Manajemen Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Tambak Tradisional

Jumat, 16 Maret 2018


I. PENDAHULUAAN


1.1.    Latar Belakang
Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025. Meningkatnya populasi penduduk dunia akan berpotensi meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, diantaranya untuk pemenuhan kebutuhan bahan pangan. Udang dan produk perikanan lainnya berpeluang besar menjadi salah satu sumber bahan pangan karena memiliki nilai protein tinggi, micronutrient penting dan keseimbangan nutrisi bagi kesehatan manusia.
Budidaya secara harfiah berarti pemeliharaan. Dalam konteks perikanan, berarti kegiatan pemeliharaan segala jenis sumber daya perikanan yang dilakukan oleh manusia dalam lingkungan terkontrol untuk tujuan kesejahteraan manusia. Usaha budidaya perikanan baik itu budidaya tawar, payau maupun laut tidak dapat dilakukan semaunya atau disembarang tempat. Beberapa hal harus diperhatikan jika menginginkan keberhasilan usaha budidaya. Salah satunya yaitu harus mengetahui evaluasi kelayakan lahan untuk budidaya perairan. Sebagai langkah awal budidaya adalah pemilihan lokasi budidaya yang tepat. Pemilihan dan penentuan lokasi budidaya harus didasarkan pertimbangan aspek – aspek meliputi aspek tanah aspek ekologis, aspek biologis, dan asprk social ekonomi , sehingga hatus disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan biota yang akan dibudidaya.
Udang merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan produksinya mampu menambah devisa bagi negara dari sektor perikanan. Secara komersial budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sekitar tahun 1980 kemudian pada tahun 1984 mulai dibudidayakan secara intensif yang diawali di Jawa Timur. Produksi udang terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen dunia terutama dari negara-negara Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat. Meningkatnya jumlah produksi udang Indonesia telah membawa nama negara ini sebagai salah satu negara terbesar pengekspor udang di dunia setelah Thailand, Equador, India, dan RRC. Adapun jenis udang yang dikembangkan hampir 80% berasal dari famili Penaeidae yaitu Pacific White Shrimp dan Giant Tiger Prawn (Wickins & Lee 2002).
Kegiatan budidaya udang di Indonesia dengan komoditas utama yaitu udang windu (Penaeus monodon), berkembang sangat pesat dengan menerapkan sistem budidaya secara intensif dan telah menghasilkan devisa negara yang cukup besar.Budidaya udang windu mengalami berbagai kasus kematian sejak tahun 1990-an, baik akibat dari lingkungan yang kurang mendukung maupun adanya serangan penyakit seperti bakteri dan virus (Tenriulo et al., 2010). Kondisi tersebut membuat banyak petambak mulai beralih ke budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Udang vannamei memiliki banyak keunggulan seperti relatif tahan penyakit, produktivitasnya tinggi, waktu pemeliharaan relatif singkat, tingkat kelangsungan hidup (survival rate) selama masa pemeliharaan tinggi dan permintaan pasar terus meningkat.

1.2     Tujuan, Rumusan Masalah  Dan  Manfaat
a.       Tujuan :
1.      Mengetahui konstruksi wadah budidaya udang vaname secara tradisional
2.      Mengetahui manajemen penyakit budidaya udang vaname secara tradisional
3.      Mengetahui manajemen kualitas air pada budidaya udang vaname secara tradisional
b.      Rumusan Masalah :
1.      Bagaimana konstruksi wadah budidaya udang vaname?
2.      Bagaimana cara manajemen penyakit budidaya udang vaname?
3.      Bagaimana cara manajemen kualitas air budidaya udang vaname?
  
II. TINJAUAN PUSTAKA

            Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan ekonomis penting dikarenakan secara umum peluang usaha budidaya udang vaname tidak berbeda jauh dengan peluang usaha udang jenis lainnya. Sebab pada dasarnya udang merupakan komoditi ekspor andalan pemerintah dalam menggaet devisa.

2.1.    Klasifikasi Udang Vannamei
          Haliman dan Adijaya (2005) dalam Zakaria (2010) menyatakan bahwa udang vannamei memiliki nama atau sebutan yang beragam di masing-masing negara, seperti whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blances (Perancis) dan camaron patiblanco (Spanyol). Udang putih pasifik atau yang dikenal dengan udang vannamei digolongkan dalam :
Kingdom          : Animalia
Sub kingdom   : Metazoa
Filum               : Arthropoda
Sub filum        : Crustacea
Kelas               : Malacostraca
Sub kelas         : Eumalacostraca
Super ordo       : Eucarida
Ordo                : Decapoda
Sub ordo          : Dendrobranchiata
Famili              : Penaeidae
Genus              : Litopenaeus
Spesies            : Litopenaeus vannamei

2.2.    Distribusi Habitat dan Udang Vannamei
          Udang vaname tersebar di bagian timur pantai Pasifik Amerika Tengah dan Selatan dari Mexico sampai Peru, dimana daerah-daerah tersebut memiliki temperatur di atas 20o C sepanjang tahun. Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang ini telah tersebar keseluruh dunia. Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang vaname dapat beradaptasi pada salinitas yang rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai udang paling banyak dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah dimana udang ini dapat beradaptasi (Elovaara, 2001 dalam Manoppo, 2011).

2.3.    Biologi Udang Vannamei
Udang vannamei atau biasa juga di sebut udang putih merupakan udang yang saat ini banyak di budidayakan di Indonesia. Seperti namanya, udang ini memiliki warna putih dengan tubuh berbuku-buku dengan dua bagian utama yaitu bagian kepala dan dada yang menjadi satu (chepalothorax) serta bagian tubuh (abdomen) dan ekor. Udang ini untuk dapat tumbuh udang ini berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Menurut Abdullah (2015), udang vannamei atau sering disebut pula udang putih merupakan udang yang masuk kedalam family Penaidae. Anggota family ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur dikeluarkan oleh udang betina. Bentuk tubuh dari udang ini yaitu terbagi menjadi dua bagian antara lain bagian kepala dan dada (chepalothorax) serta bagian badan (abdomen) dan ekor.
Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi lima pasang kaki berjalan (periopoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Kaki udang vannamei berfungsi pula untuk mengambil makanan dan memasukanya kedalam mulut. Pada bagian belakang yaitu pada bagian tubuh dan ekor, udang vannamei memiliki kaki renang (pleopoda) yang berjumlah lima pasang di bawah tubuhnya. Bagian ekor terdapat uropod dan telson yang dapat digunakan untuk membantu mendorong tubuh udang saat melompat. Menurut Abdullan (2015), bagian-bagian tubuh udang vannamei terdiri dari rostum, sepasang mata, sepasang antenna, sepasang antenula, tiga buah maxiliped, lima pasang kaki jalan (periopoda), lima pasang kaki renang (pleopoda), sepasang telson dan uropoda. Udang vannamei mempunyai telson yang menyerupai lengan pada bagian ujung chepalothorax di atas mata dan antenula.
Udang vannamei atau udang putih (Litopenaeus vannamei) semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala bangkai (omnivorusscavenger) atau pemakan detritus. Usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah merupakan omnivora, namun cenderung karnivora yang memakan crustacea kecil dan polychaeta. Udang ini termasuk udang yang bersifat nocturnal atau aktif di malam hari dan bersifat kanibal saat kekurangan pakan atau makanan. Udang vannamei mempunyai toleransi terhadap salinitas yang cukup baik dan dapat bertahan hidup pada salinitas tinggi maupun salinitas rendah. Menurut Amrillah et al. (2015), salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang memegang peranan penting terhadap pertumbuhan dan sintasan pada udang. Konsumsi makanan dan efisiensi konversi pakan yang merupakan komponen utama pada pertumbuhan dan kelulushidupan dari udang dipengaruhi oleh salinitas dan atau temperature. Udang vannamei memiliki kemampuan osmoregulasi yang tinggi, sehingga berhasil dibudidayakan dalam kondisi salinitas rendah (2 ppt) sampai tinggi (40 ppt). Perubahan terhadap salinitas air menyebabkan perubahan metabolisme hemolim selama proses infeksi virus berlangsung, sehingga dapat mengurangi peran imunokompetensi dan meningkatkan kerentanan udang terhadap bakteri pathogen.

