I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Di
Indonesia budidaya udang sudah lama dilakukan oleh para petani tambak, karena
udang merupakan komoditas primadona dalam bidang perikanan yang dapat
meningkatkan devisa negara melalui ekspor komoditas perikanan. Tingginya
permintaan akan udang di dalam dan di luar negeri menjadikan Indonesia sebagai
pengirim udang terbesar di dunia ini dikarenakan Indonesia mempunyai luas
wilayah serta adanya sumberdaya alam yang mendukung untuk dapat mengembangkan
beberapa usaha budidaya udang. Udang vannamei memiliki beberapa nama seperti white-leg shrimp (Inggris), crevette partes blances (Perancis), dan camaron patiblanco (Spanyol). Sebelum dikembangkan di Indonesia, udang
vannamei sudah dikembangkan di Amerika selatan seperti Ekuador, Mexico, Panama,
Kolombia dan Honduras (Nuhman, 2008).
Udang vaname memiliki
karakteristik spesifik seperti mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas,
mampu beradaptasi terhadap lingkungan bersuhu rendah dan memiliki tingkat
kelangsungan hidup yang tinggi. Udang vaname memiliki nafsu makan yang tinggi
dan dapat memanfaatkan pakan dengan kadar protein rendah. Dengan keunggulan
yang dimiliki tersebut, jenis udang ini sangat potensial dan prospektif untuk
dibudidayakan (Riani et al., 2012).
Pakan
adalah sumber nutrisi yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin
dan mineral. Nutrisi digunakan oleh udang vannamei sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan dan berkembang biak. Secara alami udang tidak mampu mensintesis protein
dan asam amino, begitu pula senyawa anorganik. Oleh karena itu asupan protein
dari luar dalam bentuk pakan buatan sangat dibutuhkan. Pakan juga merupakan
faktor yang sangat penting dalam budidaya udang vannamei karena menyerap 60-70%
dari total biaya operasional. Pemberian pakan yang sesuai kebutuhan akan memacu
partumbuhan dan perkembangan udang vannamei secara optimal sehingga
produktivitasnya bisa ditingkatkan. Pada prinsipnya semakin padat penebaran
benih udang berarti ketersediaan pakan alami semakin sedikit dan ketergantungan
pada pakan buatan pun semakin meningkat. Pemberian pakan buatan didasarkan pada
sifat dan tingkah laku makan udang vannamei (Nuhman, 2008).
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut :
1.
Bagaimana persiapan bak pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?
2.
Bagaimana padat tebar udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?
3.
Apa saja jenis pakan alami dan pakan buatan udang vannamei (litopenaeus vannamei) ?
4.
Bagaimana manajemen kualitas air udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery ?
5.
Bagaimana pemanenan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
di hatchery
?
1.3.
Manfaat
Berdasarkan
latar belakang dan perumusan masalah, manfaat
yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui persiapan bak pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.
2. Mengetahui padat tebar udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.
3. Mengetahui jenis pakan alami dan pakan buatan udang vannamei (litopenaeus vannamei.
4. Mengetahui manajemen kualitas air udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di hatchery.
5. Mengetahui pemanenan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
di hatchery.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
Menurut Wyban
dan Sweeney (2000), klasifikasi udang vannamei sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Anthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Penaidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.2.
Morfologi Udang vannamei
(Litopenaeus
vannamei)
Menurut
Haliman
dan Adijaya (2005), tubuh udang
vanamei dibentuk oleh dua cabang (biramous),
yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan
aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei
sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai
berikut :
1.
Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
2.
Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3.
Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
Selanjutnya, kepala
udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang
maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied
dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda).
Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan.
Gambar
1. Morfologi udang vannamei (Warsito, 2012)
Ciri khusus yang
dimiliki oleh udang vannamei adalah adanya pigmen karotenoid yang terdapat pada
bagian kulit. Kadar pigmen ini akan berkurang seiring dengan pertumbuhan udang,
karena saat mengalami molting sebagian pigmen yang terdapat pada kulit akan
ikut terbuang. Keberadaan pigmen ini memberikan warna putih kemerahan pada
tubuh udang (Haliman dan Adijaya, 2005). Udang jantan dan betina dapat
dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya. Alat kelamin luar jantan
disebut petasma, yang terletak di dekat
kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak di antara
pangkal kaki jalan keempat dan kelima (Adiyodi, 1970).
