PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang merupakan salah
satu komoditas utama dalam industri perikanan budidaya karena memiliki nilai
ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high
demand product). Udang windu (Penaeus monodon) merupakan komoditas unggulan Indonesia
dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya
telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu.Salah satu diantaranya
adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak
pertengahan tahun 1986.
Semakin kurangnya
ketersediaan induk dan benih udang windu di laut ditambah adanya Keputusan
Presiden tentang larangan penggunaan pukat harimau (trawl) menyebabkan semakin
turunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang dari hasil
budidaya harus ditingkatkan.Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang
melalui budidaya tersebut hanya dapat dicapai bila disuplai faktor-faktor
produksi, khususnya benih udang dapat terjamin sepenuhnya.Pengembangan
teknik-teknik pembenihan udang harus terus dilakukan untuk menunjang kegiatan
budidaya udang windu.
Perkembangan budidaya
udang windu sendiri telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini
didukung oleh usaha budidaya yang intensif dengan teknologi yang sudah
dikuasai, harga yang tinggi dipasar lokal maupun internasional dan peluang yang
luas telah membuat udang windu menjadi komoditas harapan bagi para pengusaha
sehingga banyak yang berani menanamkan modal bisnis udang windu ini.
Guna menunjang usaha
budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan
(hatchery) udang windu.Usaha pembenihan udang ini berkembang pesat setelah
ditemukannya teknik ablasi mata.Dengan teknik tersebut maka masalah penyediaan
induk matang telur dapat diatasi dan seluruh siklus hidup udang dapat
diusahakan dalam lingkungan yang terkontrol.
Keberhasilan usaha
pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai
budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada
akhirnya akan mendukung usaha penyediaan
benih udang windu yang berkualitas. Hal ini diperkuat oleh Mahasri et al (2014)
bahwa tingkat keberhasilan budidaya udang windu sangat ditentukan oleh usaha
pembenihan udang yang dilakukan oleh Panti Pembenihan (Hatchery), Panti
Pembenihan Skala Rumah Tangga (Backyard) maupun skala besar dalam menyediakan
benur udang yang berkualitas dan bebas penyakit. Usaha pembenihan udang windu
masih merupakan usaha yang terus berkembang sampai saat ini dan produksi benur
yang dihasilkan baru mencapai 3.700 juta ekor per tahun dan baru dapat memenuhi
kebutuhan sebanyak 40%-50% dari seluruh total kebutuhan.
Biosecurity pada budidaya udang adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk
menangkal masuknya penyakit dalam fasilitas budidaya, mulai dari tempat
pemeliharaan induk, pembenuran sampai pembesaran, serta mencegah penyebaran
penyakit dari tambak yang sudah terinfeksi.Manfaat Biosecurity yaitu memperkecil resiko penyakit
mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit menekan kerugian yang lebih besar
apabila terjadi kasus wabah penyakit efisiensi waktu, pakan, dan tenaga
kualitas udang lebih terjamin.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berbudidaya udang
harus memiliki manajemen yang baik khususnya pada proses hatchery. Untuk
menjaga keamanan dan kelangsungan proses budidaya diperlukan antisipasi dengan
cara biosecurity. Penggunaan biosecurity tentunya memiliki kelemahan dan
kelebihan, sehingga ada hal-hal yang menjadi perhatian dalam meningkatkan
produksi udang 50 juta dalam satu periode. Rumusan masalah berdasarkan uraian
di atas adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
manajemen hatchery udang windu?
2.
Bagaimana
peranan
biosecurity terhadap pertumbuhan udang windu?
3.
Apa
kelebihan
dan kelemahan dari biosecurity?
4.
Apa
saja hal-hal yang diperhatikan untuk meningkakan
produksi 50 juta dalam
satu periode?
1.3. Tujuan
Adapun
tujuan dalam
pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Mengetahui manajemen hatchery udang
windu.
2.
Mengetahui
peranan
biosecurity terhadap pertumbuhan udang windu.
3.
Mengetahui
kelebihan
dan kelemahan dari biosecurity.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Udang Windu
Menurut Romimohtarto
(2005) klasifikasi
udang windu (Panaeus monodon), adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropod
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies
:Penaeus monodon
2.2. Morfologi dan Anatomi Udang Windu
Dilihat dari luar tubuh udang terdiri dari dua bagian yaitu
bagian depan dan bagian belakang bagian depan disebut bagian kepala yang
sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu itu dinamakan
kepala-dada (cepholothorax) serta bagian perut (abdomen) terdapat ekor dibagian
belakangnya. Semua bagian badan
beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen) kepala dada terdiri
dari 13 ruas yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas sedangkan bagian
perut terdiri dari 6 ruas. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan
yang beruas-ruas pula seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut
eksoskeleton yang terbuat dari bahan chitin.Kerangka tersebut mengeras, kecuali
pada sambungan-sambungannya antara dua ruas tubuh yang berdekatan.Hal ini
memudahkan mereka untuk bergerak (Mujiman dan Suyanto, 2005).
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian
kepala dan bagian badan bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut
cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8
ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas tiap-tiap ruas
(segmen) mempunyai sepasang
anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula pada ujung ruas keenam
terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing.
2.2.1. Bagian kepala
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau Carapace.
Bagian depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk
kepala atau rostrum. Pada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian
bawahnya 3 gerigi untuk P monodon. Bagian kepala lainnya adalah : Sepasang mata
majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan, Mulut terletak pada
bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang kuat., Sepasang sungut besar
atau antenna, Dua pasang sungut kecil atau antennula, Sepasang sirip kepala
(Scophocerit), Sepasang alat pembantu rahang (Maxilliped), Lima pasang kaki
jalan (pereopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga bercapit yang dinamakan
chela. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.
2.2.2. Bagian badan dan perut (abdomen)
Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya
dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang
melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas
keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di
antara ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya yang
disebut telson.Organ dalam yang bisa diamati adalah usus (intestine) yang
bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.
2.2.3. Alat
kelamin
Udang jantan dan udang betina dapat dibedakan dengan melihat
alat kelamin luarnya.Alat luar jantan disebut petasma, yang terdapat pada kak
renang pertama.Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal
kaki jalan ke-4 dan ke-5.Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara
pangkal kaki jalan ke-3.Alat kelamin primer yang disebut gonad terdapat didalam
bagian kepala dada. Pada udang jantan yang dewasa gonad akan menjadi testes
yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Sedangkan pada udang betina gonad
akan menjadi ovarium (indung telur) yang berfungsi untuk menghasilkan telur dan
Ovarium yang telah matang akan meluas sampai ke ekor. Sperma yang dihasilkan
oleh udang jantan pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung
seperti
lender yang dinamakan spermatophora (kantung sperma). Dengan bantuan petasma,
spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina bertelur spermatophora akan
pecah dan sel-sel spermanya akan membuahi telur di luar badan induknya (Mujiman
dan Suyanto, 2005).
2.3. Sifat
dan Perilaku
Berikut beberapa sifat dan perilaku udang windu yang perlu
diketahui oleh pembudidaya udang agar pelaksanaan pemeliharaan udang berhasil
secara optimal.
2.3.1. Aktivitas
Udang mempunyai sifat nocturnal artinya udang aktif bergerak
dan mencari makan pada suasana yang gelap atau redup bila sinar terlalu cerah
udang akan diam berlindung di dasar perairan oleh karena itu udang perlu diberi
pakan lebih banyak pada sore hari dan malam hari sedangkan saat siang yang
cerah hanya sedikit pakan yang dibutuhkan. Udang windu lebih suka tinggal di
dasar perairan (bentik) atau menempel pada sesuatu benda di dalam air jenis ini
pun peka terhadap kondisi dasar tambak yang kotor dan busuk yang menyebabkan
udang lekas stress.
