan ini terletak di ruangan untuk menghindari cahaya matahari secara langsung. Bak berbentuk persegi panjang dengan tujuan untuk mempermudah  panen. Pemeliharaan larva juga dapat menggunakan adalah tangki beton berbentuk persegi enam dengan kapasitas 40m3. Persiapan yang dimaksud adalah mengeringkan dan membersihkan dari segala bentuk kotoran - kotoran dan segala bentuk kehidupan organisme yang kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kehidupan larva udang, karena organisme yang menempel dan belum mati akan menyebabkan timbulnya penyakit. Menurut Kalesaran (2010), menyatakan bahwa wadah yang digunkan untuk pemeliharaan larva adalah tangki beton berbentuk persegi enam dengan kapasitas 40m3. Sebelum digunkan, tangki maupun peralatan aerasi dibersihkan sehari sebelum larva ditebar. Proses pencucuian tangki sebagai berikut :
1.    Tangki pemeliharan larva dicuci dengan air laut,
2.    Dicuci kembali dengan air laut yang sudah tercampur HCL, perbandingan 9:1
3.    Tangki dibilas dengan air laut,
4.    Air laut diisi sampai penuh dan sodium thiosulfat 129 gr ditambahkan,
5.    Aerasi dihidupkan selma 5 menit, lalu diamkan tanpa aerasi selma 2 jam, dan
6.    Tangki dan aerator dibilas kembali dengan air laut.
Pengisian air laut kedalam bak pemeliharaan larva dilakukan dengan menggunakan filter bag ukuran 10 µ, sebanyak 7 ton atau setengah dari kapasitas bak. Air yang dimasukkan berasal dari laut yang disedot pompa air kedalam tandon hingga akhirnya  disedot  menuju    bak  pemeliharaan  larva.  Setelah  itu  air  di  treatment dengan pemberian EDTA 1 ppm pada kegiatan pemeliharan larva bertujuan untuk menghilangkan logam berat pada air laut yang mungkin akan menggangu dari perkembangan larva udang vannamei yang akan dipelihara. Pemberian Treflan 0,1 ppm digunakan untuk zat anti jamur pada bak pemeliharaan larva. Menurut  Wyben dan Sweeny (1991), menyatakan bahwa selama pemberian EDTA dan Treflan aerasi yang digunkan lebih besar, bertujuan untuk meratakan dari bahan tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh Kalesaran (2010), bahwa sebelum larva ditebar tangki diisi air dengan salinitas 33-34 ppt dan suhu 27-29°C. Tangki ditambahkan ETDA (Ethylene Dimetriltetra acetic Acid) sebanyak 240 ppm yang berfungsi untuk menetralisir unsur-unsur logam berat dalam air yang digunkan sebagai media pemeliharaan.
Persyaratan  kualitas  air  yang  dimasukkan kedalam bak pemeliharan larva   sudah  cukup  baik,  karena  dalam persiapan air sebelumnya air laut telah di treatment dan juga melewati proses sinar UV selama ada di bak tendon. Cara menjaga agar suhu air di bak pemeliharaan selalu baik, maka bak pemeliharaan ditutup dengan terpal biru. Fungsinya agar suhu air tetap berada di suhu normal dan kualitas air akan tetap baik. Menurut Subaidah et al., (2006), bahwa bak  pemeliharaan  larva  sebaiknya  ditempatkan dalam ruangan tertutup untuk menjaga kestabilan suhu dan menjaga intensitas cahaya. Atap bangunan  bak pemeliharaan  larva  dengan  menggunakan  asbes  dengan  20%  diantaranya menggunakan atap fiber untuk pencahayaan. Screen/ jaring atau kain kelambu yang diletakkan dibawah fiber akan menghindari cahaya matahari langsung, sehingga hanya panas dan pantulan dari sinar matahari yang masuk dalam bak larva.

