I.
PENDAHULUAAN
1.1. Latar
Belakang
Populasi
penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan
meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025. Meningkatnya populasi penduduk dunia
akan berpotensi meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, diantaranya untuk
pemenuhan kebutuhan bahan pangan. Udang dan produk perikanan lainnya berpeluang
besar menjadi salah satu sumber bahan pangan karena memiliki nilai protein
tinggi, micronutrient penting dan keseimbangan nutrisi bagi kesehatan manusia.
Budidaya
secara harfiah berarti pemeliharaan. Dalam konteks perikanan, berarti kegiatan
pemeliharaan segala jenis sumber daya perikanan yang dilakukan oleh manusia
dalam lingkungan terkontrol untuk tujuan kesejahteraan manusia. Usaha budidaya
perikanan baik itu budidaya tawar, payau maupun laut tidak dapat dilakukan
semaunya atau disembarang tempat. Beberapa hal harus diperhatikan jika
menginginkan keberhasilan usaha budidaya. Salah satunya yaitu harus mengetahui
evaluasi kelayakan lahan untuk budidaya perairan. Sebagai langkah awal budidaya
adalah pemilihan lokasi budidaya yang tepat. Pemilihan dan penentuan lokasi
budidaya harus didasarkan pertimbangan aspek – aspek meliputi aspek tanah aspek
ekologis, aspek biologis, dan asprk social ekonomi , sehingga hatus disesuaikan
dengan keadaan dan kebiasaan biota yang akan dibudidaya.
Udang
merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan produksinya mampu
menambah devisa bagi negara dari sektor perikanan. Secara komersial budidaya
udang di Indonesia telah dilakukan sekitar tahun 1980 kemudian pada tahun 1984
mulai dibudidayakan secara intensif yang diawali di Jawa Timur. Produksi udang
terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen dunia terutama
dari negara-negara Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat. Meningkatnya jumlah
produksi udang Indonesia telah membawa nama negara ini sebagai salah satu
negara terbesar pengekspor udang di dunia setelah Thailand, Equador, India, dan
RRC. Adapun jenis udang yang dikembangkan hampir 80% berasal dari famili
Penaeidae yaitu Pacific White Shrimp dan Giant Tiger Prawn (Wickins & Lee
2002).
Kegiatan
budidaya udang di Indonesia dengan komoditas utama yaitu udang windu (Penaeus monodon), berkembang sangat
pesat dengan menerapkan sistem budidaya secara intensif dan telah menghasilkan
devisa negara yang cukup besar.Budidaya udang windu mengalami berbagai kasus
kematian sejak tahun 1990-an, baik akibat dari lingkungan yang kurang mendukung
maupun adanya serangan penyakit seperti bakteri dan virus (Tenriulo et al., 2010). Kondisi tersebut membuat banyak petambak
mulai beralih ke budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
Udang vannamei memiliki banyak keunggulan seperti relatif tahan penyakit,
produktivitasnya tinggi, waktu pemeliharaan relatif singkat, tingkat
kelangsungan hidup (survival rate)
selama masa pemeliharaan tinggi dan permintaan pasar terus meningkat.
1.2 Tujuan,
Rumusan Masalah Dan Manfaat
a. Tujuan
:
1.
Mengetahui
konstruksi wadah budidaya udang vaname secara tradisional
2.
Mengetahui
manajemen penyakit budidaya udang vaname secara tradisional
3.
Mengetahui
manajemen kualitas air pada budidaya udang vaname secara tradisional
b. Rumusan
Masalah :
1.
Bagaimana
konstruksi wadah budidaya udang vaname?
2.
Bagaimana cara
manajemen penyakit budidaya udang vaname?
3.
Bagaimana cara
manajemen kualitas air budidaya udang vaname?
II. TINJAUAN PUSTAKA
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah
satu komoditas perikanan ekonomis penting dikarenakan secara umum peluang usaha
budidaya udang vaname tidak berbeda jauh dengan peluang usaha udang jenis
lainnya. Sebab pada dasarnya udang merupakan komoditi ekspor andalan pemerintah
dalam menggaet devisa.
2.1. Klasifikasi
Udang Vannamei
Haliman dan Adijaya (2005) dalam Zakaria (2010) menyatakan bahwa
udang vannamei memiliki nama atau sebutan yang beragam di masing-masing negara,
seperti whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blances (Perancis) dan camaron patiblanco (Spanyol). Udang
putih pasifik atau yang dikenal dengan udang vannamei digolongkan dalam :
Kingdom : Animalia
Sub kingdom :
Metazoa
Filum :
Arthropoda
Sub filum :
Crustacea
Kelas : Malacostraca
Sub kelas : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobranchiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.2. Distribusi
Habitat dan Udang Vannamei
Udang vaname tersebar di bagian timur
pantai Pasifik Amerika Tengah dan Selatan dari Mexico sampai Peru, dimana
daerah-daerah tersebut memiliki temperatur di atas 20o C sepanjang
tahun. Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang ini telah
tersebar keseluruh dunia. Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada
kedalaman dari garis pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan
menempati daerah mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat
beradaptasi dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa udang vaname dapat
beradaptasi pada salinitas yang rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai
udang paling banyak dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah
dimana udang ini dapat beradaptasi (Elovaara, 2001 dalam Manoppo, 2011).
2.3.
Biologi Udang Vannamei
Udang vannamei atau biasa juga di sebut
udang putih merupakan udang yang saat ini banyak di budidayakan di Indonesia.
Seperti namanya, udang ini memiliki warna putih dengan tubuh berbuku-buku
dengan dua bagian utama yaitu bagian kepala dan dada yang menjadi satu (chepalothorax) serta bagian
tubuh (abdomen) dan ekor. Udang ini untuk dapat tumbuh udang ini
berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Menurut Abdullah (2015), udang vannamei
atau sering disebut pula udang putih merupakan udang yang masuk kedalam family
Penaidae. Anggota family ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur
dikeluarkan oleh udang betina. Bentuk tubuh dari udang ini yaitu terbagi
menjadi dua bagian antara lain bagian kepala dan dada (chepalothorax) serta bagian badan (abdomen) dan ekor.
Kepala
udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang
maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi lima pasang kaki berjalan
(periopoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ
untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang
dihubugka oleh coxa. Kaki udang vannamei berfungsi pula untuk mengambil makanan
dan memasukanya kedalam mulut. Pada bagian belakang yaitu pada bagian tubuh dan
ekor, udang vannamei memiliki kaki renang (pleopoda) yang berjumlah lima pasang
di bawah tubuhnya. Bagian ekor terdapat uropod dan telson yang dapat digunakan
untuk membantu mendorong tubuh udang saat melompat. Menurut Abdullan (2015),
bagian-bagian tubuh udang vannamei terdiri dari rostum, sepasang mata, sepasang
antenna, sepasang antenula, tiga buah maxiliped, lima pasang kaki jalan
(periopoda), lima pasang kaki renang (pleopoda), sepasang telson dan uropoda.
Udang vannamei mempunyai telson yang menyerupai lengan pada bagian ujung
chepalothorax di atas mata dan antenula.