2.3.2. Kanibalisme
Umumnya udang dan semua bangsa krustasea bersifat kanibal,
yaitu memangsa sesama jenis yang lebih lemah kondisinya misalnya udang yang
sedang dalam proses ganti kulit seringkali dimakan oleh udang lain. Udang
berukuran lebih kecil dimakan oleh udang besar terutama bila dalam keadaan
kurang makan.
2.3.3. Ganti
kulit
Udang berganti kulit secara periodik pada proses ganti kulit
badan udang berkesempatan untuk bertumbuh besar secara nyata. Udang muda lebih
sering ganti kulit ketimbang udang tua sehingga udang muda lebih cepat tumbuh
ketimbang yang tua.
2.3.4. Daya
tahan
Pada waktu masih benih, udang bersifat euryhaline yang
sangat tahan terhadap fluktuasi kadar garam oleh sebab itu udang windu dapat
dipelihara di
tambak
dengan kadar garam bervariasi. Dari kisaran salinitan 3 – 5 promil di tambak
yang jauh dari laut hingga dalam tambak dekat laut berkadar salinitas 20 – 30
promil.Di tambak yang berair dangkal daya tahan terhadap goncangan suhu juga
cukup besar. Di malam hari suhu dapat mencapai 22 °C atau dibawah 25 °C namun di
siang hari terutama musim kemarau mungkin suhu sering mencapai 31 °C meskipun
demikian udang windu tetap dapat tumbuh dengan cukup baik (Suyanto dan
Takarina, 2009).
2.4. Siklus Hidup Udang Windu
Siklus hidup udang windu sebenarnya telah banyak diteliti
antara lain oleh Motoh (1981) yang
membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu sebagai berikut :
a.
Tahap embrio : dimulai pada saat pembuahan sampai
penetasan
b.
Tahap larva: terdiri dari stadium naplius, zoea,
mysis, dan postlarva.Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen keenam
yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan
ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antena hingga
telson.
c.
Tahap juvenile: pada stadium awal ditandai oleh warna
tubuh yang transparan dengan pita cokelat gelap di bagian sentral.Tahap ini
ditandai dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti
telah menginjak tahap udang muda.
d.
Tahap udang muda: pada tahap ini proposi ukuran tubuh mulai
stabil dan tumbuh tanda –tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu
jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkangnya 30 mm,
sedangkan pada betina thelycum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapai
37 mm.
e.
Tahap sub adult: ditandai dengan adanya kematangan
seksual.
f.
Tahap dewasa: udang windu dewasa ditandai dengan
kematangan gonad yang sempurna.Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada
pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovocytus yang telah
berkembang di dalam ovariumnya.
2.5.
Kebiasaan Makan Udang Windu
Udang merupakan
organisme yang aktif mencari makan pada malam hari(nocturnal). Jenis makannya
sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umurudang.Pada stadia benih,
makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton danzooplankton). Udang dewasa
menyukai daging binatang lunak atau molusca(kerang, tiram, siput), cacing,
annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea.Dalam usaha budidaya, udang
mendapatkan makanan alami yang tumbuh ditambak, yaitu klekap, lumut, plankton,
dan benthos. Udang akan bersifat kanibalbila kekurangan makanan. Pada siang
hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupunmenempelkan diri pada
sesuatu benda yang terbenam dalam air .Apabila keadaan lingkungan tambak cukup
baik, udang jarang sekalimenampakkan diri pada siang hari.Apabila pada suatu
tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut
merupakan tanda bahwa ada yangtidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh
jumlah makanan yang kurang,kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen
menurun, ataupun karenatimbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman
2004).
2.6.
Habitat Udang Windu
Amri (2003) menyatakan
bahwa habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis persyaratan hidup dari
tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya.Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut
hingga berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah.
Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada pemukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan
pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan
pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah
dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya
berpasir atau pasir lumpur.
2.7. Reproduksi Udang Windu
Toro dan Soegiarto (1979)
mengemukakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu
memepunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah
.Perkawinan udang terjadi di laut bebas dengan
jalan merapatkan perutnya
(ventral) masing-masing.Udang jantan biasanya lebih agresif dibanding betina,
perkawinan terjadi setelah betina mengganti kulit (moulting), udang
jantan tertarik kepada betina karena adanya hormon ektokrin yang keluar secara
eksternal yaitu pada saat telur dikeluarkan melaluai saluran telur (oviduk).
Pemijahan di alam terjadi sepanjang tahun
dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan akhir musim penghujan. Penurunan
kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir musim penghujan dibarengi dengan
perubahan suhu yang mendadak diduga memberi rangsangan pada induk yang matang
telur untuk memijah. Pada saat inilah benur dapat ditangkap pada jumlah yang
besar.Sedangkan pada pembenihan buatan prinsipnya diperlukan induk betina
matang telur yang sudah dikawini oleh udang jantan di dalam bak peneluran atau
didalam bak larva. Langkah berikutnya adalah menetaskan telur dan memelihara
larva dari hasil tetasan tersebut sampai mencapai tingkat post larva umur 5-10
hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976).
2.8. Peluang Usaha Udang Windu di
Indonesia
Indonesia sebagai
negara maritim dan kepulauan mempunyai panjang garis pantai 81.000 kilometer
yang memiliki potensi- sumber daya lahan pantai pasang surut seluruhnya sekitar
7.000.000 ha. Dengan luas perairan tiga kali lebih luas dibanding daratan,
Prospek sektor perikanan Indonesia sangat menjanjikan untuk dikembangkan, hal
ini karena banyaknya permintaan komoditi perikanan dari konsumen negara luar,
sehingga sangat menguntungkan bagi setiap perusahaan dalam mencari keuntungan
dan mengembangkan usahanya (Dahuri, 2002 dalam
Lawaputri, 2011).
Pembangunan perikanan
diarahkan untuk meningkatkan produksi perikanan guna memenuhi produksi pangan
dan kebutuhan industri pangan dan kebutuhan indistri dalam negeri, meningkatkan
ekspor, meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan petani tambak, memperluas kesempatan
kerja dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha.Sejalan dengan perkembangan
teknologi dan meningkatnya permintaan pasar, hasil perikanan baik untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun keluar negeri, maka pemerintah telah
melakukan berbagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.Dalam usaha peningkatan produksi tambak udang, petani tambak diarahkan
kepada penerapan sapta usaha pertambakan (Lawaputri, 2011).
Sektor perikanan
memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional.Ditinjau dari potensi
sumberdaya alam, Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia
karena memiliki potensi kekayaan sumberdaya perikanan yang relatif besar.Sektor
perikanan juga menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari kegiatan penangkapan,
budidaya, pengolahan, distribusi dan perdagangan.Oleh karena itu, pembangunan
sektor perikanan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah Indonesia (Triarso,
2013).Udang bersama-sama dengan Tuna dan cakalang merupakan salah satu
komoditas andalan ekspor sektor perikanan.Sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia, luas laut Indonesia lebih besar daripada daratanya.Dengan panjang garis
pantai sekitar 81.000 km, potensi lahan untuk dikembangkan untuk kegiatan
budidaya perairan sangat besar (Irawan, 2012).
Udang merupakan komoditas
ungulan yang memiliki nilai ekspor terbesar (21%) dari nilai perdagangan dunia
hasil perikanan. Sektor perikanan Indonesia mengandalkan sumber perolehana
devisa dari udang, karena 50% dari total ekspor hasil perikanan bersumber dari
udang tersebut. Ekspor udang Indonesia ke Jepang, Hongkong, AS dan Eropa.Pasar
Eropa tetap prospektif terutama karena pemekaran anggota, kemampuan daya beli
yang tinggi, di samping ketergantungan kepada impor udang makin besar.Di
samping Eropa tujuan ekspor udang kedua adalah Jepang.Peluang sangata besar,
namun tantangan yang dihadapi dalam pengembangan budidaya udang juga sangat
besar.Hal ini menuntut upaya berbagai pihak, baik pemerintah, pelaku budidaya,
swasta, dan stake holder untuk
menanggulangi bersama-sama tantangan tersebut (Hadie et al., 2010).