2.3.
Habitat Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari
tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis
dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang
adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan
pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih ditemukan di perairan
lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter. Menyukai daerah yang
dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous
atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah
menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai
atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya,
dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan
pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban dan
Sweeney, 2000). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lainnya, dimana
mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan
kembali ke laut (Elovaara, 2001).
Lingkungan hidup
udang meliputi tanah dan air tempat (habitat) hidup udang. Kelayakannya,
ditentukan oleh derajat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), kandungan
oksigen terlarut, kandungan amonia, H2S, kecerahan air, kandungan plankton, dan
lain-lain. Ketahanan hidup ini sangat menentukan dalam keberhasilan proses
budidaya udang (Hudi
dan Shabab, 2005).
III.
PEMBAHASAN
3.1. Persiapan Bak Pemeliharaan Larva Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei)
Bak pemeliharaan larva yang terbuat dari semen
tidak dapat langsung digunakan, karena akan menimbulkan efek buruk untuk larva.
Dinding bak harus dilapisi dengan cat "epoxy"
untuk menutupi pori-pori dari smen. Bak pemeliharaan larva berukuran 3,75 m dan
lebar 2,75 m dengan ketinggian 1,25 m dengan kapasitas
10 ton. Bak pemeliharaan ini terletak di ruangan untuk menghindari cahaya
matahari secara langsung. Bak berbentuk persegi panjang dengan tujuan untuk
mempermudah panen. Pemeliharaan larva juga dapat menggunakan adalah
tangki beton berbentuk persegi enam dengan kapasitas 40m3. Persiapan
yang dimaksud adalah mengeringkan dan membersihkan dari segala bentuk kotoran - kotoran
dan segala bentuk kehidupan organisme yang kemungkinan dapat berpengaruh
terhadap kehidupan larva udang, karena organisme yang menempel dan belum mati
akan menyebabkan timbulnya penyakit. Menurut Kalesaran (2010), menyatakan bahwa wadah
yang digunkan untuk pemeliharaan larva adalah tangki beton berbentuk persegi
enam dengan kapasitas 40m3. Sebelum digunkan, tangki maupun
peralatan aerasi dibersihkan sehari sebelum larva ditebar. Proses pencucuian
tangki sebagai berikut :
1. Tangki pemeliharan larva
dicuci dengan air laut,
2. Dicuci kembali dengan air
laut yang sudah tercampur HCL, perbandingan 9:1
3. Tangki dibilas dengan air
laut,
4. Air laut diisi sampai penuh
dan sodium thiosulfat 129 gr ditambahkan,
5. Aerasi dihidupkan selma 5
menit, lalu diamkan tanpa aerasi selma 2 jam, dan
6. Tangki dan aerator dibilas
kembali dengan air laut.
Pengisian air laut kedalam bak pemeliharaan larva dilakukan
dengan menggunakan filter bag ukuran
10 µ, sebanyak 7 ton atau setengah dari kapasitas bak. Air yang dimasukkan
berasal dari laut yang disedot pompa air kedalam tandon hingga akhirnya disedot
menuju bak pemeliharaan
larva. Setelah itu
air di treatment dengan pemberian EDTA 1 ppm pada kegiatan pemeliharan
larva bertujuan untuk menghilangkan logam berat pada air laut yang mungkin akan
menggangu dari perkembangan larva udang vannamei yang akan dipelihara.
Pemberian Treflan 0,1 ppm digunakan untuk zat anti jamur pada bak pemeliharaan
larva. Menurut Wyben dan Sweeny (1991),
menyatakan bahwa selama pemberian EDTA dan Treflan aerasi yang digunkan lebih
besar, bertujuan untuk meratakan dari bahan tersebut. Hal ini juga diperkuat
oleh Kalesaran
(2010), bahwa sebelum larva ditebar tangki diisi air dengan salinitas 33-34 ppt
dan suhu 27-29°C. Tangki ditambahkan ETDA (Ethylene Dimetriltetra acetic Acid)
sebanyak 240 ppm yang berfungsi untuk menetralisir unsur-unsur logam berat
dalam air yang digunkan sebagai media pemeliharaan.