Udang
vannamei atau udang putih (Litopenaeus vannamei) semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala bangkai (omnivorusscavenger) atau pemakan
detritus. Usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah merupakan omnivora,
namun cenderung karnivora yang memakan crustacea kecil dan polychaeta. Udang
ini termasuk udang yang bersifat nocturnal atau aktif di malam hari dan
bersifat kanibal saat kekurangan pakan atau makanan. Udang vannamei mempunyai
toleransi terhadap salinitas yang cukup baik dan dapat bertahan hidup pada salinitas
tinggi maupun salinitas rendah. Menurut Amrillah et al. (2015), salinitas
merupakan salah satu faktor lingkungan yang memegang peranan penting terhadap
pertumbuhan dan sintasan pada udang. Konsumsi makanan dan efisiensi konversi
pakan yang merupakan komponen utama pada pertumbuhan dan kelulushidupan dari
udang dipengaruhi oleh salinitas dan atau temperature. Udang vannamei memiliki kemampuan
osmoregulasi yang tinggi, sehingga berhasil dibudidayakan dalam kondisi
salinitas rendah (2 ppt) sampai tinggi (40 ppt). Perubahan terhadap salinitas
air menyebabkan perubahan metabolisme hemolim selama proses infeksi virus
berlangsung, sehingga dapat mengurangi peran imunokompetensi dan meningkatkan
kerentanan udang terhadap bakteri pathogen.
III
. PEMBAHASAAN
3.1 Persiapan
Wadah
Menurut Wahyudi et
al. (2013), tambak merupakan salah satu jenis habitat yang
dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di
daerah pesisir Umumnya manajemen tambak yang berada di Indonesia dilakukan
mulai dari pembesaran dan masa panen, sedangkan untuk bibit diperoleh dari
penjual atau tangkapan langsung dari alam. Teknologi yang diterapkan dalam
pengelolaan tambak terdiri atas tiga tipe tambak yakni tambak tradisional,
tambak semi intensif dan tambak intensif. Indonesia sejak lama menggunakan
teknologi tradisional dan semi intensif, namun sejak tahun 1986, pemerintah
mengupayakan agar seluruh tambak yang ada dikelola secara intensif.
Menurut Banun et
al. (2008), manajemen di dalam budidaya tambak udang merupakan
serangkaian kegiatan operasional yang dilakukan dalam masa pembesaran udang (on growing). Tingkatan teknologi
manajemen budidaya bisa dibedakan atas super intensif, intensif, semi intensif
dan ekstensif (tradisional).
Tabel 2. Manajemen Budidaya Berdasarkan Tingkat Teknologi yang digunakan
Kegiatan
|
Super intensif
|
Intensif
|
Semi intensif
|
Tradisional
|
Padat tebar
|
> 500 e/m2
|
80 -125 e/m2
|
30 – 80 e/m2
|
< 10 e/m2
|
Kincir
|
Super case
|
Setiap 3 kincir untuk 125.000 ekor
|
Setiap 3 kincir untuk 125.000 ekor
|
Tanpa kincir
|
Persiapan
lahan
|
-
angkat lumpur
-
pengeringan
-
pengolahan tanah
dasar
-
pengapuran
-
pemberantasan hama
-
pemupukan
|
-
angkat lumpur
-
pengeringan
-
pengolahan tanah
dasar
-
pengapuran
-
pemberantasan hama
-
pemupukan
|
-
angkat lumpur
-
pengeringan
-
pengolahan
-
tanah dasar*
-
pengapuran
-
pemberantasan hama
-
pemupukan*
|
-
pengeringan
-
pengapuran
- pemberanta-san
hama*
|
Dasar
petakan
|
Biasanya Plastik atau semen
|
Tanah/semen
|
Tanah
|
Tanah
|
Lanjutan Tabel 2. Manajemen Budidaya Berdasarkan Tingkat Teknologi
yang digunakan
Kegiatan
|
Super intensif
|
Intensif
|
Semi intensif
|
Tradisional
|
Manajemen
kualitas air
|
Pengukuran untuk mendapat kan data akurat sebagai acuan
untuk treatmen harian petakan kualitas air,
bakteri dan patologi
|
Beberapa parameter kualitas air dianalisa rutin : pH,
Salinitas, PO4, NO2, plank-ton dan NH4
|
Beberapa parameter kualitas air dianalisa rutin : pH,
Salinitas, PO4, NO2, plankton dan NH4
|
Berdasarkan
warna air yang terjadi kalau sudah pekat biasanya
petani akan memasukan air untuk
sirkulasi
|
Strategi
Pemberian
pakan
|
Dikontrol Berdasarkan jam pakan
dan kontrol anco dimana penambahan/
pengurangan
pakan dilakukan/jam pakan
|
Dikontrol
Berdasarkan jam pakan dan kontrol anco dimana penambahan/pengurangan pakan
dilakukan per jam pakan
|
Dikontrol Berdasarkan jam pakan
dan kontrol anco dimana penambahan/
pengurangan
pakan dilakukan per jam pakan
|
Pakan (pellet/rucah)
diberikan hanya setelah udang
berumur ± 1 bln
|
Pembersihan
kotoran
|
Saluran
buang di tengah dasar petakan dan setting
kincir
yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah petakan selain
pintu outlet yang bisa diatur untuk buang air atas dan bawah bahkan disipon
(kotoran disedot dari atas)
|
Biasanya punya saluran buang ditengah dasar petakan dan
setting kincir yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah
petakan selain outlet yangbisa diatur untuk buang air atas dan bawah
|
Biasanya punya saluran buang di tengah dasar petakan dan
setting kincir yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah
petakan
|
Hanya punya pintu outlet yang sederhana untuk panen
|
Lanjutan Tabel 2. Manajemen Budidaya Berdasarkan Tingkat Teknologi
yang digunakan
Kegiatan
|
Super intensif
|
Intensif
|
Semi intensif
|
Tradisional
|
Aktivitas Panen
|
Mudah dan bisa kapan saja
|
Mudah dan bisa kapan saja
|
Mudah dan bisa kapan saja
|
Tegantung tinggi air
sungai
|
Manajemen tambak udang secara ekstensif (tradisional) cenderung lebih mudah
dilakukan karena tidak memiliki persyaratan tertentu. Pada persiapan lahan
sendiri, menejemen tambak udang terbagi menjadi 4, yaitu pengeringan,
pengapuran, pemberantasan hama, serta pemupukan dan pengisian air.
1.
Pengeringan
Air dalam tambak dibuang, ikan-ikan liar diberantas
dengan saponin, genangan air yang masih tersisa di beberapa tempat harus di
pompa keluar. Selanjutnya tambak dikeringkan sampai retak-retak kalau perlu
dibalik dengan traktor sehingga H2S menghilang karena teroksidasi.
Pengeringan secara sempurna juga dapat membunuh bakteri patogen yang ada di
pelataran tambak. Hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), Pengeringan untuk
menguapkan gas-gas toksik; menambah kadar oksigen pada tanah dasar tambak; dan
membunuh hama pengganggu seperti trisipan, tritip, lumut, ikan-ikan liar, dan
lain-lain.
Menurut Saadah (2010), sebelum benih ditebar di
tambak, tanah tambak diolah lebih dahulu. Adapun pengolahan tambak adalah
petakan tambak mula-mula dikeringkan dan lumpurnya dikeluarkan untuk
mempertinggi dan menutupi kebocoran dari pematang selanjutnya tanah dibajak.
Setelah selesai pengolahan, tambak dikeringkan sampai retak-retak +15 hari
tergantung cuaca. Selama proses pengeringan dilakukan kegiatan perbaikan
pematang pembersihan caren dan pematang dasar tambak.
2.
Pengapuran
Untuk menunjang perbaikan kualitas tanah dan air
dilakukan pemberian Kapur Bakar (CaO), 1.000 kg/ha, dan Kapur Pertanian
sebanyak 320 kg/ha. Selanjutnya masukkan air ke petakan sehingga tambak menjadi
macak-macak. Hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), Pemberian kapur dilakukan
setelah pengeringan dilakukan. Tanah dalam keadaan macak-macak saat diadakan
pengapuran. Kapur yang digunakan adalah kapur bakar (CaO) dengan dosis
tertentu. Pengapuran dilakukan agar ion Al3+ penyebab asam digantikan oleh ion
Ca2+ sehingga pH dasar tambak meningkat.