III . PEMBAHASAAN


3.1     Persiapan Wadah
Menurut Wahyudi et al. (2013), tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir Umumnya manajemen tambak yang berada di Indonesia dilakukan mulai dari pembesaran dan masa panen, sedangkan untuk bibit diperoleh dari penjual atau tangkapan langsung dari alam. Teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan tambak terdiri atas tiga tipe tambak yakni tambak tradisional, tambak semi intensif dan tambak intensif. Indonesia sejak lama menggunakan teknologi tradisional dan semi intensif, namun sejak tahun 1986, pemerintah mengupayakan agar seluruh tambak yang ada dikelola secara intensif.
Menurut Banun et al. (2008), manajemen di dalam budidaya tambak udang merupakan serangkaian kegiatan operasional yang dilakukan dalam masa pembesaran udang (on growing). Tingkatan teknologi manajemen budidaya bisa dibedakan atas super intensif, intensif, semi intensif dan ekstensif (tradisional).

Tabel 2. Manajemen Budidaya Berdasarkan Tingkat Teknologi yang digunakan
Kegiatan
Super intensif
Intensif
Semi intensif
Tradisional
Padat tebar
> 500 e/m2
80 -125 e/m2
30 – 80 e/m2
< 10 e/m2
Kincir
Super case
Setiap 3 kincir untuk 125.000 ekor
Setiap 3 kincir untuk 125.000 ekor
Tanpa kincir
Persiapan lahan
-  angkat lumpur
-  pengeringan
-  pengolahan tanah dasar
-  pengapuran
-  pemberantasan hama
-  pemupukan
-  angkat lumpur
-  pengeringan
-  pengolahan tanah dasar
-  pengapuran
-  pemberantasan hama
-  pemupukan
-  angkat lumpur
-  pengeringan
-  pengolahan
-  tanah dasar*
-  pengapuran
-  pemberantasan hama
-  pemupukan*
-  pengeringan
-  pengapuran
-  pemberanta-san hama*
Dasar petakan
Biasanya Plastik atau semen
Tanah/semen
Tanah
Tanah

Lanjutan Tabel 2. Manajemen Budidaya Berdasarkan Tingkat Teknologi yang digunakan
Kegiatan
Super intensif
Intensif
Semi intensif
Tradisional
Manajemen
kualitas air
Pengukuran untuk mendapat kan data akurat sebagai acuan untuk treatmen harian petakan kualitas air,
bakteri dan patologi
Beberapa parameter kualitas air dianalisa rutin : pH, Salinitas, PO4, NO2, plank-ton dan NH4
Beberapa parameter kualitas air dianalisa rutin : pH, Salinitas, PO4, NO2, plankton dan NH4
Berdasarkan
warna air yang terjadi kalau sudah pekat biasanya petani akan  memasukan air untuk sirkulasi
Strategi
Pemberian
pakan
Dikontrol Berdasarkan jam pakan dan kontrol anco dimana penambahan/
pengurangan
pakan dilakukan/jam pakan
Dikontrol Berdasarkan jam pakan dan kontrol anco dimana penambahan/pengurangan pakan dilakukan per jam pakan
Dikontrol Berdasarkan jam pakan dan kontrol anco dimana penambahan/
pengurangan
pakan dilakukan per jam pakan
Pakan (pellet/rucah)
diberikan hanya setelah udang berumur ± 1 bln
Pembersihan
kotoran
Saluran buang di tengah dasar petakan dan setting
kincir yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah petakan selain pintu outlet yang bisa diatur untuk buang air atas dan bawah bahkan disipon (kotoran disedot dari atas)
Biasanya punya saluran buang ditengah dasar petakan dan setting kincir yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah petakan selain outlet yangbisa diatur untuk buang air atas dan bawah
Biasanya punya saluran buang di tengah dasar petakan dan setting kincir yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah petakan
Hanya punya pintu outlet yang sederhana untuk panen
Lanjutan Tabel 2. Manajemen Budidaya Berdasarkan Tingkat Teknologi yang digunakan
Kegiatan
Super intensif
Intensif
Semi intensif
Tradisional
Aktivitas Panen
Mudah dan bisa kapan saja
Mudah dan bisa kapan saja
Mudah dan bisa kapan saja
Tegantung tinggi air
sungai

Manajemen tambak udang secara ekstensif (tradisional) cenderung lebih mudah dilakukan karena tidak memiliki persyaratan tertentu. Pada persiapan lahan sendiri, menejemen tambak udang terbagi menjadi 4, yaitu pengeringan, pengapuran, pemberantasan hama, serta pemupukan dan pengisian air.
1.             Pengeringan
Air dalam tambak dibuang, ikan-ikan liar diberantas dengan saponin, genangan air yang masih tersisa di beberapa tempat harus di pompa keluar. Selanjutnya tambak dikeringkan sampai retak-retak kalau perlu dibalik dengan traktor sehingga H2S menghilang karena teroksidasi. Pengeringan secara sempurna juga dapat membunuh bakteri patogen yang ada di pelataran tambak. Hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), Pengeringan untuk menguapkan gas-gas toksik; menambah kadar oksigen pada tanah dasar tambak; dan membunuh hama pengganggu seperti trisipan, tritip, lumut, ikan-ikan liar, dan lain-lain.
Menurut Saadah (2010), sebelum benih ditebar di tambak, tanah tambak diolah lebih dahulu. Adapun pengolahan tambak adalah petakan tambak mula-mula dikeringkan dan lumpurnya dikeluarkan untuk mempertinggi dan menutupi kebocoran dari pematang selanjutnya tanah dibajak. Setelah selesai pengolahan, tambak dikeringkan sampai retak-retak +15 hari tergantung cuaca. Selama proses pengeringan dilakukan kegiatan perbaikan pematang pembersihan caren dan pematang dasar tambak.
2.             Pengapuran
Untuk menunjang perbaikan kualitas tanah dan air dilakukan pemberian Kapur Bakar (CaO), 1.000 kg/ha, dan Kapur Pertanian sebanyak 320 kg/ha. Selanjutnya masukkan air ke petakan sehingga tambak menjadi macak-macak. Hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), Pemberian kapur dilakukan setelah pengeringan dilakukan. Tanah dalam keadaan macak-macak saat diadakan pengapuran. Kapur yang digunakan adalah kapur bakar (CaO) dengan dosis tertentu. Pengapuran dilakukan agar ion Al3+ penyebab asam digantikan oleh ion Ca2+ sehingga pH dasar tambak meningkat.
3.             Pemberantasan Hama
Pemberantasan hama ikan-ikan liar dapat memakai Saponin 15-20 ppm (15-20kg/ha tinggi air tambak 10 cm). Setelah pemberian saponin dilakukan, didiamkan selama 24 jam atau 1 hari. Hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), pemberian saponin setelah pengapuran dilakukan agar hama yang masih hidup setelah pengeringan terbunuh. Saponin diberikan dengan dosis 30 ppm dan dilakukan pada siang hari agar reaksi saponin berlangsung cepat.
4.             Pemupukan dan pengisian Air
Menurut Darmawan (2008), pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik dengan dosis 1500 kg/Ha dan diikuti dengan pemberian UREA dengan dosis 70 kg/Ha dan TSP dengan dosis 35 kg/Ha. Setelah dipupuk, pengisian air dilakukan sampai tinggi air mencapai 50 cm.
Pengisian air dilakukan setelah seluruh persiapan dasar tambak telah rampung dan air dimasukkan ke dalam tambak secara bertahap. Ketinggian air tersebut dibiarkan dalam tambak selama 2-3 pekan sampai kondisi air betul-betul siap ditebari benih udang. Tinggi air di petak pembesaran diupayakan ≥1,0 m. hal ini diperkuat oleh Darmawan (2008), selang 1 – 3 hari kemudian plankton tampak tumbuh di setiap petakan tambak dan benih siap untuk ditebar. Proses persiapan lahan ini membutuhkan waktu selama 2 minggu.