Persyaratan kualitas
air yang dimasukkan kedalam bak pemeliharan larva sudah
cukup baik, karena
dalam persiapan air sebelumnya air laut telah di treatment dan juga melewati
proses sinar UV selama ada di bak tendon. Cara menjaga agar suhu air di bak
pemeliharaan selalu baik, maka bak pemeliharaan ditutup dengan terpal biru.
Fungsinya agar suhu air tetap berada di suhu normal dan kualitas air akan tetap
baik.
Menurut Subaidah et al., (2006),
bahwa bak
pemeliharaan larva sebaiknya
ditempatkan dalam ruangan tertutup untuk menjaga kestabilan suhu dan
menjaga intensitas cahaya. Atap bangunan
bak pemeliharaan larva dengan
menggunakan asbes dengan
20% diantaranya menggunakan atap
fiber untuk pencahayaan. Screen/ jaring atau kain kelambu yang diletakkan
dibawah fiber akan menghindari cahaya matahari langsung, sehingga hanya panas
dan pantulan dari sinar matahari yang masuk dalam bak larva.
3.2. Padat Tebar Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Hatchery
Udang
vanname (Litopenaeus vannamei) merupakan
udang introduksi yang secara ekonomis bernilai tinggi sebagai komoditi oleh
pasar dunia. Perkembangan panti benih (hatchery), cenderung
semakin meningkat dalam rangka pemenuhan kebutuhan benih udang vanname untuk
usaha budidaya. Udang vanname merupakan udang yang dapat dibudidayakan dengan
padat tebar yang tinggi. Padat tebar dalam bak pemeliharaan larva sebanyak 167
ekor/liter, dengan populasi mencapai 1.170.000 ekor/bak 10 ton dengan stadia
Naupli (N) untuk 7 ton volume air. Menurut BBAP Situbondo (2006), yang menyatakan
bahwa padat tebar naupli sekitar 100-150 ekor/liter dalam air pemeliharaan
sekitar 50-75% dari volume bak.
Sebelum
ditebar naupli yang masih berada dalam ember diaklimatisasi terlebih dahulu bak
pemeliharaan larva selama kurang lebih 15 menit. Aklimatisasi terhadap larva
suhu dan salinitas perlu dilakukan sebelum naupli ditebar ke dalam bak
pemeliharaan larva agar naupli tidak mengalami stres. Setelah dilakukan
penebaran aerasi harus diatur, jangan sampai terlalu besar dan terlalu kecil
sehingga menyebabkan stres pada naupli udang vanname.
Penebaran
nauplis dilakukan pada pagi hari atau malam hari dengan tujuan untuk
menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi yang dapat memperngaruhi
kehidupan larva (Subaidah et al., 2006). Nauplius yang ditebar adalah
nauplius muda yaitu stadia nauplius 4-5. Menurut Wyban dan Sweeney, (1991)yang
mmenyatakan bahwa nauplis stadia 4-5 atau (N4-N5)
dianggap kuat untuk dipindahkan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi mortalitas
pada proses pemindahan nauplius ke bak pemeliharaan larva dan juga untuk
meminimalkan gangguan proses molting dari stadia nauplius ke stadia
zoea.
Menurut
Panjaitan, (2012) bahwa penghitungan nauplius dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a.
Mengisi air sebanyak 10 liter
kedalam ember kemudian dipasang aerasi.
b.
Nauplius diambil dan dimasukkan
kedalam ember yang telah berisi air.
c.
Menganduk air dalam ember hingga
merata kemudian mengambil air sampel sebanyak 200 ml.