3.
Pemberantasan Hama
Pemberantasan hama ikan-ikan liar dapat memakai
Saponin 15-20 ppm (15-20kg/ha tinggi air tambak 10 cm). Setelah pemberian
saponin dilakukan, didiamkan selama 24 jam atau 1 hari. Hal ini diperkuat oleh
Darmawan (2008), pemberian saponin setelah pengapuran dilakukan agar hama yang
masih hidup setelah pengeringan terbunuh. Saponin diberikan dengan dosis 30 ppm
dan dilakukan pada siang hari agar reaksi saponin berlangsung cepat.
4.
Pemupukan dan pengisian Air
Menurut Darmawan (2008), pemupukan dilakukan dengan
menggunakan pupuk organik dengan dosis 1500 kg/Ha dan diikuti dengan pemberian
UREA dengan dosis 70 kg/Ha dan TSP dengan dosis 35 kg/Ha. Setelah dipupuk,
pengisian air dilakukan sampai tinggi air mencapai 50 cm.
Pengisian air dilakukan setelah seluruh persiapan
dasar tambak telah rampung dan air dimasukkan ke dalam tambak secara bertahap.
Ketinggian air tersebut dibiarkan dalam tambak selama 2-3 pekan sampai kondisi
air betul-betul siap ditebari benih udang. Tinggi air di petak pembesaran
diupayakan ≥1,0 m. hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), selang 1 – 3 hari
kemudian plankton tampak tumbuh di setiap petakan tambak dan benih siap untuk
ditebar. Proses persiapan lahan ini membutuhkan waktu selama 2 minggu.
3.2 Manajemen
Pakan Alami
Budidaya udang vannamei atau udang putih (Litopenaeus vannamei) ditambak tradisional
pasti masih memerlukan ketersediaan pakan alami yang sebagai bahan pangan dari
udang vannamei itu sendiri. Meskipun masih dalam skala tradisional, menejemen
pakan alami masih harus dilakukan untuk menunjang pertumbuhan dan kebutuhan hidup
udang vannamei. Penyediaan pakan
alami bagi udang banyak dilakukan pada kegiatan budidaya pola tradisional
dengan karakteristik padat penebaran rendah dan penggunaan teknologi budidaya
sangat minim. Program pemberian pakan pada budidaya dengan pola ini lebih
banyak tergantung dan mengandalkan ketersediaan pakan alami yang ada di dalam
tambak, sedangkan penggunaan pakan buatan terbatas pada pakan yang dibuat
sendiri dengan frekuensi pemberian pakan sangat terbatas. Hal ini dinyatakan
oleh Andriyanto et al. (2013),
Persiapan tambak biasanya dilakukan Pemupukan yang dilakukan untuk
mempersubur kondisi air yang digunakan untuk menumbuhkan pakan alami udang,
seperti plankton.
Jenis-jenis
pakan alami yang biasa tumbuh atau dikembangkan didalam tambak antara lain:
1.
Plankton, biota ini
dapat diamati penampaknnya melalui pengamatan visual kedalam tambak. Jenis
pakan alami ini lebih sering dikonsumsi oleh udang usia tebar atau udang yang
masih berukuran kecil. Copepoda adalah salah satu filum dari zooplankton (plankton hewani) dan
merupakan pemangsa terbesar golongan diatom. Menurut Arinardi et al. (1996), zooplankton hampir dijumpai
diseluruh habitat akuatik tetapi kelimpahan dan komposisinya bervariasi
tergantung keadaan lingkungan dan biasanya terkait erat dengan perubahan musim.
Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH, dan zat
cemaran memegang peranan penting dalam menentukan keberadaan (kelimpahan) jenis
plankton di perairan. Sedang faktor biotik seperti tersedianya
pakan, banyaknya predator dan adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi
spesies. Menurut Panjaitan et al. (2014) mikroalga
memberikan nutrisi berkualitas secara optimum untuk organisme seperti larva
udang sesuai pada stadia perkembangannya. Dikatakan pula bahwa beberapa jenis
mikroalgae yakni fitoplankton juga dapat berperan sebagai antibakterial,
immunostimulan dan pemasok enzim pencernaan bagi pemangsanya.
2.
Jenis lumut terutama
jenis lumut usus. Pakan alami dari jenis ini ditunjukkan bagi udang dewasa yang
berukuran besar,. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemunculan atau
pengembangan lumut didalam tambak perlu diperhatikan adalah bahwa pemunculan
atau pengembangan lumut didalam tambak perlu terkontrol secara cermat
densitasnya sehingga tidak menimbulkan masalah yang serius bagi udang dan
kualitas air. Jenis lumut yang dapat tumbuh didalam tambak dan merugikan
seperti jenis lumut rambut. Metode yang dapat digunakan dalam pengembangan
lumut didalam tambak adalah dengan menempatkan lumut pada beberapa transek
kawat atau kayu dan kemudian ditempatkan secara merata didalam perairan
tersebut dengan tujuan untuk memudahkan pengontrolan populasi lumut tersebut
melalui transek.
3.
Jenis kerang-kerangan
terutama dari jenis kijing, anadara, dan kerang hijau. Pemunculan kekerangan
ini perlu terkontrol secara cermat pula densitasnya karena biota ini bersifat
plankton feeder sehingga dapat berpengaruh pada proses pembentukan kualitas air
tambak.
4.
Rebon, yaitu jenis
udang yang berukuran kecil iasanya muncul dengan sendirinya didalam tambak
melalui saluran pemasukan air pada musim-musim tertentu.
5.
Serasah dan detritus,
yaitu kotoran tambak yang berasal dari daun-daun tanaman di sekitar tambak yang
jatuh dan tenggelam didasar tambak.
6.
Bangkai biota perairan
yang ada didasar tambak. Jenis pakan ini lebih cenderung sebagai proses alami
didalam tambak dan terdapat dalam skala kecil serta bersifat insidental.
3.3. Manajemen Kualitas Air
Udang
putih (Litopenaeus vannamei)
merupakan spesies yang mempunyai kebiasaan hidup pada kolom air. Upaya
peningkatan kepadatan dengan penambahan udang putih ke dalam sistem budidaya
udang windu diduga akan mempunyai dampak negatif yang kecil pada pertumbuhan dan
kelangsungan hidup udang windu. Peningkatan kepadatan diharapkan akan
meningkatkan produksi. Studi ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan dan
kelangsungan hidup udang windu yang ditingkatkan kepadatannya melalui
penambahan udang putih.
Manajemen
kualitas air adalah merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi lingkungan
sehingga berada dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan
udang. Kestabilan lingkungan di dalam tambak merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi oleh para petambak untuk memperoleh kesuksesan dalam budidaya udang.
Fluktuasi parameter kualitas air pada tambak pembesaran udang dapat menyebabkan
penurunan kelangsungan hidup udang yang berlanjut pada penurunan produksi.
Akumulasi bahan organik akan menyebabkan terjadinya pembentukan senyawa-senyawa
yang beracun bagi udang sehingga mempercepat penurunan kualitas air (Abdullah,
2015).
Konsep
dasar manajemen kualitas air adalah mengetahui asal (sumber) dan tingkah laku
dari pencemar serta cara-cara pengelolaannya, sehingga dampak-dampak yang
negatif dapat dikurangi dan dampak-dampak yang positip dapat dikembangkan. Pada
kegiatan usaha budidaya udang di tambak, maka penurunan kualitas air disebabkan
oleh faktor eksternal (yaitu faktor dari luar pertambakan umumnya disebabkan
oleh adanya kandungan bahan organik dan logam berat) dan faktor internal
(akibat dari kelebihan pakan, hasil ekskresi dari hewan budidaya dan kondisi
dasar tambak). Pengelolaan air,baik kualitas maupun kuantitas merupakan
kegiatan yang sangat penting diperhatikan, udang akan hidup sehat dan tumbuh
maksimal apabila kualitas airnya sesuai dengan kriteria untuk pertumbuhan udang
yang dipelihara. Jadi pengelolaan air ini bertujuan untuk menyediakan
lingkungan yang optimal bagi udang agar tetap bisa hidup dan tumbuh maksimal.