3.2     Manajemen Pakan Alami
Budidaya udang vannamei  atau udang putih (Litopenaeus vannamei) ditambak tradisional pasti masih memerlukan ketersediaan pakan alami yang sebagai bahan pangan dari udang vannamei itu sendiri. Meskipun masih dalam skala tradisional, menejemen pakan alami masih harus dilakukan untuk menunjang pertumbuhan dan kebutuhan hidup udang vannamei. Penyediaan pakan alami bagi udang banyak dilakukan pada kegiatan budidaya pola tradisional dengan karakteristik padat penebaran rendah dan penggunaan teknologi budidaya sangat minim. Program pemberian pakan pada budidaya dengan pola ini lebih banyak tergantung dan mengandalkan ketersediaan pakan alami yang ada di dalam tambak, sedangkan penggunaan pakan buatan terbatas pada pakan yang dibuat sendiri dengan frekuensi pemberian pakan sangat terbatas. Hal ini dinyatakan oleh Andriyanto et al. (2013), Persiapan tambak biasanya dilakukan Pemupukan yang dilakukan untuk mempersubur kondisi air yang digunakan untuk menumbuhkan pakan alami udang, seperti plankton.
 Jenis-jenis pakan alami yang biasa tumbuh atau dikembangkan didalam tambak antara lain:
1.             Plankton, biota ini dapat diamati penampaknnya melalui pengamatan visual kedalam tambak. Jenis pakan alami ini lebih sering dikonsumsi oleh udang usia tebar atau udang yang masih berukuran kecil. Copepoda adalah salah satu filum dari zooplankton (plankton hewani) dan merupakan pemangsa terbesar golongan diatom. Menurut Arinardi et al. (1996), zooplankton hampir dijumpai diseluruh habitat akuatik tetapi kelimpahan dan komposisinya bervariasi tergantung keadaan lingkungan dan biasanya terkait erat dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH, dan zat cemaran memegang peranan penting dalam menentukan keberadaan (kelimpahan) jenis plankton di perairan. Sedang faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi spesies. Menurut Panjaitan et al. (2014) mikroalga memberikan nutrisi berkualitas secara optimum untuk organisme seperti larva udang sesuai pada stadia perkembangannya. Dikatakan pula bahwa beberapa jenis mikroalgae yakni fitoplankton juga dapat berperan sebagai antibakterial, immunostimulan dan pemasok enzim pencernaan bagi pemangsanya.
2.             Jenis lumut terutama jenis lumut usus. Pakan alami dari jenis ini ditunjukkan bagi udang dewasa yang berukuran besar,. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemunculan atau pengembangan lumut didalam tambak perlu diperhatikan adalah bahwa pemunculan atau pengembangan lumut didalam tambak perlu terkontrol secara cermat densitasnya sehingga tidak menimbulkan masalah yang serius bagi udang dan kualitas air. Jenis lumut yang dapat tumbuh didalam tambak dan merugikan seperti jenis lumut rambut. Metode yang dapat digunakan dalam pengembangan lumut didalam tambak adalah dengan menempatkan lumut pada beberapa transek kawat atau kayu dan kemudian ditempatkan secara merata didalam perairan tersebut dengan tujuan untuk memudahkan pengontrolan populasi lumut tersebut melalui transek.
3.             Jenis kerang-kerangan terutama dari jenis kijing, anadara, dan kerang hijau. Pemunculan kekerangan ini perlu terkontrol secara cermat pula densitasnya karena biota ini bersifat plankton feeder sehingga dapat berpengaruh pada proses pembentukan kualitas air tambak.
4.             Rebon, yaitu jenis udang yang berukuran kecil iasanya muncul dengan sendirinya didalam tambak melalui saluran pemasukan air pada musim-musim tertentu.
5.             Serasah dan detritus, yaitu kotoran tambak yang berasal dari daun-daun tanaman di sekitar tambak yang jatuh dan tenggelam didasar tambak.
6.             Bangkai biota perairan yang ada didasar tambak. Jenis pakan ini lebih cenderung sebagai proses alami didalam tambak dan terdapat dalam skala kecil serta bersifat insidental.