3.2. Padat Tebar Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Hatchery
            Udang vanname (Litopenaeus vannamei) merupakan udang introduksi yang secara ekonomis bernilai tinggi sebagai komoditi oleh pasar dunia. Perkembangan panti benih (hatchery), cenderung semakin meningkat dalam rangka pemenuhan kebutuhan benih udang vanname untuk usaha budidaya. Udang vanname merupakan udang yang dapat dibudidayakan dengan padat tebar yang tinggi. Padat tebar dalam bak pemeliharaan larva sebanyak 167 ekor/liter, dengan populasi mencapai 1.170.000 ekor/bak 10 ton dengan stadia Naupli (N) untuk 7 ton volume air. Menurut BBAP Situbondo (2006), yang menyatakan bahwa padat tebar naupli sekitar 100-150 ekor/liter dalam air pemeliharaan sekitar 50-75% dari volume bak.
          Sebelum ditebar naupli yang masih berada dalam ember diaklimatisasi terlebih dahulu bak pemeliharaan larva selama kurang lebih 15 menit. Aklimatisasi terhadap larva suhu dan salinitas perlu dilakukan sebelum naupli ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva agar naupli tidak mengalami stres. Setelah dilakukan penebaran aerasi harus diatur, jangan sampai terlalu besar dan terlalu kecil sehingga menyebabkan stres pada naupli udang vanname.
          Penebaran nauplis dilakukan pada pagi hari atau malam hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi yang dapat memperngaruhi kehidupan larva (Subaidah et al., 2006). Nauplius yang ditebar adalah nauplius muda yaitu stadia nauplius 4-5. Menurut Wyban dan Sweeney, (1991)yang mmenyatakan bahwa nauplis stadia 4-5 atau (N4-N5) dianggap kuat untuk dipindahkan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi mortalitas pada proses pemindahan nauplius ke bak pemeliharaan larva dan juga untuk meminimalkan gangguan proses molting dari stadia nauplius ke stadia zoea.
          Menurut Panjaitan, (2012) bahwa penghitungan nauplius dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a.    Mengisi air sebanyak 10 liter kedalam ember kemudian dipasang aerasi.
b.    Nauplius diambil dan dimasukkan kedalam ember yang telah berisi air.
c.    Menganduk air dalam ember hingga merata kemudian mengambil air sampel sebanyak 200 ml.