Prinsip dalam pengelolaan air adalah sirkulasi dan penambahan air yang talah
disaring disebabkan karena tingginya tingkat penguapan dan resapan air, system
penyaringan air dimulai dari air laut yang dipompa kemudian masuk resepoan
diendapkan untuk sterilisasi dalam kolam penampungan yang disebut tandon, lalu
dialiri ke tiap kolam budidaya (Lawaputri, 2011).
3.3.1. parameter kualitas air
Pemeliharaan
kualitas air dapat dijadikan salah satu indikasi tentang kestabilan lingkungan
didalam tambak dan secara langsung akan berdampak terhadap tingkat kelangsungan
hidup organisme yang berbeda didalamnya Kualitas air dinyatakan dengan beberapa
parameter, yaitu parameter fisika, kimia dan biologi.
a. parameter
fisika
Faktor fisika air merupakan variabel
kualitas air yang penting karena dapat mempengaruhi variabel kualitas air yang
lainnya. Faktor fisika yang besar pengaruhnya terhadap kualitas air adalah
cahaya matahari dan suhu air. Kedua faktor ini berkaitan erat, dimana suhu air
terutama tergantung dari intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam air.
Cahaya matahari mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kualitas air
secara keseluruhan, karena dapat mempengaruhi reaksi-reaksi yang terjadi dalam
air. Cahaya matahari diperlukan oleh tumbuhan air sebagai sumber energi untuk
melakukan fotosintesis. Sebagai produsen primer, tumbuhan hijau melakukan
fotosintesis untuk menghasilkan oksigen dan bahan organik yang akan
dimanfaatkan oleh hewan yang lebih tinggi tingkatannya dalam rantai makanan
(Ghosal et al, 2000; Abdullah, 2015).
1.
Suhu
Suhu
suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan,
dan aliran serta kedalaman air. Proses suhu berpengaruh terhadap proses fisika,
kimia dan biologi badan air). Setiap spesies memiliki kisaran suhu optimum
untuk pertumbuhan. Pada suhu optimum ikan tumbuh lebih cepat, memiliki
efisiensi pakan lebih baik, dan relatif lebih tahan dari serangan penyakit.
Suhu akan mempengaruhi proses fisiologi dalam tubuh udang, dimana setiap
peningkatan suhu sebesar 10 oC
akan menyebabkan peningkatan reaksi biokimia dalam tubuh sebesar 2 kali. Udang
memiliki kisaran suhu yang sangat luas dengan batas bawah sebesar 15 oC
dan batas atas sebesar 35oC atau sampai 40 oC
dalam rentang waktu yang singkat. Suhu optimum bagi udang berkisar 24 – 32 oC.
Bila udang hidup di bawah maupun di atas kisaran suhu optimumnya, maka udang
akan stres dan tidak tumbuh dengan baik (Yuniasari, 2009).
Suhu
atau temperatur merupakan salah satu faktor penentu kisaran suhu air tambak
yang baik bagi kehidupan udang vannamei adalah antara 26 - 30 °C. Jika suhu air
tambak turun dibawah 25 °C akan menyebabkan daya cerna udang terhadap makanan
yang dikonsumsi berkurang. Sebailiknya, jika suhu naik di atas 30 °C, udang
akan mengalami stress yang disebabkan oleh tingginya kebutuhan oksigen,
sementara bila suhu berada dibawah 14 °C maka dapat mengakibatkan kematian
udang vannamei (Amri & Kanna, 2008; Abdullah, 2015).
2.
Kedalaman
Kedalaman
disuatu perairan sangat penting untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan
kedalaman suatu perairan dapat mempengaruhi jumlah cahaya yang akan masuk ke
perairan dan ketersediaan oksigen di perairan tersebut, jika disuatu perairan
kekurangan cahaya masuk kedalamnya maka ikan tersebut akan stress, begitu juga
halnya dengan kandungan oksigen, biasanya diperairan dalam ketersediaan oksigen
lebih sedikit dibandingkan dengan perairan dangkal.
3.
Kecerahan
Menurut
Suyanto dan Mujiman (2002) dalam
Abdullah (2015) air untuk tambak udang seharusnya di ambil dari air payau yang
jernih, tidak keruh oleh lumpur. Menurut ketentuan batas kekeruhan yang
dianggap cukup adalah bila angka secchi disk
antara 25 - 45 cm. Kekeruhan disebabkan oleh zat-zat atau material terlarut
(tersuspsensi) seperti lumpur, senyawa organik dan anorganik, serta plankton
dan mikroorganisme. Dilapangan sering kali pengukuran dilakukan dengan secchi disk yang sekaligus mengukur
kecerahan air. Pengukuran umumnya dilakukan pada siang dan sore hari. Tingkat
kecerahan yang diharapkan untuk pembudidaya udang (plankton)
4.
Warna Air
Menurut Erlangga (2012) dalam Abdullah (2015), perubahan air
tambak umumnya menggambarkan ketidak stabilan lingkungan di dalam tambak. Warna
air tambak umumnya berbeda-beda tergantung dari populasi plankton yang hidup
dalam lingkungan tambak tersebut. Beberapa jenis warna air tambak yang
kemungkinan timbul selama proses pemeliharaan udang vannamei, yaitu :
a. Warna
hijau muda (Green water)
Umumnya tambak yang
memiliki warna hijau muda sudah dapat dipastikan memiliki persentasi
fitoplankton yang tinggi dan memiliki kecendrungan mengalami blooming plankton
dengan cepat. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya beberapa zooplankton yang
dapat di gunakan sebagai pakan alami untuk udang.
b. Warna
hijau biru (Blue green water)
Tambak yang memiliki
warna air hijau biru sering terjadi pada lingkungan tambak yang memiliki air
dengan tingkat kelarutan bahan organik dan suhu yang tinggi. Warna tersebut mencirikan
terjadinya dominasi alga hijau biru. Kondisi air seperti itu menimbulkan
masalah terhadap udang karena pada kondisi ini udang sering ditemukan memiliki
cangkang yang lunak, cangkang yang berwarna biru dan pertumbuhan yang
terhambat.
c. Warna
hijau kuning
Air tambak yang
berwarna hijau kuning sering ditumbuhi oleh beberapa alga yang berflagela
berwarna kuning keemasan dari genus Chalamydomonas, Rhodomonas, serta pavlopa.
Alga atauganggang tersebut bercampur dengan alga hijau sehingga menimbulkan warna
hijau kuning sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan udang vannamei.
Pada kondisi tersebut tingkat kelangsungan hidup sangat rendah, yaitu antara 45
- 55 %.
d. Warna
coklat tua
Tambak yang memiliki
air berwarna coklat tua biasanya sering ditumbuhi oleh plankton dari kelompok
dinoflagellata dengan persentase yang cukup tinggi. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh adanya penumpukan kandungan bahan organik yang terlalu tinggi
menjelang akhir periode pemeliharaan. Udang yang dipelihara pada kondisi ini
umumnya memiliki warna insang merah dan hitam serta memiliki insang yang
bengkak. Udang akan memiliki warna tubuh biru gelap, antena pendek dan
melingkar, tubuh bergelombang, ruas-ruas tubuh cenderung melengkung, serta
bagian ekor akan melipat.
e. Warna
coklat keputihan (Milky)
Tambak yang memiliki air berwarna
coklat keputihan akan dipenuhi oleh zooplankton dengan pertumbuhan yang tinggi.