3.3.    Manajemen Kualitas Air
Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies yang mempunyai kebiasaan hidup pada kolom air. Upaya peningkatan kepadatan dengan penambahan udang putih ke dalam sistem budidaya udang windu diduga akan mempunyai dampak negatif yang kecil pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu. Peningkatan kepadatan diharapkan akan meningkatkan produksi. Studi ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu yang ditingkatkan kepadatannya melalui penambahan udang putih.
Manajemen kualitas air adalah merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi lingkungan sehingga berada dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan udang. Kestabilan lingkungan di dalam tambak merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh para petambak untuk memperoleh kesuksesan dalam budidaya udang. Fluktuasi parameter kualitas air pada tambak pembesaran udang dapat menyebabkan penurunan kelangsungan hidup udang yang berlanjut pada penurunan produksi. Akumulasi bahan organik akan menyebabkan terjadinya pembentukan senyawa-senyawa yang beracun bagi udang sehingga mempercepat penurunan kualitas air (Abdullah, 2015).
Konsep dasar manajemen kualitas air adalah mengetahui asal (sumber) dan tingkah laku dari pencemar serta cara-cara pengelolaannya, sehingga dampak-dampak yang negatif dapat dikurangi dan dampak-dampak yang positip dapat dikembangkan. Pada kegiatan usaha budidaya udang di tambak, maka penurunan kualitas air disebabkan oleh faktor eksternal (yaitu faktor dari luar pertambakan umumnya disebabkan oleh adanya kandungan bahan organik dan logam berat) dan faktor internal (akibat dari kelebihan pakan, hasil ekskresi dari hewan budidaya dan kondisi dasar tambak). Pengelolaan air,baik kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan yang sangat penting diperhatikan, udang akan hidup sehat dan tumbuh maksimal apabila kualitas airnya sesuai dengan kriteria untuk pertumbuhan udang yang dipelihara. Jadi pengelolaan air ini bertujuan untuk menyediakan lingkungan yang optimal bagi udang agar tetap bisa hidup dan tumbuh maksimal. Prinsip dalam pengelolaan air adalah sirkulasi dan penambahan air yang talah disaring disebabkan karena tingginya tingkat penguapan dan resapan air, system penyaringan air dimulai dari air laut yang dipompa kemudian masuk resepoan diendapkan untuk sterilisasi dalam kolam penampungan yang disebut tandon, lalu dialiri ke tiap kolam budidaya (Lawaputri, 2011).
3.3.1. parameter kualitas air
          Pemeliharaan kualitas air dapat dijadikan salah satu indikasi tentang kestabilan lingkungan didalam tambak dan secara langsung akan berdampak terhadap tingkat kelangsungan hidup organisme yang berbeda didalamnya Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu parameter fisika, kimia dan biologi.
a.       parameter fisika
Faktor fisika air merupakan variabel kualitas air yang penting karena dapat mempengaruhi variabel kualitas air yang lainnya. Faktor fisika yang besar pengaruhnya terhadap kualitas air adalah cahaya matahari dan suhu air. Kedua faktor ini berkaitan erat, dimana suhu air terutama tergantung dari intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam air. Cahaya matahari mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kualitas air secara keseluruhan, karena dapat mempengaruhi reaksi-reaksi yang terjadi dalam air. Cahaya matahari diperlukan oleh tumbuhan air sebagai sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Sebagai produsen primer, tumbuhan hijau melakukan fotosintesis untuk menghasilkan oksigen dan bahan organik yang akan dimanfaatkan oleh hewan yang lebih tinggi tingkatannya dalam rantai makanan (Ghosal et al, 2000; Abdullah, 2015).
1.             Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman air. Proses suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air). Setiap spesies memiliki kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan. Pada suhu optimum ikan tumbuh lebih cepat, memiliki efisiensi pakan lebih baik, dan relatif lebih tahan dari serangan penyakit. Suhu akan mempengaruhi proses fisiologi dalam tubuh udang, dimana setiap peningkatan suhu sebesar 10 oC akan menyebabkan peningkatan reaksi biokimia dalam tubuh sebesar 2 kali. Udang memiliki kisaran suhu yang sangat luas dengan batas bawah sebesar 15 oC dan batas atas sebesar 35oC atau sampai 40 oC dalam rentang waktu yang singkat. Suhu optimum bagi udang berkisar 24 – 32 oC. Bila udang hidup di bawah maupun di atas kisaran suhu optimumnya, maka udang akan stres dan tidak tumbuh dengan baik (Yuniasari, 2009).
Suhu atau temperatur merupakan salah satu faktor penentu kisaran suhu air tambak yang baik bagi kehidupan udang vannamei adalah antara 26 - 30 °C. Jika suhu air tambak turun dibawah 25 °C akan menyebabkan daya cerna udang terhadap makanan yang dikonsumsi berkurang. Sebailiknya, jika suhu naik di atas 30 °C, udang akan mengalami stress yang disebabkan oleh tingginya kebutuhan oksigen, sementara bila suhu berada dibawah 14 °C maka dapat mengakibatkan kematian udang vannamei (Amri & Kanna, 2008; Abdullah, 2015).
2.             Kedalaman
Kedalaman disuatu perairan sangat penting untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan kedalaman suatu perairan dapat mempengaruhi jumlah cahaya yang akan masuk ke perairan dan ketersediaan oksigen di perairan tersebut, jika disuatu perairan kekurangan cahaya masuk kedalamnya maka ikan tersebut akan stress, begitu juga halnya dengan kandungan oksigen, biasanya diperairan dalam ketersediaan oksigen lebih sedikit dibandingkan dengan perairan dangkal.
3.             Kecerahan
Menurut Suyanto dan Mujiman (2002) dalam Abdullah (2015) air untuk tambak udang seharusnya di ambil dari air payau yang jernih, tidak keruh oleh lumpur. Menurut ketentuan batas kekeruhan yang dianggap cukup adalah bila angka secchi disk antara 25 - 45 cm. Kekeruhan disebabkan oleh zat-zat atau material terlarut (tersuspsensi) seperti lumpur, senyawa organik dan anorganik, serta plankton dan mikroorganisme. Dilapangan sering kali pengukuran dilakukan dengan secchi disk yang sekaligus mengukur kecerahan air. Pengukuran umumnya dilakukan pada siang dan sore hari. Tingkat kecerahan yang diharapkan untuk pembudidaya udang (plankton)
4.             Warna Air
Menurut Erlangga (2012) dalam Abdullah (2015), perubahan air tambak umumnya menggambarkan ketidak stabilan lingkungan di dalam tambak. Warna air tambak umumnya berbeda-beda tergantung dari populasi plankton yang hidup dalam lingkungan tambak tersebut. Beberapa jenis warna air tambak yang kemungkinan timbul selama proses pemeliharaan udang vannamei, yaitu :
a.       Warna hijau muda (Green water)
Umumnya tambak yang memiliki warna hijau muda sudah dapat dipastikan memiliki persentasi fitoplankton yang tinggi dan memiliki kecendrungan mengalami blooming plankton dengan cepat. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya beberapa zooplankton yang dapat di gunakan sebagai pakan alami untuk udang.
b.      Warna hijau biru (Blue green water)
Tambak yang memiliki warna air hijau biru sering terjadi pada lingkungan tambak yang memiliki air dengan tingkat kelarutan bahan organik dan suhu yang tinggi. Warna tersebut mencirikan terjadinya dominasi alga hijau biru. Kondisi air seperti itu menimbulkan masalah terhadap udang karena pada kondisi ini udang sering ditemukan memiliki cangkang yang lunak, cangkang yang berwarna biru dan pertumbuhan yang terhambat.
c.       Warna hijau kuning
Air tambak yang berwarna hijau kuning sering ditumbuhi oleh beberapa alga yang berflagela berwarna kuning keemasan dari genus Chalamydomonas, Rhodomonas, serta pavlopa. Alga atauganggang tersebut bercampur dengan alga hijau sehingga menimbulkan warna hijau kuning sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan udang vannamei. Pada kondisi tersebut tingkat kelangsungan hidup sangat rendah, yaitu antara 45 - 55 %.
d.      Warna coklat tua
Tambak yang memiliki air berwarna coklat tua biasanya sering ditumbuhi oleh plankton dari kelompok dinoflagellata dengan persentase yang cukup tinggi. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya penumpukan kandungan bahan organik yang terlalu tinggi menjelang akhir periode pemeliharaan. Udang yang dipelihara pada kondisi ini umumnya memiliki warna insang merah dan hitam serta memiliki insang yang bengkak. Udang akan memiliki warna tubuh biru gelap, antena pendek dan melingkar, tubuh bergelombang, ruas-ruas tubuh cenderung melengkung, serta bagian ekor akan melipat.
e.       Warna coklat keputihan (Milky)
Tambak yang memiliki air berwarna coklat keputihan akan dipenuhi oleh zooplankton dengan pertumbuhan yang tinggi. Pada kondisi ini fitoplankton banyak dikonsumsi oleh zooplankton sehingga populasi fitoplankton yang diharapkan tumbuh pada perairan tambak terhambat. Hal ini akan menyebabkan kondisi lingkungan perairan tambak semakin buruk.
b.      parameter kimia
Air yang digunakan untuk budidaya udang atau organisme perairan yang lain mempunyai komposisi dan sifat-sifat kimia yang berbeda dan tidak konstan. Komposisi dan sifat-sifat kimia air ini dapat diketahui melalui analisis kimia air, sehingga apabila ada parameter kimia yang keluar dari batas yang telah ditentukan dapat segera dikendalikan. Parameter kimia yang digunakan untuk menganalisis kualitas air yaitu :
1.             Salinitas
Salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang peranan penting karena bias mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang muda yang berumur 1 - 2 bulan memerlukan kadar garam 15 - 25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal. Setelah umur lebih dari 2 bulan, pertumbuhan udang relatif baik pada salinitas antara 5 - 30 ppt. Pada kondisi tertentu, sumber air tambak bisa menjadi hipersalin/kadar garam tinggi (diatas 40 ppt), hal ini sering terjadi pada musim kemarau. Perubahan salinitas sering kali terjadi pada perairan tambak, terutama pada musim penghujan. Fluktuasi salinitas pada tambak pembesaran tidak boleh lebih dari 3 ppt, apabila kondisi tersebut terjadi, udang akan stress sehingga nafsu makan udang menjadi menurun (Erlangga, 2008; Abdullah 2015).
2.             pH
Konsentrasi ion hidrogen merupakan parameter kualitas air yang penting. Konsentrasi ion hidrogen tersebut dinyatakan sebagai pH yang didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. pH rendah mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi, sedangkan pH tinggi mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen yang rendah. Nilai pH berkisar antara 0 – 14. Air disebut asam jika pH< 7, netral jika pH= 7, dan basa/alkali jika pH> 7. Udang mampu mentolerir pH pada kisaran 7 – 9. Air yang terlalu asam (pH<6,5) dan air yang terlalu basa (pH>10) dapat merusak insang udang dan mengganggu pertumbuhan. Walaupun udang dapat hidup pada kisaran pH 7 – 9, tetapi pH sebaiknya dijaga pada kisaran 7,2 – 7,8. Hal ini berkaitan dengan toksisitas amonia, dimana toksisitas amonia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH. Pada pH kurang dari 7.8 fraksi amonia dalam total ammonia nitrogen berkurang sekitar 5% dan pada pH lebih dari 9 sekitar 50% total amonia nitrogen berada dalam bentuk ammonia (Yuniasari, 2009).
Nilai pH yang normal untuk tambak udang berkisar sekitar 6 – 9. Nilai pH diatas 10 dapat mematikan udang. Sedangkan pH dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat. Khusus udang vannamei, kisaran pH yang optimum adalah 7,5 - 8,5 (Abdullah, 2015).
Menurut Banun et al, (2007) menyatakan bahwa pH berada pada kisaran yang menunjang budidaya udang dimana nilainya berkisar antara 7,7 – 8,1. NO2 yang terdeteksi pada akhir budidaya >1 ppm. Kadar NO2 di petakan maksimal 0,1 ppm diatas nilai ini sudah dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan udang. Data salinitas berada pada kisaran (15 – 21 ppt) yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan udang. DO pada awal budidaya baik dan cenderung terus menurun sampai akhir budidaya. DO optimal untuk udang adalah 3 – 6 ppm. Salinitas erat sekali hubungannya dengan kelarutan O2. Semakin tinggi salinitasnya semakin rendah kelarutan O2. Untuk mengantisipasi salinitas tinggi tambak I memiliki sumur air tawar yang dipakai untuk menurunkan salinitas. Pengukuran PO4 berfluktuasi dan cenderung makin tinggi pada akhir budidaya, kadar fosfor yang tinggi merugikan karena menyebabkan blooming plankton.
3.             Oksigen Terlarut (Dissolved oxygen)
Oksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yang sangat penting dalam budidaya udang. Oksigen yang terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan untuk proses respirasi (pernapasan) baik oleh tumbuhan air, udang maupun organisme lain. Kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4 - 6 ppm. Rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam tambak sering terjadi pada priode musim kemarau yang tidak berangin. Disamping itu pada malam hari dimana suhu menjadi rendah yang diikuti meningkatnya aktivitas fitoplankton, sering mengakibatkan menurunnya kandungan oksigen. Keadaan ini ditandai dengan mengambangnya udang (udang naik ke permukaan air) (Abdullah, 2015).
Oksigen dibutuhkan oleh udang untuk respirasi serta proses-proses fisiologi sel yang berperan dalam pembentukkan energi yang dibutuhkan dalam proses metabolisme nutrien dalam pakan. Oksigen yang terbatas akan menyebabkan kemampuan udang untuk memetabolis pakan menjadi terbatas, penurunan laju pertumbuhan, serta penurunan kemampuan mengkonversi pakan. Pertumbuhan dan nilai FCR yang baik diperoleh ketika konsentrasi oksigen berada pada 80% saturasi. Konsentrasi oksigen sebesar 5 ppm tidak akan mengakibatkan stres pada udang, tetapi pemaparan konsentrasi oksigen rendah (< 1.5 ppm) pada waktu yang lama dapat bersifat lethal (Yuniasari, 2009).
4.             Amoniak
Amoniak merupakan senyawa yang juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan udang. Penyebab timbulnya amoniak di dalam tambak adalah akibat adanya sisa bangkai hewan dan tumbuhan, kotoran udang dan bahan organik lainnya (seperti ganggang) yang membusuk. Pada konsentrasi diatas 0,45 ppm amoniak dapat menghambat pertumbuhan udang sampai 50%. Untuk menunjang pertumbuhan udang yang baik, amoniak yang terdapat dalam air tambak tidak boleh lebih dari 0,1 ppm (Amri & Kanna, 2008; Abdullah, 2015)
5.             Nitrit dan Nitrat
Adanya oksigen didalam air tambak akan mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat (nitrifikasi). Jadi nitrat terbentuk akibat reaksi antara amonia dan oksigen yang terlarut didalam air. Kadar nitrat yang diperbolehkan didalam air tambak adalah dibawah 0,1 ppm. Sementara kadar nitrit yang diperbolehkan adalah tidak lebih dari 0,5 ppm. Bila kadar nitrat dan nitrit yang terdapat di dalam tambak melebihi batas tersebut, maka pengaruh negatif terhadap udang udang vannamei yang dipelihara. Nitrit beracun bagi udang, karena mengoksidasi Fe2+ dalam hemoglobin, sehingga kemampuan darah untuk mengikat oksigen sanagt rendah. Toksisitas dari nitrit yaitu mempengaruhi transport oksigen dalam darah dan merusak jaringan. Kadar nitrat 6,4 ppm NO2-N dapat menghambat pertumbuhan udang vannamei sebanyak 50% (Abdullah, 2015).
6.             Phospat
Phospat merupakan bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan. Karakteristik phospat sangat berbeda dengan unsur-unsur utama lain yang merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Diperairan bentuk phospat berubah secara terus menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan phospat di perairan alam biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen; karena sumber phospat lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen diperairan. Phospat mempunyai mobilitas yang sangat kecil. Didasar tanah phospat mempunyai kedudukan yang stabil, sebab phospat tidak mudah terbawa atau larut dalam air. Keberadaan phospat juga dipengaruhi pH peraian. Dalam suasana basa jika pH lebih besar dari 7 maka phospat akan berikatan dengan unsur kalsium (Ca) menjadi Ca3(PO4)2 dan akan mengendap. Sedangkan pada suasana asam dimana pH kurang dari 6 maka phospat akan berikatan dengan Fe atau Al juga akan mengendap (Abdullah).
c.       parameter biologi
1.             Plankton
Plankton merupakan organisme yang memiliki peran penting dalam suatu perairan. Organisme ini terdiri dari mikroorganisme yang hidupnya sebagai hewan (zooplankton) dan tumbuhan (fitoplankton). Zooplankton adalah hewan-hewan laut yang planktonik sedangkan fitoplankton terdiri dari tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis. Fitoplankton mempunyai klorofil yang dapat membuat makanan sendiri dengan mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesa. Fitoplankton hidup pada lapisan perairan yang masih terdapat sinar matahari sampai pada suatu lapisan perairan yang disebut garis kompensasi. Zooplankton umumnya bersifat fototaksis negatif sehingga dapat hidup di lapisan perairan yang tidak terjangkau sinar matahari. Zooplankton merupakan konsumen primer atau kelompok yang memakan fitoplankton. Dengan sifat yang fototaksis negatif, zooplankton akan banyak terdapat di dasar perairan pada siang hari dan akan ke permukaan perairan pada malam hari. Komunitas organisme adalah sesuatu yang dinamis, populasi-populasi yang ada didalamnya saling berinteraksi, mengalami variasi dari waktu ke waktu. Dinamika plankton dipengaruhi oleh faktor fisika (suhu, intensitas cahaya), faktor kimia (unsur hara), dan faktor biologis (kompetisi dan pemangsaan). Jenis plankton yang berbeda mempunyai reaksi yang berbeda pula misalnya terhadap suhu dan intensitas cahaya (Setiawan, 2013).
.
Menurut Isdarmawan (2005), Kualitas air yang buruk seperti rendahnya kandungan oksigen, kisaran fluktuasi pH dan salinitas yang sangat tinggi serta penumpukan limbah beracun (baik internal maupun eksternal) dapat berakibat negatif terhadap ketahanan tubuh udang dari serangan penyakit. Untuk menjaga kondisi pertumbuhan udang yang normal, mutu air tambak harus dipertahankan seprima mungkin untuk menjaga kualitas lingkungan budidaya, sehingga tidak menyebabkan stress lingkungan pada udang yang dapat memacu berjangkitnya penyakit. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi timbulnya masalah tersebut antara lain dianjurkan :
a.              Pergantian/sirkulasi air secara berangsur-angsur (tidak dilakukan dalam jumlah besar dan sekaligus).
b.             Mengurangi sisa-sisa pakan yang dapat menjadi sumber toksik/racun seperti kadar amonia yang berlebihan.
c.              Pemberian pakan disesuaikan dengan kondisi kemampuan udang mengkonsumsi habis pakan yang diberikan.
d.             Mereduksi produk metabolism udang yang beracun seperti sulfida, amoniak dan nitrit dengan pemberian probiotik. Obat probiotik ini dapat membantu proses dekomposisi/penguraian bahan beracun menjadi bahan yang tidak membahayakan kesehatan udang.
e.       Pemberian kapur pertanian (CaCO3) atau kapur dolomit untuk menstabilkan pH dan alkalinitas air.