3.3.    Jenis Pakan Alami dan Buatan Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei)
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang biasa diberikan pada larva udang vannamei yaitu Skeletonema costatum, Chaetoceros sp dan Artemia sp. Sedangkan pakan buatan mulai diperlukan ketika larva memasuki stadia zoea. Pakan buatan ini ada yang dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan. Pakan alami sangat berpengaruh dalam hal berbudidaya khususnya fase larva karena dalam fase ini baik ikan maupun udang sangat membutuhkan pakan alami baik itu berupa fitoplankton maupun zooplankton, pemberian pakan alami sangat berpengaruh terhadap kualitas maupun kesinambungan dari produk benih yang dihasilkan, oleh karena itu kebutuhan pakan alami dalam suatu usaha hatchery sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi larva-larva ikan maupun udang hal ini diperkuat oleh Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yang menyatakan bahwa pakan alami baik phytoplankton maupun zooplankton dapat sangat menentukan kualitas, kantitas, dan kesinambungan benih yang dihasilkan. Keberadaan unit kultur pakan alami mutlak dibutuhkan sebagai salah satu unit dalan sebuah kesatuan sebuah usaha pembenihan.
          Pakan alami yang biasa digunakan atau diberikan pada larva udang vannamei dalam hatchery sendiri biasanya yaitu Skeletonema costatum, Chaetoceros sp dan Artemia sp yang memiliki nilai nutrisi yang cukup baik bagi larva udang vannamei. Skeletonema costatum merupakan suatu jenis fitoplankton yang berasal dari kelompok diatomae memiliki dinding sel  dan termasuk dalam kelompok tanaman tingkat tinggi yang merupakan salah satu organisme eukaryotik. Menurut Wardiningsih (1999) dalam Purba (2012) yang menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan, salah satunya yaitu jenis pakan.
Chaetoceros sp. dan Skeletonema costatum merupakan jenis diatom yang ditemukan memiliki kualitas nutrisi yang baik.
Skeletonema costatum merupakan fitoplankton dari jenis diatomae yang bersel tunggal dan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm. Sel diatomae memiliki ciri khas yaitu dinding selnya terdiri dari dua bagian seperti cawan petri. Dinding sel atas yang disebut epitekal saling menutupi dinding sel bagian bawah yang disebut hipoteka pada masing-masing tepinya. Pada setiap sel dipenuhi oleh sitoplasma. Dinding sel Skeletonema costatum memiliki frustula yang dapat menghasilkan skeletal eksternal yang berbentuk silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri yang berfungsi sebagai penghubung pada frustula yang satu dengan yang lain sehingga membentuk filamen (BBPBAL Lampung, 2002).
Pakan alami lainnya yang biasa digunakan juga dalam hatchery udang vannamei adalah Chaetosceros sp yang juga merupakan jenis alga diatomae jenis plankton ini selain digunakan sebagai pakan udang juga sering digunakan sebagai bahan pengkayaan untuk zooplankton karena memiliki nilai nutrisi yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi dari zooplankton yang dikulturkan, biasanya Chaetoceros diberikan kepada larva udang pada saa masa transisi mulai dari stadia naupli dengan zoea 1 karena pada stadia naupli belum diberikan pakan, pada stadia naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai cadangan makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam hal ini diperkuat oleh Panjaitan (2012) yang menyatakan bahwa pemilihan Chaetoceros calcitrans memang sudah merupakan pilihan jenis fitoplankton yang tepat karena fitoplankton tersebut memiliki kandungan nutrisi yang baik dan lengkap yang dibutuhkan oleh larva udang vaname terutama pada stadia transisi.
Pakan alami lain yang sangat penting dalam hatchery udang vannamei adalah artemia yaitu jenis pakan alami yang sangat populer atau banyak digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan ataupun udang karena nilai nutrisi nya yang sangat bagus bagi pertumbuhan larva serta ukuran nya yang sesuai dengan bukaan mulut larva-larva ikan dan udang. Artemia sendiri merupakan pakan alami yang tergolong dalam kelompok zooplankton yang memiliki ukuran yang snagat kecil  Artemia  biasanya diperjual belikan dalam bentuk kista/cyste, yang mudah dan praktis, karena hanya tinggal menetaskan kista saja. Dapat dilakukan oleh setiap orang.
Menurut Sudaryono (2005) Artemia merupakan salah satu pakan alami bagi larva udang yang banyak digunakan di hatchery udang di seluruh Indonesia. Penggunaan artemia dalam kegiatan pembenihan udang di Indonesia hampir semuanya menggunakan produk impor. Hal ini dikarenakan jasad renik ini bukan merupakan hewan asli Indonesia. Berkaitan dengan keunggulan dari artemia yaitu kandungan nutrisi yang tinggi serta praktis dalam penggunaannya, sehingga ada upaya akuakulturis di Indonesia dalam menghasilkan kista artemia produk lokal. Artemia produk impor dan artemia produk lokal memiliki kualitas nutrisi yang hampir sama.
          Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya karena ukuran larva yang sangat kecil maka pakan buatan yang diberikan pun memiliki ukuran yang berbeda dengan pakan untuk pembesaran, tetapi kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang vannamei cukup tinggi. Terdapat beberapa merk pakan buatan yang biasa digunakan dalam hatchery udang vannamei antara lain artemac 2-4 dan economac jenis pakan ini merupakan pakan buatan yang dibuat khusus untuk larva udang sehingga segala sesuatunya disesuaikan seperti ukuran dan kandungan nutrisinya dalam pemberian pakannya dilakukan dengan cara melarutkan pakan dengan air laut. Hal ini diperkuat oleh Kalesaran (2010) yang menyatakan bahwa pada selama pemeliharaan, larva diberikan pakan untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Pakan diberikan  dengan penebaran secara langsung. Larva diberikan pakan buatan yang bermerk artemac no 2, artemac no 3, artemac no 4 dan economac. Pemberian pakan 4 jam sekali atau sebanyak 6 kali/hari.