Sebelum tahun 1994
Udang windu (Penaeus monodon Fab) merupakan primadona komoditas eksport non
migas dari sektor perikanan, sehingga usaha budidaya udang ini masih mempunyai
prospek yang cerah dan merupakan andalan dari sektor perikanan.Nilai eksport
udang windu pada dekade sepuluh tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1992
mencapai 1200 U$ Dolar, dan saat itu Indonesia
termasuk empat besar dunia negara
pengeksport udang windu.Sebagai sumber protein udang windu juga mempunyai peran
yang besar dalam pemenuhan protein hewani asal ikan, karena nilai gizinya yang
tinggi (Rosati, 1994 dalam Mahasri et al., 2014).
Udang windu (Penaeus
monodon) masih menjadi salah satu komoditi perikanan andalan di Indonesia.Jenis
udang ini merupakan udang asli Indonesia yang telah dibudidayakan sejak
beberapa dekade lalu. Harga udang menjadi daya tarik utama pembudidayaan secara
besar-besaran sejak tahun 1990-an. Pada tahun 2014, dengan ukuran 30 ekor per
Kg, harga udang windu berkisar Rp 70.000 di tingkat pembudidaya, dan harga
ekspornya bisa mencapai Rp.120.000. Produksi udang windu nasional sebesar
131.641 Ton, sebanyak 41 persen dari produksi udang nasional dari hasil
budidaya (Statistik Perikanan - KKP, 2012 dalam
WWF Indonesia, 2014).
2.9. Bio
Security
Biosecurity berasal
dari kata bio artinya hidup dan security artinya pengamanan.Jadi biosecurity
adalah sebagai suatu tindakan atau program yang dirancang untuk mengurangi
penyebaran penyakit yang disebabkan oleh organisme dari satu lokasi ke lokasi
lainnya.Biosecurity praktis berhubungan dengan prosedur desinfeksi dan sanitasi
bahkan eradikasi atau mengurangi agen patogen sampai pada tingkat tidak
infeksius.Ada tiga perlakuan utama dalam biosecurity yaitu isolasi, kontrol
lalu lintas dan sanitasi.Kontrol lalu lintas dan sanitasi merupakan metoda yang
efektif untuk mengendalikan manajemen resiko suatu penyakit pada satu flok.
Bila dua komponen tersebut diabaikan, maka dengan melakukan sanitasi akan
sangat membantu prinsip biosecurity tersebut. Sanitasi adalah pembersihan dan
desinfeksi semua peralatan dan bahan yang masuk maupun yang ada di peternakan,
termasuk kebersihan petugas kandangnya.Semua komponen tersebut sangat krusial
untuk mengeliminasi keberadaan agen penyakit (Badan Litbang Pertanian, 2012).
Kegiatan budidaya udang
harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip bio-security yang ketat untuk
melindungi udang dari gangguan pathogen.Bio-security dapat diterapkan dengan
melakukan penyeleksian atas benih udang dengan menggunakan formalin dan PCR.Teknik
penanganan yang lainnya adalah penggunaan penyaring air pada saluran masuk dan
penampungan air.Penampungan air digunakan pada tambak yang berukuran yang besar
dan dalam yang mutlak bebas dari kepiting dan binatang berkulit keras lainnya
sebelum benih udang dimasukkan.Prinsip bio-security juga dapat diterapkan pada
saat pembangunan tambak udang melalui pembuatan sistem re-sirkulasi tertutup
atau sistem resirkulasi semi terbuka (SADI-ACIAR, 2009).
Standarisasi
pengelolaan operasional tambak udang ditujukan untuk menjaga kesehatan udang
dan lingkungannya. Standarisasi selayaknya akan meminimalkan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan serangan penyakit di tambak udang dengan menfokuskan pada
mutu tanah dasar, mutu lingkungan tambak udang, dan sistem pengelolaan budidaya
udang yang diterapkan oleh para petambak (SADI-ACIAR, 2009).
Penerapan biosecurity
dilakukan dengan cara menempatkan cuci kaki (foot bath) pada setiap pintu masuk
ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi ruangan
serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan (Panjaitan et al., 2014). Mengusir hewan-hewan yang
dapat menularkan penyakit maupun pemangsa udang yaitu dengan memasang perangkat
yang menghalau hewan-hewan tersebut.Menyiapkan air dalam wadah khusus yang
telah diberi desinfektan, kepada tamu atau pengunjung untuk mencuci tangan dan
kaki.Hal ini bertujuan menghilangkan penyakit udang yang mungkin terbawa dari
tambak sebelumnya.Pembuatan pagar untuk mencegah hewan besar berkeliaran
ditambak, sehingga tidak merusak tanggul dan menghindari masuknya kotoran
ternak. Proses biosecurity antar tambak dengan tidak mencampur peralatan antar
petakan tambak. Kebersihan area pemeliharaan udang dari sampah, baik yang
organik maupun anorganik (WWF Indonesia, 2014).
III. PEMBAHASAN
3.1.
Manajemen Hatchery Udang Windu
Usaha
pembenihan udang windu masih merupakan usaha yang terus berkembang sampai saat
ini dan produksi benur yang dihasilkan baru mencapai 3.700 juta ekor per tahun
dan baru dapat memenuhi kebutuhan sebanyak 40%-50% dari seluruh total kebutuhan
(Rukyani, 1994). Akan tetapi mulai tahun 1993 produksi ini menurun sebesar 70%
yang dikarenakan terjadi kasus kematian udang windu baik di tambak maupun di
Hatchery, yang dikarenakan oleh serangan penyakit maupun penurunan kualitas air
(Kompas, 1996).
Berbagai cara
yang dilakukan untuk meningkatkan hasil panen benur tersebut sampai saat ini
belum dapat diharapkan, bahkan pada saat musim tebar banyak para petambak
terpaksa tidak tebar, karena tidak mendapatkan benur. Hal ini akan mengakibatkan
menurunkan hasil panen yang secara otomatis akan menurunkankan penghasilan,
sehingga sangat perlu dilakukan perbaikan-perbaikan teknologi tepat guna dalam
pembenihan udang windu tersebut
Usaha pembenihan skala rumah tangga sudah menjadi
usaha alternatif bagi anggota, akan tetapi karena kasus kematian masih tetap
tinggi, sehingga perlu penerapan teknologi tepat guna untuk meningkatkan hasil
panennya. Kendala utama penyebab menurunnya hasil panen benur di pembenihan
udang skala rumah tangga adalah adanya serangan penyakit dan penyediaan
kualitas air agar kandungan oksigen dalam bak pembenihan dapat optimal. Untuk
mengatasi kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya agar larva udang yang
dipelihara di panti pembenihan tahan terhadap lingkungan yang kurang sesuai dan
tahan terhadap serangan penyakit. Salah satu upaya yang diterapkan pada
kegiatan ini adalah penggunaan imunostimulan (imunisasi) terhadap larva udang
(Stadia Zoea) yang akan dipelihara untuk dijadikan benih. Mahasri (2007)
mengatakan bahwa penggunaan imunostimulan dari protein membran parasit dapat
menurunkan infestasi protozoa patogen dan meningkatkan tingkat kelangsungan
hidup udang stadia juvenil dari 10% hingga 70%. Imunostimulan ini akan
merangsang dan meningkatkan aktivitas sel-sel pertahanan tubuh sehingga dapat
tahan terhadap serang penyakit.