3.3.2    Pengelolaan  Kualitas Air
Cara mengelola kualitas air menurut Balio dan Tookwinas (2003) adalah sebagai berikut :
1.             Salinitas atau kadar garam Penambahan atau pergantian air tidak boleh mengubah salinitas harian secara drastis lebih 3 ppt untuk menghindari stres pada udang. Amati salinitas menggunakan salinometer atau hand refraktometer. Perhatikan musim untuk menjaga salinitas. - Pada musim kemarau dapat dilakukan penambahan air tawar 2-5 % per hari untuk mengurangi peningkatan salinitas. - Pada saat musim hujan maka dibuat mekanisasi air hujan akan keluar dari tambak sehingga salinitas tidak berubah secara
2.              Suhu Untuk mempertahankan kestabilan suhu dapat dilakukan dengan mengatur kedalaman air sekitar 70-80 cm dan memperhatikan kepadatan plankton. Pada saat kepadatan plankton tinggi (kecerahan kurang dari 30 cm) pada siang hari, lakukan penurunan kedalaman air hingga 60-70 cm atau dengan konsep 2 kali nilai kecerahan air. Pengaturan kedalaman air berdasarkan nilai kecerahan dengan tujuan agar terjadi penetrasi cahaya dalam air untuk menjaga suhu air pada bagian dasar tambak.
3.             Kecerahan dan warna air Warna air menunjukan jenis plankton yang dominan dalam air. Warna air yang baik adalah hijau muda dan hijau kecoklatan yang menunjukkan dominasi plankton chloropiceae dan diatom. Air yang sehat menunjukkan warna air stabil antara pagi hari dan sore hari. Warna air yang tak stabil (berubah-ubah) antara pagi dan sore menunjukkan plakton didominasi jenis zooplankton, yang kurang baik untuk pemeliharaan udang. Kecerahan air dipertahankan pada kisaran 30-40 cm. Jika kepadatan plankton kurang yaitu kecerahan > 45 cm, lakukan pemupukan susulan. Gunakan pupuk organik komersial dengan kandungan nutrien lengkap, dosis 0,2-0,5 ppm (2-5 liter/kg) atau anorganik dengan dosis 2-3 ppm (20-30 kg/ha). Pemupukan susulan dapat dilakukan 5-7 hari seklai hingga plankton tumbuh. Sebaliknya bila plankton padat (kecerahan
4.             Oksigen terlarut Oksigen terlarut dalam air tambak harus dipertahankan minimal 3 ppm. Pengamatan oksigen terlarut terutama dilakukan pada malam hari hingga pagi hari. Apabila pada malam hari oksigen sudah mencapai 3 ppm maka perlu dilakukan aerasi. Aerasi dapat dilakukan dengan menggunakan pompa air, yaitu memasukkan air dari petak tandon atau penyedot air dari petak udang disemprotkan kembali. 5. Keasaman atau pH Pengamatan pH air tambak menggunakan pH meter dilakukan tiap hari pada waktu pagi sekitar jam 05.00 (matahari belum bersinar) dan sore sekitar jam 16.00. Nilai pH air tambak sangat mempengaruhi seluruh proses kimia dalam air. pH air dipertahankan pada kisaran yang optimum yaitu 7,5-8,5 dengan fluktuasi harian pagi dan sore dari 0,2-0,5. Bila pH air turun dari 7,5, lakukan penambahan kapur dengan dosis 3-5 ppm. Sebaliknya bila pH air tinggi diatas dilakukan aplikasi molase (tetes tebu) dengan dosis 2-3 ppm.
5.             Alkalinitas Alkalinitas bisa diamati tiap 2 minggu sekali. Nilai alkalinitas dipertahankan pada kisaran 80 ppm. Nilai alkalinitas yang rendah menyebabkan sulitnya menumbuhkan plankton dan fluktuasi nilai pH air harian pagi dan sore tinggi (>0,5). Nilai alkalinitas rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan carbonat dengan aplikasi kapur dolomit 3-5 ppm yang dilakukan tiap 3-5 hari sekali hingga mencapai minimal >80 ppm. Penggunaan kapur dolomit lebih baik karena tidak menaikan pH air secara dratis.