3.4.       Manajemen Kualitas Air Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Hatchery
Udang vaname merupakan jenis udang yang mudah dibudidayakan di Indonesia, karena udang ini memiliki banyak keunggulan. Meskipun mempunyai banyak keunggulan namun apabila kondisi lingkungan seperti kualitas air tidak sesuai dengan standar untuk budidaya tentu akan dapat menyebabkan kematian dan akhirnya kerugian dalam usaha budidaya. Dalam budidaya udang vaname perlu memperhatikan kondisi lingkungan dalam budidaya tersebut seperti kualitas air yang digunakan sebagai tempat hidup udang vaname. Kualitas air yang perlu diperhatikan di dalam budidaya udang vaname yaitu seperti DO, CO2 bebas, pH, Suhu, salinitas dan juga pada nitrit. Hal ini diperkuat oleh Fuady et al. (2013) yang menyatakan bahwa salah satu teknik untuk mengatasi persoalan itu, dalam usaha budidaya udang vaname adalah adanya pengelolaan kualitas air yang baik. Karena dengan adanya pengelolaan kualitas air yang baik dapat menjaga kualitas air agar sesuai dengan standar untuk budidaya dan dapat meningkatkan produktivitas tambak. Pengelolaan kualitas air merupakan suatu cara untuk menjaga parameter kualitas air sesuai dengan baku mutu bagi kultivan. Parameter-parameter itu merupakan suatu indikator untuk melihat kulitas air, seperti oksigen terlarut (DO), karbondioksida (CO2 ) bebas, pH, suhu, salinitas, dan nitrit. Kualitas air perlu diperhatikan dalam budidaya udang vaname dikarenakan air merupakan media hidup bagi udang, sehingga pengelolaan kualitas air sangat perlu untuk diperhatikan dalam usaha pembenihan udang. Dalam pemeliharaannya kualitas air yang dibutuhkan untuk budidaya udang vaname yaitu harus sesuai dengan lingkungan yang dibutuhkan oleh udang vaname tersebut agar tidak sering terjadi kematian masal ataupun udang vaname yang terkena penyakit. Hal ini dapat diperkuat oleh Mahasri et al. (2014) yang menyatakan bahwa teknik pemeliharaan yang kurang diperhatikan, pengelolaan kualitas air kurang baik akan mengurangi kualitas dan kuantitas pakan serta meningkatkan penyakit. Parameter yang baik bagi udang yaitu untuk DO berkisar 4-8, suhu yang baik yaitu 27-32oC, salinitas yang baik 20-30, pH yang baik yaitu 7,7 – 9 dan nitrit berkisar < 0,1 ppm.

3.5.      Pemanenan larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Hatchery
Panen merupakan salah satu tahapan ketika udang telah mencapai ukuran atau stadia yang sesuai. Larva yang telah mencapai PL10 sudah dapat dilakukan pemanenan, namun perlu dilakukan beberapa hal tes virus terhadap larva dan pengujian kualitas larva. Tes virus dilakukan 2 hari sebelum panen. Tes virus ini ditunjukan pada Taura Syndrome Virus (TSV) dan Infectious Hypodermal dan Infectious Hypodermal Hematopoetic Necrosis (IHNNV) dengan mengambil beberapa sampel larva udang kemudian di bawa ke laboratorium. Sedangkan pengujian kualitas larva dilakukan dengan menurunkan salinitas hingga 0 ppt, menurunkan suhu air 150C dan perendaman dalam formalin dilakukan selama 15 menit. Apabila yang bertahan hidup di atas 50% maka kualitas larva baik. Menurut Kalesaran (2010) yang menyatakan bahwa saat larva mencapai PL 10, maka pemanenan sudah dapat dilakukan, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu tes virus terhadap larva, pengujian kualitas larva dan mensirkulasi dengan menggunakan formalin. Tes virus dilakukan 2 hari sebelum panen. Tes virus ini ditunjukan bagi Taura Syndrome Virus (TSV) dan Infectious Hypodermal dan Infectious Hypodermal Hematopoetic Necrosis (IHNNV) dengan mengambil beberapa larva udang kemudian di bawa ke laboratorium. Pengujian kualitas larva dilakukan sehari sebelum panen dengan cara menurunkan salinitas hingga 0 ppt, menurunkan suhu air 150C, dan perendaman dalam formalin 20 ppm. Masing-masing dilakukan selama 15 menit. Bila larva bertahan hidup lebih dari 50% maka larva berkualitas baik. Setelah pengujian larva, air media pemeliharaan disirkulasi dengan menggunakan formalin. Hal ini bertujuan mempercepat moulting pada larva sehingga kulitnya bersih dari bakteri, jamur, dan parasite yang terdapat pada kulit lama. Tahapan proses sirkulasi sebagai berikut:
1.    Air dikeluarkan hingga 12 m3
2.    Tambahkan formalin sebanyak 50 ppm ke dalam media pemeliharaan dan diamkan selama 30 menit
3.    Media disirkulasi selama 1 jam
4.    Terakhir volume air dinaikkan pada keadaan normal 30m3. Larva sudah dapat dipanen.