Manajemen hatchery udang windu terdiri dari:
1.
Manajemen
pembenihan
2.
Manajemen
pakan
3.
Manajemen
kualitas air
4.
Manajemen
penyakit
Pembenihan merupakan awal dari budidaya udang
windu.Dimana kesuksesan budidaya udang windu juga ditentukan oleh kualitas
benih. Oleh karena itu untuk menghasilkan benih yang berkualitas diperlukan
pengelolaan yang baik saat proses pembenihan(hatchery). Menurut Menegristek
BPPIPTEK (2011) benih udang/benur yang didapat dari pembibitan haruslah benur
yang bermutu baik. Adapun sifat dan ciri benur yang bermutu baik yang didapat
dari tempat pembibitan adalah:
a.
Umur dan ukuran benur harus seragam.
b.
Bila dikejutkan benur sehat akan
melentik.
c.
Benur berwarna tidak pucat.
d.
Badan benur tidak bengkok dan tidak
cacat.
3.1.1. Manajemen
Pembenihan Udang Windu
1.
Persiapan Wadah
Wadah yang
dibutuhkan pada hatchery udang windu adalah Bak Pemeliharaan Induk, Bak
Penetasan, Bak Pemeliharaan Larva, Bak Pemeliharaan Fitoplankton atau Alga, Bak
Kultur Artemia, Bak Tandon Air Laut, Bak Tandon Air Tawar, Mesin Pompa Air,
Mesin Blower, Mesin Genset. Bak Pembesaran Bak
pembesaran merupakan bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva atau
benur sejak fase nauplius hingga post larva (PL). Sebelum digunakan, bak
dibersihkan terlebih dahulu dengan cara disikat hingga bersih kemudian diisi
dengan air treatment dan diberi antibiotik (Elbasin) untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. Dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen untuk larva udang.
2.
Seleksi dan Pemeliharaan Induk Udang Windu
Udang yang dijadikan sebagai induk (Broadstock) sebaiknya
bersifat SPF (Spesific Pathogen Free). Udang tersebut dapat dibeli dari
jasa penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang
tersebut adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang
udang, seperti White spot dan lain-lain. Dan tersebut didapat dari sejumlah
besar family dengan seleksi tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi family,
seleksi massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut
adalah keturunan dari kelompok family yang diseleksi dan memiliki sifat
pertumbuhan yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam
tinggi (Prosedur Oprasioanal Standar BBAP Ujung Batee, 2008).
Sebelum proses pembenihan larva atau benur, hal yang pertama
dialakukan adalah dengan menyiapkan induk udang windu dan menyiapkan tempat
untuk pembenihan (bak). Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang menyuplai
indukan udang windu dari nelayan daerah Kota Balikpapan.Induk udang windu yang
sehat dan telah siap telur didatangkan langsung dari Balikpapan dan merupakan
indukan yang berasal dari tangkapan alam (bukan hasil Budidaya). Induk udang windu dipilih dengan
kualitas yang terbaik agar dapat menghasilkan telur dengan baik dan maksimal.
Induk udang windu yang digunakan adalah induk betina yang berukuran 25-30
cm dan 20-25 cm untuk udang jantan. Sebelum melakukan reproduksi, induk udang
terlebih dahulu ditreatmen
atau diaklimatisai terhadap suhu juga salinitas terhadap air media tempat
pemeliharaan dengan tujuan agar induk tidak mengalami stress karena
perubahan lingkungannya. Sebelum proses pembenihan dilakukan, proses
persiapan tempat harus dilakukan terlebih dahulu. UPT BBIP Kota Bontang
memiliki empat buah bak pemeliharaan larva yang berkapasitas 10 ton
setiap baknya. Bak-bak yang akan digunakan harus dibersihkan menggunakan
kaporit juga detergen kemudian disikat agar jamur yang menempel tidak
mengganggu proses pembenihan nantinya. Sanitasi bak bertujuan untuk
menghilangkan hama dan penggangu atau penyakit. Lalu bak diisi dengan air
treatment kemudian diberi aerasi sebagai sumber oksigen untuk larva atu benur.
Bak pemeliharaan juga harus dilengkapi dengan terpal yang berfungsi untuk
melindungi larva dari cahaya matahari karena kondisi yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah dengan kondisi yang gelap.
Balai Benih Ikan Pantai menggunakan induk udang windu
unggulan yang diperoleh dari nelayan Kota Balikpapan.Induk udang windu berasal
dari tangkapan alam, bukan berasal dari pembudidayaan.Induk udang windu yang
sehat (siap telur) didatangkan kemudian diberi perlakuan hingga udang bertelur.
Induk
udang windu yang telah siap telur disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam bak
khusus.Setelah udang bertelur kemudian telur ditunggu hingga menetas. Setelah
menetas, nauplius dipindah ke dalam bak pembesaran menggunakan saringan.
3. Tahap Pemijahan Induk
Udang Windu
Induk udang windu yang telah siap kemudian dimasukkan
kedalam tangki khusus (tangki peneluran). Udang akan dibiarkan semalaman
(bertelur) kemudian saat pagi hari induk udang windu dipindahkan dari tangki
peneluran. Induk udang windu yang sehat, mampu bertelur 600.000 sampai
dengan 700.000 butir setiap induknya. Dalam waktu 12-16 jam, telur-telur dalam
tangki akan berkembang menjadi larva tidak bersegmen atau disebut juga
dengan nauplius.
Setelah telur berkembang menjadi nauplius, nauplius tersebut
akan dipindahkan kedalam bak pembesaran atau pemeliharaan. Tangki bagian
bawah akan dibuka kemudian diberi pipa, ditampung menggunakan baskom dan
nauplius disaring menggunakan saringan, dimasukkan kedalam ember dan siap
dimasukkan kedalam bak pemeliharaan.
4. Tahap Penetasan Telur Udang Windu
Setelah proses pemijahan selesai dan semua induk bertelur,
maka kita angkat induk-induk betina dan jantan dan kita masukan kembali ke
kolam induk. Selanjutnya telur-telur di kolam tersebut juga kita angkat dan
kita pindahkan ke bak penetasan. Setelah telur menetas dan larva-larva
bermunculan, larva tersebut akan mengalami setidaknya empat tahapan
perkembangan selama kita rawat hingga menjadi bibit udang windu yang telah siap
untuk dipanen dan dibesarkan ataupun dijual.
Tahapan yang pertama yaitu menjadi nauplius, dimana larva
tersebut akan berganti kulit sebanyak enam kali dan proses ini memerlukan waktu
sekitar 50 jam. Ketika telah menjadi nauplius, larva kita pindahkan ke dalam
kolam atau bak pemeliharaan larva dengan intensitas sekitar 60 larva per liter
air. Selanjutnya larva tersebut akan memasuki tahapan yang berikutnya, yaitu
menjadi Zoea selama kurang lebih 100 jam. Selanjutnya larva akan menjadi mysis
selama 100 jam hingga memasuki tahapan yang terakhir, yakni post larva.
5. Tahap
Pemeliharaan Larva Udang Windu
Proses pemeliharaan larva atau benur dilakukan menggunakan
sistem bangunan tertutup. Bak pemeliharaan berada didalam ruangan
tertutup. Tujuannya agar proses pemeliharaan lebih baik dan aman dari lingkungan
sekitarnya. Terlindungi dari pengaruh hujan, angin dan lain-lain yang dapat mengakibatkan perubahan suhu pada
media air.Setelah nauplius di pindahkan dari tangki peneluran, kemudian
langsung dimasukkan kedalam bak pemeliharaan. Nauplius yang ditampung didalam
ember dimasukkan secara perlahan menggunakan gayung kedalam bak
pemeliharaan.