3.4     Manajemen Penyakit Ikan
          Dalam sistem budidaya udang vanname banyak hal yang perlu diperhatikan guna mencapai nilai produksi yang maksimal, salah satu faktor yang cukup penting adalah bagaimana manajemen wabah penyakit termasuk hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan, menjauhkan dari hama penyakit, menghindari patogen, serta hal yang harus dilakukan atau penanganan seandainya kultivan budidaya terjangkit penyakit.  Banyak faktor yang menyebabkan keberhasilan budidaya udang namun banyak juga faktor yang menyebabkan kegagalan budidaya. Penyebab kegagalan di tambak secara umum disebabkan oleh serangan penyakit, penurunan kualitas lingkungan, kualitas benur, manajemen budidaya yang tidak tepat. Secara keseluruhan manajemen penyakit di tambak membutuhkan langkah cepat dan positif untuk mempertahan dan meningkatkan nilai produksi karena melihat dampak yang akan terjadi semisal tidak ditangani dengan cepat. Probiotik bisa dilakukan sebagai salah satu langkah awal menangani masalah ini selain ada hal lain yang bisa dilakukan dalam manajemen penyakit. Menurut Khasani (2007) yang menyatakan bahwa dampak lanjut yang ditimbulkan adalah serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian besar. Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi budidaya dengan berpedoman pada kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang lebih serius. Diantara langkah tersebut adalah melalui aplikasi probiotik yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kualitas anir dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen guna terciptanya sistem budidaya perikanan yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Selain itu Perikanan WWF Indonesia (2014) menerangkan bahwa pengendalian hama dan penyakit dilakukan sejak persiapan tambak, pemasukan air, pemilihan benur, dan selama pemeliharaan. Aktivitas penting yang perlu dilakukan adalah monitoring rutin terhadap kesehatan udang, kualitas air, dan tindakan pencegahan.
Beberapa faktor penyakit yang terjadi dalam sistem budidaya disebabkan oleh virus dan bakteri, dsb. Salah satu penyakit yang sering terdengar menjangkit udang  adalah white spot. Hal ini dijelaskan oleh Wang & Chang (2000) mengemukakan, bahwa penyakit virus berdampak serius terhadap sustainabilitas dan ekonomi industri budidaya udang. Penyakit virus yang mula pertama terjadi pada budidaya udang windu di Indonesia adalah penyakit infeksi oleh MBV (monodon baculovirus disease), diikuti penyakit virus lainnya seperti HPVD (hepatopancreas parvo-like virus disease), YHD (yellow head baculovirus disease) dan sejak tahun 1995 mewabah penyakit oleh WSV (white spot baculovirus). Malahan, hingga kini, penyakit white spot sangat masih tetap mempengaruhi keberhasilan budidaya udang windu dan menghantui petambak. Penyakit white spot ini merupakan penyakit yang menyebabkan kegagalan panen dengan morbiditas dan mortalitas tinggi mencapai 100%. Penyakit ini dapat berjangkit baik di pembenihan maupun di tambak pembesaran. Selain itu juga dijelaskan dalam DEPDIKNAS (2004) bahwa Jenis penyakit yang menyerang udang dapat dikelompokkan menjadi penyakit viral, bacterial, kelompok fouling disease dan penyakit karena factor nutrisi.
1.       Viral
Muncul dan mewabahnya penyakit viral sangat terkaitdengan kondisi lingkungan. Factor pemicu timbulnya wabah virus ini disebabkan karena :
a. Pencemaran pestisida di perairan
b. Perubahan kualitas air yang mendadak
c. Udang stress
Penyakit yang banyak menyerang udang dan sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup udang adalah :
White Spot Baculovirus ( SEMBV )
Ciri – ciri :
a. Ditandai dengan terbentuknya bercak putih seperti panu pada bagian Cephalothorax ( kepala )
 b. udang berenang ke tepi dekat pematang, lemas dan kehilangan nafsu makan.