Pada kondisi ini fitoplankton banyak dikonsumsi oleh zooplankton sehingga
populasi fitoplankton yang diharapkan tumbuh pada perairan tambak terhambat.
Hal ini akan menyebabkan kondisi lingkungan perairan tambak semakin buruk.
b. parameter
kimia
Air
yang digunakan untuk budidaya udang atau organisme perairan yang lain mempunyai
komposisi dan sifat-sifat kimia yang berbeda dan tidak konstan. Komposisi dan
sifat-sifat kimia air ini dapat diketahui melalui analisis kimia air, sehingga
apabila ada parameter kimia yang keluar dari batas yang telah ditentukan dapat
segera dikendalikan. Parameter kimia yang digunakan untuk menganalisis kualitas
air yaitu :
1.
Salinitas
Salinitas
merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang peranan penting karena
bias mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang muda yang berumur 1 - 2 bulan
memerlukan kadar garam 15 - 25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal. Setelah
umur lebih dari 2 bulan, pertumbuhan udang relatif baik pada salinitas antara 5
- 30 ppt. Pada kondisi tertentu, sumber air tambak bisa menjadi
hipersalin/kadar garam tinggi (diatas 40 ppt), hal ini sering terjadi pada musim
kemarau. Perubahan salinitas sering kali terjadi pada perairan tambak, terutama
pada musim penghujan. Fluktuasi salinitas pada tambak pembesaran tidak boleh
lebih dari 3 ppt, apabila kondisi tersebut terjadi, udang akan stress sehingga
nafsu makan udang menjadi menurun (Erlangga, 2008; Abdullah 2015).
2.
pH
Konsentrasi
ion hidrogen merupakan parameter kualitas air yang penting. Konsentrasi ion
hidrogen tersebut dinyatakan sebagai pH yang didefinisikan sebagai logaritma
negatif dari konsentrasi ion hidrogen. pH rendah mengindikasikan konsentrasi
ion hidrogen yang tinggi, sedangkan pH tinggi mengindikasikan konsentrasi ion
hidrogen yang rendah. Nilai pH berkisar antara 0 – 14. Air disebut asam jika
pH< 7, netral jika pH= 7, dan basa/alkali jika pH> 7. Udang mampu
mentolerir pH pada kisaran 7 – 9. Air yang terlalu asam (pH<6,5) dan air
yang terlalu basa (pH>10) dapat merusak insang udang dan mengganggu
pertumbuhan. Walaupun udang dapat hidup pada kisaran pH 7 – 9, tetapi pH
sebaiknya dijaga pada kisaran 7,2 – 7,8. Hal ini berkaitan dengan toksisitas
amonia, dimana toksisitas amonia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
pH. Pada pH kurang dari 7.8 fraksi amonia dalam total ammonia nitrogen
berkurang sekitar 5% dan pada pH lebih dari 9 sekitar 50% total amonia nitrogen
berada dalam bentuk ammonia (Yuniasari, 2009).
Nilai
pH yang normal untuk tambak udang berkisar sekitar 6 – 9. Nilai pH diatas 10
dapat mematikan udang. Sedangkan pH dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang
menjadi lambat. Khusus udang vannamei, kisaran pH yang optimum adalah 7,5 - 8,5
(Abdullah, 2015).
Menurut
Banun et al, (2007) menyatakan bahwa
pH berada pada kisaran yang menunjang budidaya udang dimana nilainya berkisar
antara 7,7 – 8,1. NO2 yang terdeteksi pada akhir budidaya >1 ppm. Kadar NO2
di petakan maksimal 0,1 ppm diatas nilai ini sudah dapat mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan udang. Data salinitas berada pada kisaran (15 – 21 ppt) yang
baik bagi pertumbuhan dan perkembangan udang. DO pada awal budidaya baik dan
cenderung terus menurun sampai akhir budidaya. DO optimal untuk udang adalah 3
– 6 ppm. Salinitas erat sekali hubungannya dengan kelarutan O2. Semakin tinggi
salinitasnya semakin rendah kelarutan O2. Untuk mengantisipasi salinitas tinggi
tambak I memiliki sumur air tawar yang dipakai untuk menurunkan salinitas.
Pengukuran PO4 berfluktuasi dan cenderung makin tinggi pada akhir budidaya,
kadar fosfor yang tinggi merugikan karena menyebabkan blooming plankton.
3.
Oksigen Terlarut (Dissolved oxygen)
Oksigen
terlarut merupakan variabel kualitas air yang sangat penting dalam budidaya
udang. Oksigen yang terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan untuk proses
respirasi (pernapasan) baik oleh tumbuhan air, udang maupun organisme lain.
Kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4 - 6 ppm. Rendahnya kandungan oksigen
terlarut dalam tambak sering terjadi pada priode musim kemarau yang tidak
berangin. Disamping itu pada malam hari dimana suhu menjadi rendah yang diikuti
meningkatnya aktivitas fitoplankton, sering mengakibatkan menurunnya kandungan
oksigen. Keadaan ini ditandai dengan mengambangnya udang (udang naik ke
permukaan air) (Abdullah, 2015).
Oksigen
dibutuhkan oleh udang untuk respirasi serta proses-proses fisiologi sel yang
berperan dalam pembentukkan energi yang dibutuhkan dalam proses metabolisme
nutrien dalam pakan. Oksigen yang terbatas akan menyebabkan kemampuan udang
untuk memetabolis pakan menjadi terbatas, penurunan laju pertumbuhan, serta
penurunan kemampuan mengkonversi pakan. Pertumbuhan dan nilai FCR yang baik
diperoleh ketika konsentrasi oksigen berada pada 80% saturasi. Konsentrasi
oksigen sebesar 5 ppm tidak akan mengakibatkan stres pada udang, tetapi
pemaparan konsentrasi oksigen rendah (< 1.5 ppm) pada waktu yang lama dapat
bersifat lethal (Yuniasari, 2009).
4.
Amoniak
Amoniak
merupakan senyawa yang juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan udang. Penyebab timbulnya
amoniak di dalam tambak adalah akibat adanya sisa bangkai hewan dan tumbuhan,
kotoran udang dan bahan organik lainnya (seperti ganggang) yang membusuk. Pada
konsentrasi diatas 0,45 ppm amoniak dapat menghambat pertumbuhan udang sampai
50%. Untuk menunjang pertumbuhan udang yang baik, amoniak yang terdapat dalam
air tambak tidak boleh lebih dari 0,1 ppm (Amri & Kanna, 2008; Abdullah,
2015)
5.
Nitrit dan Nitrat
Adanya
oksigen didalam air tambak akan mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat
(nitrifikasi). Jadi nitrat terbentuk akibat reaksi antara amonia dan oksigen
yang terlarut didalam air. Kadar nitrat yang diperbolehkan didalam air tambak
adalah dibawah 0,1 ppm. Sementara kadar nitrit yang diperbolehkan adalah tidak
lebih dari 0,5 ppm. Bila kadar nitrat dan nitrit yang terdapat di dalam tambak
melebihi batas tersebut, maka pengaruh negatif terhadap udang udang vannamei
yang dipelihara. Nitrit beracun bagi udang, karena mengoksidasi Fe2+
dalam hemoglobin, sehingga kemampuan darah untuk mengikat oksigen sanagt
rendah. Toksisitas dari nitrit yaitu mempengaruhi transport oksigen dalam darah
dan merusak jaringan. Kadar nitrat 6,4 ppm NO2-N dapat menghambat pertumbuhan
udang vannamei sebanyak 50% (Abdullah, 2015).
6.