Larva
Udang Bak pembesaran larva yang telah disiapkan kemudian diisi dengan larva
udang windu (nauplius). Sebelum nauplius ditebar kedalam bak, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kedaan nauplius dan kualitas
air. Nauplius
yang baik adalah nauplius yang mempunyai gerakan aktif terutama bila terkena sinar.
selanjutnya pengawasan terhadap kualitas air terus menerus dilakukan. Jika
terjadi perbedaan atau perubahan segera distabilkan
Setelah
semuanya siap, nauplius siap ditebar dengan cara menuangkan air dalam baskom
menggunakan gayung yang berisi nauplius secara perlahan kedalam bak
pemeliharaan sampai nauplius dalam baskom habis.
Larva
Penanganan larva udang windu di Balai Benih Ikan Pantai dimulai dari fase
nauplius hingga post larva 12 (PL12). Selama proses pemeliharaan larva,
larva harus benar-benar diperhatikan dari segi pakan, kondisi air dan
lingkungan. Jumlah dan jenis pakan juga disesuaikan berdasarkan usia
larva.
6. Tahap Pemanenan
dan Pengemasan Benur Udang Windu
Pemanenan
dilakukan saat larva atau benur
berada pada fase post larva
12 (PL 12). Pemanenan dilakukan secara total terhadap semua larva yang terdapat
di bak pembesaran. Paralon pembuangan harus dipasang saringan dan diberi pipa
agak kecil agar saat panen air tidak mengalir terlalu deras
Pengemasan
dilakukan langsung bersamaan dengan proses pemanenan. Pengemasan
bertujuan untuk mempermudah proses penyaluran atau pendistribusian kepada
konsumen.
3.1.2. Manajemen Kualitas Air
Suhu air media pemeliharaan udanh windu berkisar antara
28-320C, dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu air adalah
Thermometer.Semakin tinggi suhu perairan, semakin
tinggi laju metabolisme didalam tubuh udang. Kondisi ini akan diimbangi dengan
meningkatnya laju konsumsi pakan. Bila suhu meningkat, udang akan stress dan
akan mengeluarkan lendir yang berlebihan, sebaliknya jika suhu terlalu rendah,
udang akan kurang makan dan bergerak. Sehingga pertumbuhannya akan lambat
(Sumeru dan Anna, 1992).
Penyiponan
Penyiponan merupakan salah satu perlakuan kepada larva yang
dilakukan dengan tujuan agar sisa – sisa pakan buatan maupun
sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehinnga didalam air tidak terjadi
penumbukan dan membusuk. Karena jika terjadi proses pembusukan, akan
menghasilkan gas – gas yang beracun juga dapat meningkatkan CO2 yang
dapat membahayakan larva.
Cara penyiponan larva adalah sebagai berikut :
1.
Menggunakan selang besar untuk
mengeluarkan larva dari dalam bak
2.
Selang diisi air sampai penuh kemudian
satu ujung sisinya dimasukkan kedalam bak.
3.
Air didalam bak akan keluar dari selang
satu ujung sisinya bersamaan dengan larva yang terikut kemudian ditampung ke
dalam baskom
4.
Setelah larva terpisah dengan kotoran,
kemudian larva dimasukkan kembali kedalam bak yang telah kembali diisi dengan
air treatmen baru.
Kualitas
Air Media Pemeliharaan Larva
Kualitas air sangat penting dalam kegiatan pembenihan.
Sehingga kualitas air harus terus diperhatikan agar proses pembenihan tidak
mengalami kegagalan yang dapat menyebabkan kerugian materi dan waktu. Kualitas air
media pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva
No.
Faktor Peubah Nauplius Zoea Mysis Post Larva
1. Suhu
Dalam ºC 30-32 30-32 30-32 30-32
2. Salinitas
% 30-35 30-35 30-35 30-35
3. pH 7
7 7 7
4. Oksigen
5 5 5
5
3.1.3. Manajemen
Pakan
Kebiasaan
Makan Larva Udang Windu
Pasokan pakan yang nutriennya cukup merupakan faktor penting
bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sampai menjadi benih
(Kudoh, 1983). Makanan alami merupakan makanan utama dan pertama yang harus
diberikan kepada larva dalam suatu kegiatan pembenihan.Salah satu pakan alami
yang sering diberikan dalam pembenihan udang adalah rotifera.Rotifera telah
digunakan secara luas sebagai pakan larva udang dan ikan.Udang bersifat
omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya, baik nabati
maupun hewani.Berdasarkan penelitian, di alam udang memang mempunyai sifat
pemakan segala. Kalau diperhatikan makanan udang windu dapat berbeda-beda
berdasarkan ukuran dan tingkatan dari udang itu sendiri, yaitu :
1.
Stadia
Nauplius, belum memerlukan makanan dari luar, karena masih mempunyai kantong
kuning telur
2.
Stadia
Zoea, sudah mulai memakan plankton, karena saluran makanan telah berkembang
sempurna .
3.
Stadia Mysis, mulai
menggemari makan zooplankton dan mulai bersifat carnivora
4.
Stadia Post larva,
sifatnya sudah mulai senang tinggal di dasar media tempat hidupnya dan masih
senang memakan detritus serta sisa-sisa mikroorganisme yang terdapat di dasar
perairan.Di alam umumnya udang aktif bergerak mencari makan pada malam hari,
oleh karena itu maka udang dimasukkan dalam kelompok hewan Nokturnal.
Aktivitas
makan dan jenis makanan merupakan salah satu faktor yang mem Berdasarkan uraian
diatas maka jenis pakan yang tepat diberikan kepada larva udang windu adalah
pakan alami karena pakan alami :
1.
Mempunyai bentuk
dan ukuran yang kecil sesuai dengan bukaan mulut larva
2.
Kandungan
gizinya lengkap dan cukup tinggi sangat dibutuhkan untuk proses
perkembangan tubuh larva
3.
Isi selnya padat
dan mempunyai dinding sel yang tipis sehingga mudah diserap, karena pada fase
larva belum ada enzim yang akan mencerna pakan sehingga pakan alami mudah
dicerna dalam saluran pencernaan larva dan didalam tubuh pakan alami terdapat
enzim yang dapat melakukan autolisis sendiri sehingga dapat mudah dicerna oleh
larva
4.
Tidak
menyebabkan penurunan kualitas air, karena pakan alami selama berada dalam
media pemeliharaan larva tidak mengeluarkan senyawa beracun
5.
Pergerakan pakan
alami relatif tidak terlalu aktif sehingga sangat mudah untuk ditangkap oleh
larva
6.
Meningkatkan
daya tahan larva terhadap penyakit dan perubahan kualitas air
7.
Ketersediaan
pakan alami relatif mudah dilakukan pembudidayaan karena cepat
perkembangbiakannya dan mudah membudidayakannya pengaruhi laju pertumbuhan udang windu
Pakan
Larva Udang Windu
Dalam pemeliharaannya, larva diberi pakan alami berupa
fitoplankton (Skeletonema sp.), zooplankton ( Artemia sp.) dan pakan buatan. Jenis
pakan harus disesuaikan dengan usia larva. Pakan yang diberikan harus sesuai
dengan ukuran mulut larva. Larva atau benur akan dipelihara hingga stadia post
larva 12 (PL 12). Larva akan mengalami beberapa fase hingga saatnya
dipanen yaitu : fase nauplius, zoea 1 sampai zoea 3, dan fase post larva 1
sampai post larva 12. Selama pemeliharahaan larva, larva diberi perlakuan
khusus agar larva dapat berkembang dengan baik. Pada stadia nauplius,
larva tidak memerlukan asupan energi atau makanan dari luar karena masih
memiliki kantong kuning telur yang dapat digunakan sebagai sumber
makanannya.Dan pada saat stadia zoea, larva sudah mulai harus memerlukan pakan
karena pada saat fase tersebut saluran pencernaan pada larva telah terbentuk
sempurna hingga stadia terus bertambah hingga menjadi udang windu dewasa.