3.3. Jenis Pakan Alami dan Buatan Udang Vannamei
(Litopenaeus Vannamei)
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang
vannamei selama proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan
alami yang biasa diberikan pada larva udang vannamei yaitu Skeletonema costatum,
Chaetoceros sp dan Artemia sp. Sedangkan pakan buatan mulai diperlukan ketika
larva memasuki stadia zoea. Pakan buatan ini ada yang dijual dalam bentuk
kalengan maupun bungkusan. Pakan alami sangat berpengaruh dalam hal berbudidaya
khususnya fase larva karena dalam fase ini baik ikan maupun udang sangat
membutuhkan pakan alami baik itu berupa fitoplankton maupun zooplankton,
pemberian pakan alami sangat berpengaruh terhadap kualitas maupun kesinambungan
dari produk benih yang dihasilkan, oleh karena itu kebutuhan pakan alami dalam
suatu usaha hatchery sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi
larva-larva ikan maupun udang hal ini diperkuat oleh Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yang menyatakan bahwa pakan alami baik
phytoplankton maupun zooplankton dapat sangat menentukan kualitas, kantitas,
dan kesinambungan benih yang dihasilkan. Keberadaan unit kultur pakan alami
mutlak dibutuhkan sebagai salah satu unit dalan sebuah kesatuan sebuah usaha
pembenihan.
Pakan
alami yang biasa digunakan atau diberikan pada larva udang vannamei dalam
hatchery sendiri biasanya yaitu Skeletonema costatum, Chaetoceros sp dan
Artemia sp yang memiliki nilai nutrisi yang cukup baik bagi larva udang
vannamei. Skeletonema costatum merupakan suatu jenis fitoplankton yang berasal
dari kelompok diatomae memiliki dinding sel
dan termasuk dalam kelompok tanaman tingkat tinggi yang merupakan salah
satu organisme eukaryotik. Menurut Wardiningsih (1999) dalam Purba (2012) yang
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemberian pakan, salah satunya yaitu jenis pakan.
Chaetoceros sp. dan Skeletonema costatum merupakan jenis diatom yang ditemukan memiliki kualitas nutrisi yang baik.
Chaetoceros sp. dan Skeletonema costatum merupakan jenis diatom yang ditemukan memiliki kualitas nutrisi yang baik.
Skeletonema costatum merupakan fitoplankton dari jenis diatomae yang
bersel tunggal dan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm. Sel diatomae memiliki
ciri khas yaitu dinding selnya terdiri dari dua bagian seperti cawan petri.
Dinding sel atas yang disebut epitekal saling menutupi dinding sel bagian bawah
yang disebut hipoteka pada masing-masing tepinya. Pada setiap sel dipenuhi oleh
sitoplasma. Dinding sel Skeletonema costatum memiliki frustula yang dapat
menghasilkan skeletal eksternal yang berbentuk silindris (cembung) dan
mempunyai duri-duri yang berfungsi sebagai penghubung pada frustula yang satu
dengan yang lain sehingga membentuk filamen (BBPBAL Lampung, 2002).
Pakan alami lainnya yang biasa digunakan juga dalam
hatchery udang vannamei adalah Chaetosceros sp yang juga merupakan jenis alga
diatomae jenis plankton ini selain digunakan sebagai pakan udang juga sering
digunakan sebagai bahan pengkayaan untuk zooplankton karena memiliki nilai
nutrisi yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi dari zooplankton yang
dikulturkan, biasanya Chaetoceros diberikan kepada larva udang pada saa masa transisi mulai dari stadia naupli dengan
zoea 1 karena pada stadia naupli belum diberikan pakan, pada stadia naupli belum memerlukan
makanan karena masih mempunyai cadangan makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam hal ini
diperkuat oleh Panjaitan (2012) yang menyatakan bahwa pemilihan Chaetoceros calcitrans memang sudah merupakan pilihan
jenis fitoplankton yang tepat karena fitoplankton tersebut memiliki kandungan
nutrisi yang baik dan lengkap yang dibutuhkan oleh larva udang vaname terutama
pada stadia transisi.
Pakan
alami
lain yang sangat penting dalam hatchery udang vannamei adalah artemia yaitu
jenis pakan alami yang sangat populer atau banyak digunakan dalam kegiatan
pembenihan ikan ataupun udang karena nilai nutrisi nya yang sangat bagus bagi
pertumbuhan larva serta ukuran nya yang sesuai dengan bukaan mulut larva-larva
ikan dan udang. Artemia sendiri merupakan pakan alami yang tergolong dalam
kelompok zooplankton yang memiliki ukuran yang snagat kecil Artemia
biasanya diperjual belikan dalam bentuk kista/cyste, yang mudah dan
praktis, karena hanya tinggal menetaskan kista saja. Dapat dilakukan oleh
setiap orang.