2.       Bakterial
Di dominasi oleh genus vibrio sp, diantaranya :
·         Kunang-kunang ( luminous ) pada larva
Ciri-ciri : bila dilakukan pengamatan di ruangan gelap udang akan terlihat menyala.
·         Nekrosis
Ciri-ciri :
- Putusnya organ eksternal dengan warna kehitamanpada sekitar organ yang putus misalnya ekor kipas.
- Daging berwarna kehitaman.

3.       Fouling disease (Penyakit penempel)
Yaitu pengelompokkan penyakit berdasarkan penampilan udang yang tidak menarik, karena kulitnya seperti berlumut dan insang berwarna hitam. Biasanya menyerang pada udang yang mengalami kegagalan moulting dan pertumbuhan terhambat. Penyebabnya adalah dari golongan alga dan protozoa, terjadi karena adanya peningkatan populasi yaitu peningkatan bahan organic dan peningkatan detritus melayang dalam air.


4.       Penyakit insang hitam
Ciri-ciri : Warna insang udang hitam / kecoklatan. Organisme penyebab penyakit ini adalah protozoa, jamur dan alga, dan faktor pemicu timbulnya penyakit ini adalah :
a. Ransum kurang vitamin C
b. Manajemen kualitas lingkungan yang kurang baik
c. Pertumbuhan alga yang terlalu padat ( Blooming )

Banyaknya potensi hama dan penyakit yang dapat terjadi dalam sistem budidaya udang, maka perlu adanya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit pada beberapa stadia udang vannamei, salah satunya  pada larva udang vaname dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Peran probiotik dapat membantu mencegah masalah ini terjadi. Probiotik dapat memberikan efek baik atau kesehatan pada organisme lain/inangnya beberapa contoh pada makanan suplemen diet yang mengandung bakteri berguna dengan asam laktat bakteri (lactic acid bacteria – LAB) sebagai mikroba yang paling umum dipakai. Menurut Khasani (2007) yang menyatakan bahwa diantara langkah tersebut adalah melalui aplikasi probiotik yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kualitas air dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen guna terciptanya sistem budidaya perikanan yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Hal senada dijelaskan tentang pencegahan hama dan penyakit dalam Subaidah et al. (2006) bahwa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit antara lain adalah dengan menerapkan sistem biosecurity. Selama kegiatan penelitian, upaya menjaga kesehatan larva dilakukan dengan cara mengelola kualitas air dan penerapan biosecurity serta strerilisasi terhadap semua peralatan yang digunakan. Penerapan biosecurity dilakukan dengan cara menempatkan cuci kaki (foot bath) pada setiap pintu masuk ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan. Setelah larva memasuki stadia Mysis-1, jenis penyakit yang sering mewabah adalah jenis Zoothamnium sp dari golongan protozoa dengan gejala gerakan lemah dan kebanyakan larva berada di atas permukaan air. Tetapi selama peneliatian ini berlangsung, tidak ditemukan adanya penyakit pada larva udang.  Selain itu dijelakan pencegahan Hama dan Penyakit dijelaskan oleh Perikanan WWF Indonesia (2014) :
·         Tidak membuang dan mengganti air apabila udang yang dipelihara diketahui terkena virus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ke perairan  umum dan tambak lainnya.
·         Tumbuhan air yang diambil dari petakan tambak, tidak dibuang ke petak lain atau perairan umum karena dikhawatirkan dapat menyebarkan penyakit.
·         Udang yang sakit atau mati segera dikeluarkan dari tambak dan dicelupkan ke larutan formalin, selanjutnya dikubur di luar area petakan tambak.
·         Menerapkan biosecurity pada seluruh kegiatan dan area pertambakan, yaitu :
a.)           Menyiapkan bak sterilisasi bagi manusia yang ingin masuk ke area tambak,
b.)           Membatasi akses manusia dan hewan pembawa penyakit, antara lain kepiting, burung, dan hewan lainnya untuk masuk ke area tambak dengan pembuatan pagar pembatas dari jaring ke sekeliling tambak.
c.)           Pengendalian hewan berupa burung dapat dilakukan dengan membuat penghalau berupa tali senar di atas tambak.