Pakan mempengaruhi proses pertumbuhan atau perkembangan
larva. Selama larva dalam masa pemeliharaan (zoea sampai post larva 12), larva
diberi pakan berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan larva udang windu
selama berada dibak pemeliharaan adalah sebagai berikut :
a.
Pakan alami
Pakan
alami merupakan pakan berupa fitoplankton (Skeletonema sp.) dan zooplankton ( Artemia sp.).
Skeletonema sp merupakan pakan yang akan terus diberikan mulai stadia zoea
hingga stadia larva mysis post larva (mulai dari zoea sampai MPL). Skeletonema sp. juga dibudidayakan di Balai benih Ikan
Pantai Kota Bontang.Sehingga mempermudah untuk stok pakan alami larva. Larva
diberi pakan Skeletonema sp pada pukul 05.00, 09.00, 13.00, 17.00, 21.00
dan 01.00 WITA.
Cara pemberian pakan Skeletonema sp. adalah dengan menuang
Skeletonema ke dalam bak pemeliharaan menggunakan gayung. Cara
pemberian. Skeletonema tidak
boleh ditebar karena dapat merusak protein yang terkandung didalam Skeletonema sp. Artemia sp. merupakan salah satu pakan alami
(zooplankton) yang mulai diberikan kepada larva udang windu pada saat stadia
larva post larva 1 (PL 1). Artemia yang digunakan sebelumnya harus
dikultur terlebih dahulu. Karena Balai Benih Ikan Pantai Kota Bontang
menggunakan Artemia yang
telah dikalengkan kemudian harus dikultur terlebih dahulu agar Artemia dapat menetas kemudian di
jadikan sebagai pakan alami untuk larva udang windu. Sama halnya dengan Skeletonema, Artemia dituang ke dalam bak menggunakan gayung dan tidak
boleh ditebar karena dapat merusak protein yang terkandung didalamnya.
b.
Pakan Buatan
Pakan
Buatan merupakan pakan pendukung (tambahan) yang digunakan agar larva tetap
berada pada nutrisi yang cukup. Pakan buatan juga harus rutin diberikan
kepada larva hingga waktu pemanenan. Jenis pakan buatan yang digunakan
adalah Flakes, Frippak, ZM dan MPL. Sebelum diberikan ke larva, pakan buatan
harus dihancurkan terlebih dahulu menggunakan saringan pakan. Kemudian ditebar
ke seluruh bagian bak pemeliharaan agar pakan buatan dapat secara merata
dikonsumsi oleh semua larva yang tersebar didalam bak. Pakan buatan akan selalu
diberikan bersamaan dengan pakan alami. Komposisi dan jenis pakan buatan akan
berubah pada setiap stadia larva. Semakin naik fase larva maka jumlah pakan
buatan pada setiap jenisnya akan bertambah. Pakan buatan selalu ditimbang
menggunakan neraca ohaus, agar komposisinya tepat.
3.1.4. Manajemen
Penyakit
Pada saat kegiatan pemeliharaan nauplius berlangsung tidak menuntut kemungkinan akan munculnya penyakit akibat
adanya microorganisme ataupun kelainan
dasar yang akan
berdampak negatif pada nauplius
yang sedang dipelihara.
Penyakit merupakan hal yang
perlu diwaspadai, karena akan
berdampak secara keseluruhan dan menyebabkan kematian massal.
Untuk mencegah
timbulnya penyakit tersebut, maka yang
menjadi salah satu
jalan keluar yaitu
dengan cara pemberian
obat. Teknik pemberian
obat yang benar
dapat menjadi salah satu faktor yang
akan mempengaruhi tingkat
efektifitas / fungsional obat. Pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian obat yaitu Nauplius 6 :
Elbazine 1 ppm, Zoea 1: OTC 2 ppm, Mysis 1: OTC 2 ppm, Mysis 3: Eritromycine 1
ppm, PL 3: Eritromycine dan Treflan 1 ppm.
Salah satu
upaya terbaik dalam manajemen penyakit adalah usaha pencegahan atau preventif.
Salah satu upaya untuk meminimalisisr timbulnya penyakit dalam hatchery udang
windu adalah dengan penerapan biosecurity.
Peran biosecurity dalam usaha hatchery skala besar sangat membantu dalam upaya
pencegahan penyakit maupun hama yang mungkin muncul dan menginfeksi.
3.2. Peran Biosecurity terhadap Pertumbuhan
Udang Windu
Biosecurity salah satu metode dalam
mencegah timbulnya penyakit. Biosecurity merupakan satuan tindakan yang dapat
megurangi resiko masuknya penyakit dan penyebarannya dari suatu tempat ke
tempat lainnya (lotz, 1997). Biosecurity
adalah tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari kultivan yang
dibudidayakan di kolam induk, pembenihan maupun kolam pembesaran dari suatu
wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan penyakit (Lightner, 2003).
Level Biosecurity terdiri dari (1) Ultra high level; (2) High level; (3) Medium
level; (4) Low level; dan (5) None. Manfaat atau
peran biosecurity pada budidaya udang windu:
1.
Memperkecil
resiko penyakit
2.
Mendeteksi
secara dini adanya wabah penyakit
3.
Menekan kerugian
yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit
4.
Efisiensi waktu,
pakan, dan tenaga
5.
Kualitas udang
lebih terjamin
Penyakit Udang dipengaruhi oleh
lingkungan, kondisi udang, dan agen penyakit.Virus : TSV, WSSV, YHV, IHHNV,
IMNV. Bacteri : luminous bacterial disease, bacterial necrosis, dan filamentous
bacterial dissease. Protozoa : ciliate infection, gregarine infection, dan
microsporidiosis. Penerapan Biosecurity dalam Budidaya
Udang:
a.
first line of
defense: Barrier, Isolasi
(quarantine), water filtration, Zero water
exchange, Water sterilization, Equipment sterilization dan SPF Fry.
b.
Second line of
defense: Specific Pathogen Resistant, (SPR) dan Immunostimulant
Penerapan Biosecurity Pada
Kegiatan Budidaya Perairan
1. Manusia
Mobilitas
manusia sangat tinggi, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Manusia
merupakan carrier penyakit yang paling berbahaya. Oleh karena itu, semua yang
terlibat dalam kegiatan budidaya baik langsung maupun tidak langsung, harus
memperoleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai biosecurity.
Penerapan Biosecurity pada
manusia :
1.1 Alas kaki dilepas dan diganti
dengan perlengkapan khusus ketika memasuki daerah sensitif.
1.2 Menggunakan pakaian khusus
bila memasuki fasilitas sensitif
1.3 Peralatan tidak steril tidak
boleh berada di tambak
2. Hewan
Hewan bisa masuk ke kawasan
budidaya melalui :
·
Darat :
kepiting, kodok, ular, ayam, kambing, bebek, angsa, unggas liar dan hewan liar
lainnya.
·
Air : ikan
liar, udang liar, crustaceae kecil, kepiting, ular, serangga air.
Udara : Burung, serangga,
mikroorganisme yang terbawa angin atau aerosol
Penerapan Biosecurity untuk
mencegah hewan liar masuk lahan budidaya:
2.1. Multiple Screening
2.2. Crab Protecting Wall
2.3. Bird Scaring Line
3. Peralatan
Setiap selesai menggunakan
peralatan di tambak/lahan perikanan, peralatan tersebut harus dicuci dan
dikeringkan.
4. Kondisi Alam
4.1. Lokasi pertambakan di bawah
garis pasang surut, sehingga air pasang bisa masuk ke tambak dan ada potensi
terjadi kontaminasi.
4.2. Lokasi tambak berpasir,
porous, sehingga bisa terjadi kontaminasi silang antar tambak atau antara
tambak dengan kanal distribusi.