Menurut
Sudaryono (2005) Artemia merupakan salah satu pakan alami bagi larva udang yang
banyak digunakan di hatchery udang di seluruh Indonesia. Penggunaan
artemia dalam kegiatan pembenihan udang di Indonesia hampir semuanya
menggunakan produk impor. Hal ini dikarenakan jasad renik ini bukan merupakan
hewan asli Indonesia. Berkaitan dengan keunggulan dari artemia yaitu kandungan
nutrisi yang tinggi serta praktis dalam penggunaannya, sehingga ada upaya
akuakulturis di Indonesia dalam menghasilkan kista artemia produk lokal.
Artemia produk impor dan artemia produk lokal memiliki kualitas nutrisi yang
hampir sama.
Pakan buatan yang biasa
diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran
partikel sesuai dengan stadianya karena ukuran larva yang sangat kecil maka
pakan buatan yang diberikan pun memiliki ukuran yang berbeda dengan pakan untuk
pembesaran, tetapi kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang vannamei
cukup tinggi. Terdapat beberapa merk pakan buatan yang biasa digunakan dalam
hatchery udang vannamei antara lain artemac 2-4 dan economac jenis pakan ini
merupakan pakan buatan yang dibuat khusus untuk larva udang sehingga segala
sesuatunya disesuaikan seperti ukuran dan kandungan nutrisinya dalam pemberian
pakannya dilakukan dengan cara melarutkan pakan dengan air laut. Hal ini
diperkuat oleh Kalesaran (2010) yang menyatakan bahwa pada selama pemeliharaan,
larva diberikan pakan untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
Pakan diberikan dengan penebaran secara
langsung. Larva diberikan pakan buatan yang bermerk artemac no 2, artemac no 3,
artemac no 4 dan economac. Pemberian pakan 4 jam sekali atau sebanyak 6
kali/hari.
3.4.
Manajemen Kualitas Air Udang
Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Hatchery
Udang vaname merupakan jenis udang yang mudah dibudidayakan di Indonesia, karena
udang ini memiliki banyak keunggulan. Meskipun mempunyai banyak keunggulan
namun apabila kondisi lingkungan seperti kualitas air tidak sesuai dengan
standar untuk budidaya tentu akan dapat menyebabkan kematian dan akhirnya
kerugian dalam usaha budidaya. Dalam budidaya udang vaname perlu memperhatikan
kondisi lingkungan dalam budidaya tersebut seperti kualitas air yang digunakan
sebagai tempat hidup udang vaname. Kualitas air yang perlu diperhatikan di dalam budidaya udang vaname yaitu seperti DO,
CO2 bebas, pH, Suhu, salinitas dan juga pada nitrit. Hal ini diperkuat oleh
Fuady et al. (2013) yang menyatakan
bahwa salah satu teknik untuk mengatasi persoalan itu, dalam usaha budidaya
udang vaname adalah adanya pengelolaan kualitas air yang baik. Karena dengan
adanya pengelolaan kualitas air yang baik dapat menjaga kualitas air agar
sesuai dengan standar untuk budidaya dan dapat meningkatkan produktivitas
tambak. Pengelolaan kualitas air merupakan suatu cara untuk menjaga parameter
kualitas air sesuai dengan baku mutu bagi kultivan. Parameter-parameter itu
merupakan suatu indikator untuk melihat kulitas air, seperti oksigen terlarut
(DO), karbondioksida (CO2 ) bebas, pH, suhu, salinitas, dan nitrit. Kualitas air perlu diperhatikan dalam
budidaya udang vaname dikarenakan air merupakan media hidup bagi udang,
sehingga pengelolaan kualitas air sangat perlu untuk diperhatikan dalam usaha
pembenihan udang. Dalam pemeliharaannya kualitas air yang dibutuhkan untuk
budidaya udang vaname yaitu harus sesuai dengan lingkungan yang dibutuhkan oleh
udang vaname tersebut agar tidak sering terjadi kematian masal ataupun udang
vaname yang terkena penyakit. Hal ini dapat diperkuat oleh Mahasri et al. (2014) yang menyatakan bahwa teknik pemeliharaan yang kurang
diperhatikan, pengelolaan kualitas air kurang baik akan mengurangi kualitas dan kuantitas pakan serta
meningkatkan penyakit. Parameter yang baik bagi udang yaitu untuk DO berkisar
4-8, suhu yang baik yaitu 27-32oC, salinitas yang baik 20-30, pH
yang baik yaitu 7,7 – 9 dan nitrit berkisar < 0,1 ppm.