Phospat
Phospat merupakan bentuk yang dapat
dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan. Karakteristik phospat sangat berbeda dengan
unsur-unsur utama lain yang merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak
terdapat di atmosfer. Diperairan bentuk phospat berubah secara terus menerus,
akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk
anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan phospat di perairan alam
biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar
nitrogen; karena sumber phospat lebih sedikit dibandingkan dengan sumber
nitrogen diperairan. Phospat mempunyai mobilitas yang sangat kecil. Didasar
tanah phospat mempunyai kedudukan yang stabil, sebab phospat tidak mudah
terbawa atau larut dalam air. Keberadaan phospat juga dipengaruhi pH peraian.
Dalam suasana basa jika pH lebih besar dari 7 maka phospat akan berikatan
dengan unsur kalsium (Ca) menjadi Ca3(PO4)2 dan akan mengendap. Sedangkan pada
suasana asam dimana pH kurang dari 6 maka phospat akan berikatan dengan Fe atau
Al juga akan mengendap (Abdullah).
c. parameter
biologi
1.
Plankton
Plankton
merupakan organisme yang memiliki peran penting dalam suatu perairan. Organisme
ini terdiri dari mikroorganisme yang hidupnya sebagai hewan (zooplankton) dan
tumbuhan (fitoplankton). Zooplankton adalah hewan-hewan laut yang planktonik
sedangkan fitoplankton terdiri dari tumbuhan laut yang bebas melayang dan
hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis. Fitoplankton mempunyai klorofil
yang dapat membuat makanan sendiri dengan mengubah bahan anorganik menjadi
bahan organik melalui proses fotosintesa. Fitoplankton hidup pada lapisan
perairan yang masih terdapat sinar matahari sampai pada suatu lapisan perairan
yang disebut garis kompensasi. Zooplankton umumnya bersifat fototaksis negatif
sehingga dapat hidup di lapisan perairan yang tidak terjangkau sinar matahari.
Zooplankton merupakan konsumen primer atau kelompok yang memakan fitoplankton.
Dengan sifat yang fototaksis negatif, zooplankton akan banyak terdapat di dasar
perairan pada siang hari dan akan ke permukaan perairan pada malam hari.
Komunitas organisme adalah sesuatu yang dinamis, populasi-populasi yang ada
didalamnya saling berinteraksi, mengalami variasi dari waktu ke waktu. Dinamika
plankton dipengaruhi oleh faktor fisika (suhu, intensitas cahaya), faktor kimia
(unsur hara), dan faktor biologis (kompetisi dan pemangsaan). Jenis plankton
yang berbeda mempunyai reaksi yang berbeda pula misalnya terhadap suhu dan intensitas
cahaya (Setiawan, 2013).
.
Menurut
Isdarmawan (2005), Kualitas air yang buruk seperti rendahnya kandungan oksigen,
kisaran fluktuasi pH dan salinitas yang sangat tinggi serta penumpukan limbah
beracun (baik internal maupun eksternal) dapat berakibat negatif terhadap
ketahanan tubuh udang dari serangan penyakit. Untuk menjaga kondisi pertumbuhan
udang yang normal, mutu air tambak harus dipertahankan seprima mungkin untuk
menjaga kualitas lingkungan budidaya, sehingga tidak menyebabkan stress
lingkungan pada udang yang dapat memacu berjangkitnya penyakit. Upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi timbulnya masalah tersebut antara lain
dianjurkan :
a.
Pergantian/sirkulasi
air secara berangsur-angsur (tidak dilakukan dalam jumlah besar dan sekaligus).
b.
Mengurangi sisa-sisa
pakan yang dapat menjadi sumber toksik/racun seperti kadar amonia yang
berlebihan.
c.
Pemberian pakan
disesuaikan dengan kondisi kemampuan udang mengkonsumsi habis pakan yang
diberikan.
d.
Mereduksi produk
metabolism udang yang beracun seperti sulfida, amoniak dan nitrit dengan
pemberian probiotik. Obat probiotik ini dapat membantu proses
dekomposisi/penguraian bahan beracun menjadi bahan yang tidak membahayakan
kesehatan udang.
e. Pemberian
kapur pertanian (CaCO3) atau kapur dolomit untuk menstabilkan pH dan
alkalinitas air.
3.3.2 Pengelolaan Kualitas Air
Cara
mengelola kualitas air menurut Balio dan Tookwinas (2003) adalah sebagai
berikut :
1.
Salinitas atau kadar
garam Penambahan atau pergantian air tidak boleh mengubah salinitas harian
secara drastis lebih 3 ppt untuk menghindari stres pada udang. Amati salinitas
menggunakan salinometer atau hand refraktometer. Perhatikan musim untuk menjaga
salinitas. - Pada musim kemarau dapat dilakukan penambahan air tawar 2-5 % per
hari untuk mengurangi peningkatan salinitas. - Pada saat musim hujan maka
dibuat mekanisasi air hujan akan keluar dari tambak sehingga salinitas tidak
berubah secara
2.
Suhu Untuk mempertahankan kestabilan suhu
dapat dilakukan dengan mengatur kedalaman air sekitar 70-80 cm dan
memperhatikan kepadatan plankton. Pada saat kepadatan plankton tinggi
(kecerahan kurang dari 30 cm) pada siang hari, lakukan penurunan kedalaman air
hingga 60-70 cm atau dengan konsep 2 kali nilai kecerahan air. Pengaturan
kedalaman air berdasarkan nilai kecerahan dengan tujuan agar terjadi penetrasi
cahaya dalam air untuk menjaga suhu air pada bagian dasar tambak.
3.
Kecerahan dan warna air
Warna air menunjukan jenis plankton yang dominan dalam air. Warna air yang baik
adalah hijau muda dan hijau kecoklatan yang menunjukkan dominasi plankton
chloropiceae dan diatom. Air yang sehat menunjukkan warna air stabil antara
pagi hari dan sore hari. Warna air yang tak stabil (berubah-ubah) antara pagi
dan sore menunjukkan plakton didominasi jenis zooplankton, yang kurang baik
untuk pemeliharaan udang. Kecerahan air dipertahankan pada kisaran 30-40 cm.
Jika kepadatan plankton kurang yaitu kecerahan > 45 cm, lakukan pemupukan
susulan. Gunakan pupuk organik komersial dengan kandungan nutrien lengkap,
dosis 0,2-0,5 ppm (2-5 liter/kg) atau anorganik dengan dosis 2-3 ppm (20-30 kg/ha).
Pemupukan susulan dapat dilakukan 5-7 hari seklai hingga plankton tumbuh.
Sebaliknya bila plankton padat (kecerahan
4.
Oksigen terlarut
Oksigen terlarut dalam air tambak harus dipertahankan minimal 3 ppm. Pengamatan
oksigen terlarut terutama dilakukan pada malam hari hingga pagi hari. Apabila
pada malam hari oksigen sudah mencapai 3 ppm maka perlu dilakukan aerasi.
Aerasi dapat dilakukan dengan menggunakan pompa air, yaitu memasukkan air dari
petak tandon atau penyedot air dari petak udang disemprotkan kembali. 5.
Keasaman atau pH Pengamatan pH air tambak menggunakan pH meter dilakukan tiap
hari pada waktu pagi sekitar jam 05.00 (matahari belum bersinar) dan sore
sekitar jam 16.00. Nilai pH air tambak sangat mempengaruhi seluruh proses kimia
dalam air. pH air dipertahankan pada kisaran yang optimum yaitu 7,5-8,5 dengan
fluktuasi harian pagi dan sore dari 0,2-0,5. Bila pH air turun dari 7,5,
lakukan penambahan kapur dengan dosis 3-5 ppm. Sebaliknya bila pH air tinggi
diatas dilakukan aplikasi molase (tetes tebu) dengan dosis 2-3 ppm.