5. Sistem
Sistem budidaya terbuka (Open
System) lebih besar kemungkinan terjadi kontaminasi, baik secara mikrobiologis
maupun kimiawi. Carrier bisa masuk ke dalam sistem melalui air.
Upaya Pencegahan kontaminasi penyakit :
5.1. Bak pencuci
5.2. Foot Bath dan Disinfectant
Upaya Pencegahan dan
Pengobatan
1. Upaya Pencegahan
Untuk mencegah masuknya wabah
penyakit ke dalam kolam pembenihan atau mencegah meluasnya wilayah yang terkena
serangan penyakit dalam upaya mengurangi kerugian produksi akibat timbulnya
wabah penyakit. Beberapa tindakan upaya pencegahan antara lain melalui sanitasi
kolam, alat-alat, udang yang dipelihara, serta lingkungan tempat pembesaran.
a. Sanitasi Kolam
Sanitasi kolam dilaksanakan
melalui pengeringan, penjemuran, dan pengapuran dengan kapur tohor atau kapur
pertanian sebanyak 50-100 gram/m2 yang ditebar secara merata di
permukaan tanah dasar kolam dan sekeliling pematang kolam. Bahan lain yang bisa
digunakan untuk sanitasi kolam di antaranya methyline blue dengan dosis
20 ppm dan dibiarkan selama 2 jam. Kemudian kolam dimasuki air baru dan
ditebari ikan setelah kondisi air kembali normal.
b. Sanitasi Perlengkapan dan Peralatan
Perlengkapan dan peralatan kerja
sebaiknya selalu dalam keadaan suci hama. Caranya dengan merendam peralatan
dalam larutan PK atau larutan kaporit selama 30-60 menit. Pengunjung dari
luarpun sebaiknya tidak sembarangan memegnag atau mencelupkan bagian tubuh ke
dalam media air pemeliharaan sebelum disucihamakan.
c. Sanitasi Ikan Tebaran
Benur yang akan ditebarkan
sebaiknya selalu diperiksa dahulu. Bila menunjukkan gejala kelainan atau sakit
maka udang tersebut harus dikarantina terlebih dahulu untuk diobati.
d. Menjaga Lingkungan Tempat Pembesaran
Upaya lain perlindungan gangguan
dari penyakit udang adalah dengan menjaga kondisi lingkungan atau kondisi
ekologis perairan. caranya, setiap kolam pembesaran udang diusahakan mendapat
air yang baru dan masih segar, telah melalui sistem filtrasi, dan bahan-bahan
organik seperti sampah sedapat mungkin dihindari masuk ke dalam kolam.
2. Upaya Pengobatan
a.
Pencelupan
b.
Perendaman
c.
Usapan/olesan
d.
Pemberian obat melalui pakan
Penerapan biosecurity di tambak
1. Persiapan tambak
·
Pemasangan Bird
Scaring Device (BSD) yang terbuat dari benang jenis D-9 PE yang diikatkan
pada tiang dan pemasangan Crab Protecting Device (CPD) yang terbuat dari
plastik.
·
Pengeringan
tambak dengan nilai ORP (Organic Residu Potential) min 50 mV sekitar ±
10 hari.
·
Sterilisasi
untuk meminimalisir hewan maupun organisme bentik yang berpotensi sebagai carrier
(pembawa) patogen.
·
Pengapuran
dilakukan untuk menetralisir derajat keasaman atau pH dasar tambak menjadi
standar (pH 6,5-7).
·
Pengecekan
level muka air SO harus di bawah pipa elbow, sedangkan untuk saluran SO
50 cm di bawah pipa elbow.
2. Persiapan air
·
Pemasangan
filter saat air dipompa dari main inlet masuk ke reservoir
ataupun talang air ke petak pengendapan, dari petak pengendapan di flushing
(buang) ke sub inlet, dari sub inlet ke petakan treatment
dan dari supply canal ke petakan tambak. Digunakan 2 lapisan filter 300
I dan 1.000 i.
·
Sterilisasi
ganda pada perlakuan desinfektan digunakan pondfos sebanyak 2-3 ppm.
Jarak antara perlakuan 1 dan 2 dilakukan dalam jangka waktu 3 hari.
3. Seleksi benur yang mencakup
penerapan biosecurity pada seleksi benur yang akan ditebar.
4. Budidaya
·
Pengadaan alat
sanitasi tangan dan kaki, terdiri dari sabun antiseptik dan air bersih untuk
tangan, sedangkan alat sanitasi kaki digunakan Kalium Permenganat (KMNO4)
dengan dosis 70 ppm.
·
Perlakuan
sanitasi peralatan tambak perlu dilakukan dikarenakan penggunaan peralatan
secara bergantian tersebut dapat diindikasikan berperan sebagai carrier
(pembawa) patogen.
5. Panen darurat
·
Pengisolasian
tambak bertujuan untuk mencegah menularnya penyakit dari tambak satu ke yang
lainnya.
·
Penggunaan
dosing dengan KMN)4 dengan cara menggantungkannya pada pipa flushing dengan
dosis 10 ppm.
·
Perlakuan pada
daerah sub road dan sub outlet, dengan memberi KMNO4 sebanyak ± 5
ppm pada daerah sekitar sub road. Setelah proses panen selesai, lakukan
pemberian desinfektan dengan tujuan bibit-bibit penyakit tidak mencemari
lingkungan terutama pasa saluran sub outlet.
·
Pembakaran dan
penguburan bangkai udang.
3.3. Kekurangan dan Kelebihan Bioseurity
Biosecurity
adalah serangkaian prosedur yang
diterapkan pada tambak udang windu dengan tujuan untuk menangkal masuknya
penyakit ke dalam sistem budidaya. Sistem biosecurity
menerapkan praktik manajemen kesehatan ikan. Subaidah et al. (2006) yang
menyatakan bahwa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi
serangan hama dan penyakit antara lain adalah dengan menerapkan sistem biosecurity.
Upaya menjaga kesehatan larva dilakukan dengan cara mengelola kualitas air dan
penerapan biosecurity serta strerilisasi terhadap semua peralatan yang
digunakan.
Biosecurity
diterapkan dengan pemasangan beberapa pemasangan alat tambahan dalam fasilitas
budidaya.Pemasangan Bird Scaring Device
berguna untuk melindungi tambak dari serangan burung. Penambahan filter pada pintu masuk air dapat
mengurangi resiko masuknya patogen ke dalam wadah budidaya. Pengadaan
sanitasi bertujuan untuk meminimalisir penyeberan patogen melalui peralatan budidaya yang digunakan secara
bergantian. Hal ini diperkuat oleh Panjaitan et al. (2014) yang menyatakan bahwa penerapan biosecurity dilakukan
dengan cara menempatkan cuci kaki (foot bath) pada setiap pintu masuk
ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi
ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan. Penerapan sistem biosecurity
tentu memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam penerapannya. Kelebihan dari
penerapan sistem biosecurity antara
lain adalah sebagai berikut :
1.
Meminimalisir resiko masuknya sumber
patogen ke dalam sistem budidaya udang windu.
2.
Mengurangi resiko penyebaran patogen
jika ada salah satu tambak yang terserang penyakit.
3.
Meningkatkan hasil produksi udang windu.
Menurut Hudaidah et
al. (2014) Penyaringan air, pembatasan jumlah kunjungan dan prosedur operasional standar
biosekuritas yang tidak dilaksanakan sesuai dengan standar biosekuritas
menyebabkan infeksi penyakit virus dan budidaya udang tidak berlanjut.
penerapan biosekuritas secara tidak langsung berhubungan dengan kualitas air
dan infestasi penyakit. Standar biosekuritas yang diterapkan konsisten akan
menjadi kunci penerapan manajemen kesehatan budidaya ikan. Hal ini diperkuat
oleh Ristiyawan et al. (2013) yang
menyatakan bahwa menerapkan prinsipprinsip Biosecurity dan praktik
karantina ikan yang baik sebagai upaya mengendalikan penyebaran penyakit pada
unit usaha pembudidaya ikan.