3.5. Pemanenan larva Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) di Hatchery
Panen merupakan salah satu tahapan ketika udang telah mencapai ukuran atau stadia yang
sesuai. Larva yang telah
mencapai
PL10 sudah dapat dilakukan pemanenan, namun perlu dilakukan beberapa hal tes virus terhadap
larva dan pengujian kualitas larva. Tes
virus dilakukan 2 hari sebelum panen. Tes virus ini ditunjukan pada Taura
Syndrome Virus (TSV) dan Infectious
Hypodermal dan Infectious Hypodermal Hematopoetic Necrosis
(IHNNV) dengan mengambil beberapa sampel larva udang kemudian di bawa ke laboratorium. Sedangkan pengujian kualitas larva
dilakukan dengan menurunkan salinitas hingga 0 ppt,
menurunkan suhu
air 150C dan perendaman dalam formalin
dilakukan selama
15 menit. Apabila yang bertahan
hidup di atas 50% maka kualitas larva baik.
Menurut Kalesaran
(2010) yang menyatakan bahwa saat larva mencapai PL 10, maka pemanenan sudah dapat dilakukan, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu tes virus terhadap
larva, pengujian kualitas
larva dan mensirkulasi dengan menggunakan formalin.
Tes virus dilakukan 2 hari
sebelum panen. Tes virus ini ditunjukan bagi Taura
Syndrome Virus (TSV) dan Infectious
Hypodermal dan Infectious Hypodermal Hematopoetic Necrosis
(IHNNV) dengan mengambil beberapa larva udang kemudian di bawa ke laboratorium. Pengujian kualitas larva
dilakukan sehari sebelum panen dengan cara menurunkan salinitas hingga 0 ppt,
menurunkan suhu
air 150C, dan
perendaman dalam formalin 20 ppm.
Masing-masing dilakukan selama 15 menit. Bila
larva bertahan hidup lebih dari 50% maka larva
berkualitas baik.
Setelah pengujian larva, air
media pemeliharaan disirkulasi dengan menggunakan formalin.
Hal ini bertujuan mempercepat moulting pada larva sehingga kulitnya bersih dari bakteri, jamur, dan
parasite yang terdapat pada kulit lama. Tahapan
proses sirkulasi sebagai berikut:
1. Air
dikeluarkan hingga
12 m3
2. Tambahkan
formalin sebanyak 50 ppm ke
dalam
media pemeliharaan dan diamkan selama 30 menit
3. Media
disirkulasi selama
1 jam
4. Terakhir
volume air dinaikkan pada keadaan normal 30m3.
Larva sudah dapat dipanen.
IV.
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan dapat
disimpulkan bahwa :
1. Wadah yang digunkan untuk
pemeliharaan larva adalah tangki beton berbentuk persegi enam dengan kapasitas
40m3.
2. Padat tebar naupli sekitar 100-150 ekor/liter
dalam air pemeliharaan sekitar 50-75% dari volume bak.
3. Artemia merupakan salah satu pakan alami bagi larva udang yang
banyak digunakan di hatchery. Pakan buatan yang biasa
diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis).
4. Parameter yang baik bagi udang yaitu untuk DO
berkisar 4-8, suhu yang baik yaitu 27-32oC, salinitas yang baik
20-30, pH yang baik yaitu 7,7 – 9 dan nitrit berkisar < 0,1 ppm.