5.
Alkalinitas Alkalinitas
bisa diamati tiap 2 minggu sekali. Nilai alkalinitas dipertahankan pada kisaran
80 ppm. Nilai alkalinitas yang rendah menyebabkan sulitnya menumbuhkan plankton
dan fluktuasi nilai pH air harian pagi dan sore tinggi (>0,5). Nilai
alkalinitas rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan carbonat dengan
aplikasi kapur dolomit 3-5 ppm yang dilakukan tiap 3-5 hari sekali hingga
mencapai minimal >80 ppm. Penggunaan kapur dolomit lebih baik karena tidak
menaikan pH air secara dratis.
3.4 Manajemen
Penyakit Ikan
Dalam sistem budidaya
udang vanname banyak hal yang perlu diperhatikan guna mencapai nilai produksi
yang maksimal, salah satu faktor yang cukup penting adalah bagaimana manajemen
wabah penyakit termasuk hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan, menjauhkan
dari hama penyakit, menghindari patogen, serta hal yang harus dilakukan atau penanganan
seandainya kultivan budidaya terjangkit penyakit. Banyak faktor yang menyebabkan
keberhasilan budidaya udang namun banyak juga faktor yang menyebabkan kegagalan
budidaya. Penyebab kegagalan di tambak secara umum disebabkan oleh
serangan penyakit, penurunan kualitas lingkungan, kualitas benur, manajemen budidaya yang tidak tepat. Secara
keseluruhan manajemen penyakit di tambak membutuhkan langkah cepat dan positif
untuk mempertahan dan meningkatkan nilai produksi karena melihat dampak yang
akan terjadi semisal tidak ditangani dengan cepat. Probiotik bisa dilakukan
sebagai salah satu langkah awal menangani masalah ini selain ada hal lain yang
bisa dilakukan dalam manajemen penyakit. Menurut Khasani (2007) yang menyatakan
bahwa dampak lanjut yang ditimbulkan adalah serangkaian serangan penyakit yang
menimbulkan kerugian besar. Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi
budidaya dengan berpedoman pada kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi
untuk mencegah kerusakan yang lebih serius. Diantara langkah tersebut adalah
melalui aplikasi probiotik yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan
kualitas anir dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen guna
terciptanya sistem budidaya perikanan yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Selain itu Perikanan WWF Indonesia
(2014) menerangkan bahwa pengendalian hama dan penyakit dilakukan sejak
persiapan tambak, pemasukan air, pemilihan benur, dan selama pemeliharaan.
Aktivitas penting yang perlu dilakukan adalah monitoring rutin terhadap kesehatan
udang, kualitas air, dan tindakan pencegahan.
Beberapa faktor
penyakit yang terjadi dalam sistem budidaya disebabkan oleh virus dan bakteri,
dsb. Salah satu penyakit yang sering terdengar menjangkit udang adalah white
spot. Hal ini dijelaskan oleh Wang & Chang (2000) mengemukakan, bahwa
penyakit virus berdampak serius terhadap sustainabilitas dan ekonomi industri
budidaya udang. Penyakit virus yang mula pertama terjadi pada budidaya udang
windu di Indonesia adalah penyakit infeksi oleh MBV (monodon baculovirus
disease), diikuti penyakit virus lainnya seperti HPVD (hepatopancreas
parvo-like virus disease), YHD (yellow head baculovirus disease) dan
sejak tahun 1995 mewabah penyakit oleh WSV (white spot baculovirus).
Malahan, hingga kini, penyakit white spot sangat masih tetap
mempengaruhi keberhasilan budidaya udang windu dan menghantui petambak.
Penyakit white spot ini merupakan
penyakit yang menyebabkan kegagalan panen dengan morbiditas dan mortalitas
tinggi mencapai 100%. Penyakit ini dapat berjangkit baik di pembenihan maupun
di tambak pembesaran. Selain itu juga dijelaskan dalam DEPDIKNAS (2004) bahwa
Jenis penyakit yang menyerang udang dapat dikelompokkan menjadi penyakit viral,
bacterial, kelompok fouling disease
dan penyakit karena factor nutrisi.
1. Viral
Muncul dan mewabahnya
penyakit viral sangat terkaitdengan kondisi lingkungan. Factor pemicu timbulnya
wabah virus ini disebabkan karena :
a. Pencemaran pestisida di perairan
b. Perubahan kualitas air yang mendadak
c. Udang stress
Penyakit yang banyak menyerang udang dan
sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup udang adalah :
White
Spot Baculovirus ( SEMBV )
Ciri – ciri :
a.
Ditandai dengan terbentuknya bercak putih seperti panu
pada bagian Cephalothorax ( kepala )
b. udang berenang ke
tepi dekat pematang, lemas dan kehilangan
nafsu makan.
2. Bakterial
Di dominasi oleh genus
vibrio sp, diantaranya :
·
Kunang-kunang (
luminous ) pada larva
Ciri-ciri
: bila dilakukan pengamatan di ruangan gelap udang akan terlihat menyala.
·
Nekrosis
Ciri-ciri
:
-
Putusnya organ eksternal dengan warna kehitamanpada sekitar organ yang putus
misalnya ekor kipas.
-
Daging berwarna kehitaman.
3. Fouling disease
(Penyakit penempel)
Yaitu pengelompokkan
penyakit berdasarkan penampilan udang yang tidak menarik, karena kulitnya
seperti berlumut dan insang berwarna hitam. Biasanya menyerang pada udang yang
mengalami kegagalan moulting dan pertumbuhan terhambat. Penyebabnya adalah dari
golongan alga dan protozoa, terjadi karena adanya peningkatan populasi yaitu
peningkatan bahan organic dan peningkatan detritus melayang dalam air.
4. Penyakit
insang hitam
Ciri-ciri : Warna
insang udang hitam / kecoklatan. Organisme penyebab penyakit ini adalah
protozoa, jamur dan alga, dan faktor pemicu timbulnya penyakit ini adalah :
a. Ransum kurang
vitamin C
b. Manajemen kualitas lingkungan yang
kurang baik
c. Pertumbuhan alga yang terlalu padat (
Blooming )
Banyaknya
potensi hama dan penyakit yang dapat terjadi dalam sistem budidaya udang, maka
perlu adanya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit pada beberapa
stadia udang vannamei, salah satunya
pada larva udang vaname dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan
pencegahan dan pengobatan. Peran probiotik dapat membantu mencegah masalah ini
terjadi. Probiotik dapat memberikan efek baik atau kesehatan pada organisme
lain/inangnya beberapa contoh pada makanan suplemen diet yang mengandung bakteri
berguna dengan asam laktat bakteri (lactic
acid bacteria – LAB) sebagai mikroba yang paling umum dipakai. Menurut Khasani (2007) yang
menyatakan bahwa diantara langkah tersebut adalah melalui aplikasi probiotik
yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kualitas air dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme patogen guna terciptanya sistem budidaya perikanan
yang berkelanjutan (sustainable
aquaculture). Hal senada dijelaskan tentang pencegahan hama dan penyakit
dalam Subaidah et al. (2006) bahwa upaya pencegahan yang dapat dilakukan
untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit antara lain adalah dengan
menerapkan sistem biosecurity. Selama kegiatan penelitian, upaya menjaga
kesehatan larva dilakukan dengan cara mengelola kualitas air dan penerapan biosecurity
serta strerilisasi terhadap semua peralatan yang digunakan. Penerapan biosecurity
dilakukan dengan cara menempatkan cuci kaki (foot bath) pada setiap
pintu masuk ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan
sterilisasi ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan.