IV.           PENUTUP

5.1.       Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan dapat disimpulkan bahwa :
1.      Wadah yang digunkan untuk pemeliharaan larva adalah tangki beton berbentuk persegi enam dengan kapasitas 40m3.
2.      Padat tebar naupli sekitar 100-150 ekor/liter dalam air pemeliharaan sekitar 50-75% dari volume bak.
3.      Artemia merupakan salah satu pakan alami bagi larva udang yang banyak digunakan di hatchery. Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis).
4.      Parameter yang baik bagi udang yaitu untuk DO berkisar 4-8, suhu yang baik yaitu 27-32oC, salinitas yang baik 20-30, pH yang baik yaitu 7,7 – 9 dan nitrit berkisar < 0,1 ppm.
5.      Apabila larva mencapai PL 10, maka pemanenan sudah dapat dilakukan. Hal yang harus dilakukan dalam pemanenan, yaitu tes virus terhadap larva, pengujian kualitas larva dan mensirkulasi dengan menggunakan formalin.
5.2.       Saran
Saran yang dapat diberikan kepada pembudidaya dalam  pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Sebaiknya, dalam pemberian pakan pembudidaya dapat memilih pakan sesuai dengan kualitas yang baik dan sesuai ukuran bukaan mulut kultivan.
2.        Sebaiknya, pembudidaya dapat mengetahui apa saja yang akan dilakukan terlebih dahulu dalam pemanenan.


DAFTAR PUSTAKA

Adiyodi.K.G., dan R.G.Adiyodi. 1970. Endocrine Control of Reproduction in Decapod Crustacea. Biol. Rev. 45: 121-165.
Balai Budidaya Laut Lampung. 2005. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Balai Budidaya Laut Lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Deaprtemen Kelautan dan Perikanan. Lampung.
BBAP Situbondo. 2006. Pembenihan Udang Vannamei. Standar dan Informasi Situbondo.
Elovaara, A.K. 2001. Shrimp Farming Manual Practical Technology for Intensive Shrimp Production. United States f America (USA).
Fuady M.F, Supardjo M. N, dan Haeruddin. 2013. Pengaruh Pengelolaan Kualitas Air Terhadap Tingkat Kelulushidupan dan Laju Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeusv vannamei) di Pt. Indokor Bangun Desa, Yogyakarta. J. Management Aquatic Resources 2(4): 155-162.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Cetakan pertama. Rineka Putra. Jakarta.
Haliman, R.W. dan Adijaya, D. 2005.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hudi Lukman., A. Shahab.2005.Optimasi Produktifitas Budidaya Udang Vaname (Litopenaues vannamae) Dengan Menggunakan Metode Respon Surface dan Non Linier Programming.Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II.Surabaya.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. (1995). Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Kalesaran.O.J. Pemeliharaan Post Larva (PL4-PL9) Udang Vannamei (Penaeus vannamei) di Hatchery PT. Banggai Sentral Shrimp Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 6(1): 58-62.
Mahasri G, Sudarno dan Kusdarwati R. 2014. Ibm Bagi Petani Benih Udang         Windu Skala Rumah Tangga (Backyard) di Desa Kalitengah Kecamatan   Tanggulangin Sidoarjo yang Mengalami Gagal Panen Berkepanjangan          Karena Serangan Penyakit. J. Ilmiah Perikanan dan Ilmu Kelautan. 6(1): 31-36.

Nuhman. 2008. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Berkala Ilmiah Perikanan. 3(1): 35-3
Panjaitan, A.S. 2012. Pemeliharaan larva udang vaname (Liptonaeus vannamei) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal Penelitian. Universitas Terbuka. Indonesia.
Purba, Christine Yolanda. 2012. Performa Pertumbuhan, Kelulushidupan, Dan Kandungan Nutrisi Larva Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) Melalui Pemberian Pakan Artemia Produk Lokal Yang Diperkaya Dengan Sel Diatom. Journal Of Aquaculture Management and Technology1(1), Hal 102-115.
Subaidah, Pramudjo, Oktiandi, Manijo, dan M. Yunus. 2006. Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei). Direktorat Jendarl Situbondo. 51 hal.
Sudaryono. Agung. 2005. Pengaruh Kista Artemia Lokal dan Impor terhadap Respon Biologi Benih Udang Windu (Penaeus monodon). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro (Makalah) 6hlm.
Wyban, J. A.  dan J. N. Sweeney. 2000. Intensive shrimp production technology.
The Oceanic Institute. Honolulu, Hawaii, USA. hal.13-14.
Wyban, J. A. 1992. Selective Breeding of Specifik Pathogen Free (SPF) Shrimp for Health and Increased Growth in Diseases of Cultural Penaeid Shrimp in Asia and United State. Proc. of Workshop in Honolulu. 257-268.


0 komentar:

Posting Komentar