5. Apabila larva mencapai PL 10, maka pemanenan sudah dapat dilakukan. Hal yang harus dilakukan dalam pemanenan, yaitu tes virus terhadap
larva, pengujian kualitas
larva dan mensirkulasi dengan menggunakan formalin.
5.2.
Saran
Saran yang dapat diberikan kepada pembudidaya dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Sebaiknya, dalam
pemberian pakan pembudidaya dapat memilih pakan sesuai dengan kualitas yang
baik dan sesuai ukuran bukaan mulut kultivan.
2.
Sebaiknya, pembudidaya
dapat mengetahui apa saja yang akan dilakukan terlebih dahulu dalam pemanenan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyodi.K.G., dan R.G.Adiyodi. 1970.
Endocrine Control of Reproduction in Decapod Crustacea. Biol. Rev. 45: 121-165.
Balai
Budidaya Laut Lampung. 2005. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Balai
Budidaya Laut Lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Deaprtemen
Kelautan dan Perikanan. Lampung.
BBAP Situbondo. 2006. Pembenihan Udang
Vannamei. Standar dan Informasi Situbondo.
Elovaara, A.K. 2001. Shrimp
Farming Manual Practical Technology for Intensive Shrimp Production. United
States f America (USA).
Fuady M.F, Supardjo M. N, dan Haeruddin.
2013. Pengaruh Pengelolaan Kualitas Air Terhadap Tingkat Kelulushidupan dan Laju Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeusv vannamei) di Pt. Indokor Bangun
Desa, Yogyakarta. J. Management Aquatic Resources 2(4): 155-162.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi
Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Cetakan pertama. Rineka Putra.
Jakarta.
Haliman, R.W. dan Adijaya, D. 2005.Udang
Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hudi Lukman., A. Shahab.2005.Optimasi
Produktifitas Budidaya Udang Vaname
(Litopenaues vannamae) Dengan Menggunakan
Metode Respon Surface dan
Non Linier
Programming.Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II.Surabaya.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. (1995).
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Kalesaran.O.J. Pemeliharaan Post Larva (PL4-PL9) Udang Vannamei (Penaeus
vannamei) di Hatchery PT. Banggai Sentral Shrimp Provinsi Sulawesi Tengah.
Jurnal Perikanan dan Kelautan. 6(1): 58-62.
Mahasri G, Sudarno dan Kusdarwati R. 2014. Ibm Bagi
Petani Benih Udang Windu Skala
Rumah Tangga (Backyard) di Desa Kalitengah Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo yang Mengalami Gagal Panen
Berkepanjangan Karena Serangan
Penyakit. J. Ilmiah Perikanan dan Ilmu Kelautan. 6(1): 31-36.
Nuhman. 2008. Pengaruh Prosentase
Pemberian Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei). Berkala
Ilmiah Perikanan. 3(1): 35-3
Panjaitan, A.S. 2012. Pemeliharaan larva
udang vaname (Liptonaeus vannamei) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang
Berbeda. Jurnal Penelitian. Universitas Terbuka. Indonesia.
Purba, Christine Yolanda. 2012. Performa
Pertumbuhan, Kelulushidupan, Dan Kandungan Nutrisi Larva Udang
Vanamei (Litopenaeus vannamei) Melalui Pemberian
Pakan Artemia Produk Lokal Yang Diperkaya Dengan Sel Diatom. Journal Of Aquaculture Management and Technology1(1),
Hal 102-115.
Subaidah, Pramudjo, Oktiandi, Manijo,
dan M. Yunus. 2006. Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei).
Direktorat Jendarl Situbondo. 51 hal.
Sudaryono.
Agung. 2005. Pengaruh Kista Artemia Lokal dan Impor terhadap Respon Biologi
Benih Udang Windu (Penaeus monodon). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro (Makalah) 6hlm.
Wyban, J. A. dan J. N. Sweeney. 2000. Intensive shrimp
production technology.
The
Oceanic Institute. Honolulu, Hawaii, USA. hal.13-14.
Wyban, J. A. 1992. Selective
Breeding of Specifik Pathogen Free (SPF) Shrimp for Health and Increased
Growth in Diseases of Cultural Penaeid Shrimp in Asia and United State. Proc. of Workshop in Honolulu. 257-268.
0 komentar:
Posting Komentar