Setelah larva memasuki stadia Mysis-1, jenis penyakit yang sering mewabah
adalah jenis Zoothamnium sp dari golongan protozoa dengan gejala gerakan
lemah dan kebanyakan larva berada di atas permukaan air. Tetapi selama
peneliatian ini berlangsung, tidak ditemukan adanya penyakit pada larva
udang. Selain itu dijelakan pencegahan Hama dan Penyakit dijelaskan oleh Perikanan
WWF Indonesia (2014) :
·
Tidak membuang dan
mengganti air apabila udang yang dipelihara diketahui terkena virus. Tindakan
ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ke perairan umum dan tambak lainnya.
·
Tumbuhan air yang
diambil dari petakan tambak, tidak dibuang ke petak lain atau perairan umum
karena dikhawatirkan dapat menyebarkan penyakit.
·
Udang yang sakit atau
mati segera dikeluarkan dari tambak dan dicelupkan ke larutan formalin,
selanjutnya dikubur di luar area petakan tambak.
·
Menerapkan biosecurity pada seluruh kegiatan dan
area pertambakan, yaitu :
a.)
Menyiapkan bak
sterilisasi bagi manusia yang ingin masuk ke area tambak,
b.)
Membatasi akses manusia
dan hewan pembawa penyakit, antara lain kepiting, burung, dan hewan lainnya
untuk masuk ke area tambak dengan pembuatan pagar pembatas dari jaring ke
sekeliling tambak.
c.)
Pengendalian hewan
berupa burung dapat dilakukan dengan membuat penghalau berupa tali senar di
atas tambak.
IV.PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan
makalah yang telah disusun dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a.
Menejemen wadah tambak udang terbagi menjadi 4, yaitu pengeringan,
pengapuran, pemberantasan hama, serta pemupukan dan pengisian air.
b.
Manajemen kualitas air
adalah merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi lingkungan sehingga berada
dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan udang.
c.
Penyediaan pakan alami bagi udang banyak dilakukan pada kegiatan
budidaya pola tradisional dengan karakteristik padat penebaran rendah dan
penggunaan teknologi budidaya sangat minim.
d.
Udang yang dijadikan sebagai
induk udang yang baik dan subur pertumbuhannya dan sebaiknya bersifat SPF
e.
Keunggulan udang putih adalah
dapat meresistensi terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang.
4.2. Saran
Berdasarkan
makalah yang telah disusun dapat diperoleh saran sebagai berikut
a.
Sebaiknya padat
penebaran pada larva di usahakan tidak terlalu tinggi guna mencegah tingkat
kematian larva udang vanameakibat kanibalisme dan kompetitor.
b.
Sebaiknya
kualitas air diperiksa secara rutin. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
penyakit secara dini sehingga cepat ditanggulangi
c.
Sebaiknya jumlah
pakanyang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan udang yang dipelihara.
Pemberian pakan yang tidak sesuai dapat menghambat pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
V. 2015. Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) Di Berbagai Tipe Tambak Tradisional Desa Lekong Kecamatan Alas
Barat, Sumbawa. [Tesis] Universitas Sebelas Maret Surakarta
Akbaidar,
G A. 2013. Penerapan Manajemen Kesehatan Budidaya Udang
Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di Sentra Budidaya Udang Desa Sidodadi Dan Desa Gebang Kabupaten Pesawaran.[Skripsi]
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Amrillah,
Attabik Mukhammad, Sri Widyarti, Yuni Kilawati. 2015. Dampak Stres Salinitas Terhadap Prevalensi White Spot Syndrome
Virus (WSSV) dan Survival Rate Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Journal
of Life Science, 2(1) : 110-12.
Andriyanto,
F., Dr. Ir.Anthon Efani, dan Dr. Ir. Harsukoriniwati, Mp. 2013. Analisis Faktor-Faktor Produksi Usaha
Pembesaran Udang Vanname (Litopenaeus Vannamei) Di Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan Jawa Timur ; Pendekatan Fungsi Cobb-Douglass. Jurnal Ecsofim.
1(1): 82
Arinardi, T. Sumijo, H. R, dan Elly A. 1996. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton
Predominan di Perairan Kawasan Tengah Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta.
Banu.
S, Wayan dan Wayan, S. 2007. Kajian Ekologis Pengelolaan Tambak
Udang Di Dusun Dangin Marga Desa Delodbrawah Kecamatan Mendoyo Kabupaten
Jembrana Bali.3(1):10-15
Banun, S., W. Arthana dan W. Suarna. 2008. Kajian Ekologis Pengelolaan
Tambak Udang di Dusun Dangin Marga Desa Delodbrawah Kecamatan Mendoyo Kabupaten
Jembrana Bali. Ecotrophic. 3(1):10 -15.
Darmawan, B. D. 2008. Pengaruh Pemupukan Susulan
terhadap Kualitas Media dan Proses Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) pada Tambak Tradisional Plus. AKUATIK
4(2):1-5.
Balio, D danTookwinas
S. 2003. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah
Mangrove (Best Management Practice for a
mangrovefriendly shrimp farming), Aquaculture Departmen, South East Asian
Fisheries Development Center,
DEPDIKNAS.
2004. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pada Pembesaran Udang. Edisi 2004.
Isdarmawan, N. 2005. Kajian
Tentang Pengaturan Luas dan
Waktu Bagi Degradasi Limbah Tambak Dalam Upaya Pengembangan Tambak Berwawasan
Lingkungan Di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan. [Thesis]. Universitas Diponegoro. Semarang
Khasani, I. 2007.
“Aplikasi probiotik menuju system budidaya perikanan berkelanjutan”, Media
Akuakultur, 2(2): 86-90
Lawaputri, A. T. 2011.
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Udang Vannamei Intensif di
Kabupaten Takalar. [Skripsi]. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Makassar
Manoppo, Henky. 2011. Peran Nukleotida Sebagai
Imunostimulan Terhadap Respon Imun Nonspesifik Dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). [Skripsi]. Intitut Pertanian Bogor.
Perikanan WWF
Indonesia. 2014. Budidaya Udang Vannamei. WWF-IndonesiaVersi 1
Panjaitan, A. S., W. Hadie dan Sri Harijati. 2014. Pemeliharaan
Larva Udang vaname (Litopenaeus Vannamei, Boone 1931)
Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal
Manajemen Perikanan dan Kelautan. 1(1)
Sa’adah, W. 2010. Analisa Usaha Budidaya Udang Vannamei (Lithopenaeus vannamei) dan
Ikan Bandeng (Chanos-chanos Sp.) di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan
Kabupaten Lamongan Jawa Timur. GROUPER 1(1):24-30.
Subaidah, S. Susetyo P. Mizab A., Tabah I., Gede S., Detrich N. dan Cahyaningsih, S. (2006). Pembenihan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).
Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo Hlm 33 – 40.
Tenriulo A, Tonnek B,
Tampangallo BR, Widodo AF dan Parenrengi A. 2010. Analisis ekspresi gen
Antivirus PmAV pada udang windu, Penaeus monodon yang ditantang dengan
WSSV. Jurnal di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Makassar, Hal.
541-546.
Wahyudi, A. I., U. K. Pangerang, dan A. Mustafa. 2013. Evaluasi
Kesesuaian Lingkungan pada Kawasan Tambak di Kecamatan Kolono Kabupaten Konawe
Selatan. Jurnal Mina Laut Indonesia. 2(6):(1-13)
Wang, Y.C. & P.S.
Chang. 2000. Yellow head virus infection in giant tiger prawn Penaeus
monodon cultured in Taiwan. Fish Pathology, 35(1) p: 1-10.
Wickins JF, Lee DOC.
2002. Crustacean farming ranching and culture. Second edition. Blackwell Science Ltd, London:
9-25.
Zakaria, Ayudhia
Savitri. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di
Tambak Udang Binaan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Pamekasan. [PKL] Universitas Airlangga.
0 komentar:
Posting Komentar