IV.PENUTUP

4.1.      Kesimpulan
            Berdasarkan makalah yang telah disusun dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a.              Menejemen wadah tambak udang terbagi menjadi 4, yaitu pengeringan, pengapuran, pemberantasan hama, serta pemupukan dan pengisian air.
b.             Manajemen kualitas air adalah merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi lingkungan sehingga berada dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan udang.
c.              Penyediaan pakan alami bagi udang banyak dilakukan pada kegiatan budidaya pola tradisional dengan karakteristik padat penebaran rendah dan penggunaan teknologi budidaya sangat minim.
d.             Udang yang dijadikan sebagai induk udang yang baik dan subur pertumbuhannya dan sebaiknya bersifat SPF
e.              Keunggulan udang putih adalah dapat meresistensi terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang.

4.2.    Saran
          Berdasarkan makalah yang telah disusun dapat diperoleh saran sebagai berikut
a.              Sebaiknya padat penebaran pada larva di usahakan tidak terlalu tinggi guna mencegah tingkat kematian larva udang vanameakibat kanibalisme dan kompetitor.
b.             Sebaiknya kualitas air diperiksa secara rutin. Hal ini bertujuan untuk mengetahui penyakit secara dini sehingga cepat ditanggulangi
c.              Sebaiknya jumlah pakanyang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan udang yang dipelihara. Pemberian pakan yang tidak sesuai dapat menghambat pertumbuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, V. 2015. Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di Berbagai Tipe Tambak Tradisional Desa Lekong Kecamatan Alas Barat, Sumbawa. [Tesis] Universitas Sebelas Maret Surakarta
Akbaidar, G A. 2013. Penerapan Manajemen Kesehatan Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di Sentra Budidaya Udang Desa Sidodadi Dan Desa Gebang Kabupaten Pesawaran.[Skripsi] Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Amrillah, Attabik Mukhammad, Sri Widyarti, Yuni Kilawati. 2015. Dampak Stres Salinitas Terhadap Prevalensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Survival Rate Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Journal of Life Science, 2(1) : 110-12.
Andriyanto, F., Dr. Ir.Anthon Efani, dan Dr. Ir. Harsukoriniwati, Mp. 2013. Analisis Faktor-Faktor Produksi Usaha Pembesaran Udang Vanname (Litopenaeus Vannamei) Di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur ; Pendekatan Fungsi Cobb-Douglass. Jurnal Ecsofim. 1(1): 82
Arinardi, T. Sumijo, H. R, dan Elly A. 1996. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Tengah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta.
Banu. S, Wayan dan Wayan, S. 2007. Kajian Ekologis Pengelolaan Tambak Udang Di Dusun Dangin Marga Desa Delodbrawah Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana Bali.3(1):10-15
Banun, S., W. Arthana dan W. Suarna. 2008. Kajian Ekologis Pengelolaan Tambak Udang di Dusun Dangin Marga Desa Delodbrawah Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana Bali. Ecotrophic. 3(1):10 -15.
Darmawan, B. D. 2008. Pengaruh Pemupukan Susulan terhadap Kualitas Media dan Proses Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada Tambak Tradisional Plus. AKUATIK 4(2):1-5.
Balio, D danTookwinas S. 2003. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove (Best Management Practice for a mangrovefriendly shrimp farming), Aquaculture Departmen, South East Asian Fisheries Development Center,
DEPDIKNAS. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Pada Pembesaran Udang. Edisi 2004.
Isdarmawan, N. 2005. Kajian Tentang Pengaturan Luas dan Waktu Bagi Degradasi Limbah Tambak Dalam Upaya Pengembangan Tambak Berwawasan Lingkungan Di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan. [Thesis]. Universitas Diponegoro. Semarang
Khasani, I. 2007. “Aplikasi probiotik menuju system budidaya perikanan berkelanjutan”, Media Akuakultur, 2(2): 86-90
Lawaputri, A. T. 2011. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Udang Vannamei Intensif di Kabupaten Takalar. [Skripsi]. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Makassar
Manoppo, Henky. 2011. Peran Nukleotida Sebagai Imunostimulan Terhadap Respon Imun Nonspesifik Dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). [Skripsi]. Intitut Pertanian Bogor.
Perikanan WWF Indonesia. 2014. Budidaya Udang Vannamei. WWF-IndonesiaVersi 1
Panjaitan, A. S., W. Hadie dan Sri Harijati. 2014. Pemeliharaan Larva Udang vaname (Litopenaeus Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan. 1(1)
Sa’adah, W. 2010. Analisa Usaha Budidaya Udang Vannamei (Lithopenaeus vannamei) dan Ikan Bandeng (Chanos-chanos Sp.) di Desa Sidokumpul Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur. GROUPER 1(1):24-30.
Subaidah, S. Susetyo P. Mizab A., Tabah I., Gede S., Detrich N. dan Cahyaningsih, S. (2006). Pembenihan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo Hlm 33 – 40.
Tenriulo A, Tonnek B, Tampangallo BR, Widodo AF dan Parenrengi A. 2010. Analisis ekspresi gen Antivirus PmAV pada udang windu, Penaeus monodon yang ditantang dengan WSSV. Jurnal di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Makassar, Hal. 541-546.
Wahyudi, A. I., U. K. Pangerang, dan A. Mustafa. 2013. Evaluasi Kesesuaian Lingkungan pada Kawasan Tambak di Kecamatan Kolono Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Mina Laut Indonesia. 2(6):(1-13)
Wang, Y.C. & P.S. Chang. 2000. Yellow head virus infection in giant tiger prawn Penaeus monodon cultured in Taiwan. Fish Pathology, 35(1) p: 1-10.
Wickins JF, Lee DOC. 2002. Crustacean farming ranching and culture. Second edition. Blackwell Science Ltd, London: 9-25.
Zakaria, Ayudhia Savitri. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vannamei                          (Litopenaeus vannamei) di Tambak Udang Binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan. [PKL] Universitas Airlangga.

0 komentar:

Posting Komentar