Selain kelebihan,
penerapan sistem biosecurity juga
memilki kekurangan. Kekurangan dari
penerapan sistem biosecurity adalah
sebagai berikut :
1.
Pemasangan peralatan tambahan dapat
meningkatkan biaya produksi.
2.
Penerapan biosecurity yang dianggap
rumit bagi para pembudidaya.
Hal ini diperkuat oleh Hudaidah et al.
(2014) yang menyatakan bahwa selama ini penerapan biosekuritas diterapkan
dengan mengeluarkan biaya yang besar sehingga biaya produksi budidaya udang
menjadi besar.
3.4. Meningkatkan Produksi 50 Juta per Periode
Perlu dilakukan teknis
budidaya yang baik unuk mendapatkan hasil produksi pembenihan udang windu yang baik
pula.Teknik pembudidayaan (pemeliharaan) larva udang windu mempengaruhi jumlah
hasil panen yang diproduksi. Perlakuan
yang baik dan benar harus dilakukan agar menghasilkan larva - larva udang windu sesuai
dengan yang diharapkan. Sarana dan Prasarana yang baik dan penerapan yang benar
juga meruapkan faktor yang menentukan keberhasilan produksi pembenihan udang
windu.Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam
sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya
akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu berkualitas.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan
peningkatan produksi pembenihan udang windu.Salah satu faktor untuk mencukupi
kebutuhan ketersediaan udang windu yang berkualitas adalah faktor pakan. Pakan
adalah salah satu faktor input produksi untuk mencapai peningkatan produksi
organisme budidaya. Pada stadium postlarva, udang windu masih diberikan pakan
alami dari berbagai jenis hewan, salah satu diantaranya adalah nauplius
Artemia, dengan kandungan nutrisi yang dirasa cukup memenuhi untuk menunjang
pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan daya tahan tubuh. Hal tersebut diperkuat
oleh Yuniarso (2006) bahwa udang windu membutuhkan lemak dan asam lemak dalam
pakannya.Kebutuhan lemak dan asam lemak dapat dipenuhi dari Artemia sebagai
pakan alami yang tidak tergantikan. Namun, kandungan asam lemaknya masih jauh
dari ideal yang dibutuhkan, misalnya eicospentaenoic
acid (EPA) dan docohexaenoic acid (DHA) yang mempunyai peran penting dalam
menunjang pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan berjalannya fungsi metabolisme
secara normal. Oleh karena itu dalam penelitian ini, sebelum Artemia tersebut
digunakan terlebih dahulu diperkaya kandungan nutrisinya dengan silase ikan.
Perkembangan
pertumbuhan kultivan sangat ditentukan oleh mutu
pakan yang tersedia; jumlah
pakan; frekuensi
pemberian pakan; kualitas
air (stabilitas mutu air dan minimum harian serta rata-tata); keefektifan sistem pembuangan limbah,
metabolik secara biologi, fisik dan atau mekanik; besaran dan frekuensi stres lingkungan
terhadap spesies yang dibudidayakan;
dan kesehatan
kultivan.
Faktor kualitas air
menjadi penting mengingat bahwa udang windu erupakan kultivan yang cukup mudah
dipengaruhi kualitas air. Besar kecilnya
perubahan kualitas air dapat mempengaruhi sifat fungsional dan struktural udang
yang dipelihara. Jika terjadi perubahan maka udang akan melakukan mekanisme
osmoregulasi untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh terhadap lingkungan
eksternal. Oleh karena kerja osmotik tersebut berhubungan dengan efisiensi
penggunaan energi yang pada akhirnya berhubungan dengan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang. Kualitas air tersebut juga meliputi DO, pH, salinitas, suhu,
ammonia, nitrit, dan sebagainya.
Kemudian, perlu
diketahui analisa usaha pembenihan udang windu untuk mengetahui produksi yang
dilakukan dengan kegiatan yang dilakukan dan sarana prasarana yang dibutuhkan
dalam periode tertentu. Analisa usaha diperlukan untuk memberikan gambaran
terkait prospek usaha yang akan dilakukan, apakah dapat dilakukan dan
menguntungkan atau tidak. Aspek umum yang menjadi obyek analisa kelayakan usaha
diantaranya yakni aspek
hokum, aspek
lingkungan, aspek
pasar dan pemasaran, aspek
teknis dan teknologi, aspek
sumberdaya manusia dan aspek
keuangan.
Analisa keuangan
dibahas untuk memberikan semangat kepada pembudidaya bahwa walaupun perbaikan
sistem budidaya memerlukan dana namun juga dapat memberikan sumbangan positif
terhadap pendapatan.
Biaya Tetap :
Bak Pembenihan = Rp. 30.000.000 (perbak
1.500.000 x 12 bak)
Kebutuhan indukan 75 induk (Ratio 1:2), Induk
jantan dan betina = Rp. 2.000.000
Biaya operasional :
Tenaga kerja/ 12 bak unit
15
x 2.000.000 = Rp. 30.000.000
Kebutuhan air+listrik = Rp. 1.500.000
Biaya total = Biaya Tetap + Biaya operasional
= Rp. 32.000.000 + Rp. 31.500.000
= Rp. 63.500.000
Pendapatan = (3.300.000 benih @Rp. 35,-)
= Rp. 115.000.000,-
Total Pendapatan = Rp. 115.000.000 – Rp.
63.500.000
=
Rp. 51.500.000,-
Kemudian dari hal
tersebut diatas untuk mendapatkan produksi yang baik, maka perlu dilakukan
pengembangan sistem budidayanya dengan tujuan yaitu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat pembudidaya, meningkatkan mutu produksi dan
produktifitas usaha perikanan budidaya untuk penyediaan bahan baku industri
perikanan dalam negeri, meningkatkan ekspor hasil perikanan budidaya dan
memenuhi kebutuhan konsumsi ikan masyarakat, meningkatkan upaya perlindungan
dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan makalah
yang telah dibuat, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Dalam
manajemen hatchery udang windu hal-hal yang harus diperhatiakan adalah Karakteristik
Induk Udang, kualitas air, Kebiasaan
Makan Larva Udang Windu (Penaeus monodon), Persiapan
Induk dan Tempat Pembenihan Udang Windu (Penaeus
monodon), Tahap Pembenihan Udang Windu (Penaeus
monodon), Pakan
Larva Udang Windu, Kualitas
Air Media Pemeliharaan Larva.
2.
Manfaat
biosecurity dalam budidaya udang windu adalah memperkecil resiko penyakit, mendeteksi
secara dini adanya wabah penyakit, menekan
kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit, efisiensi waktu, pakan, dan tenaga, kualitas
udang lebih terjamin.
3.
Kelebihan dan kekurangan penggunaan biosecurity dalam
budidaya udang windu adalah Meminimalisir dan mengurangi resiko masuknya sumber
patogen ke dalam sistem budidaya udang windu, meningkatkan hasil produksi udang
windu sedangkan kekurangannya Pemasangan
peralatan tambahan dapat meningkatkan biaya produksi, penerapan biosecurity yang rumit bagi
para pembudidaya.
4.
Sarana dan Prasarana yang baik dan
penerapan yang benar meruapkan faktor
yang menentukan keberhasilan produksi pembenihan udang windu. Keberhasilan
pembenihan akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu berkualitas.
4.2.
Saran
Berdasarkan makalah yang
telah dibuat, saran yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.
Berbudidaya
udang harus menerapkan manajemen yang baik dan benar seperti pemilihan induk,
pemeliharaan larva, kontrol kualitas air, dan pemberian pakan.
2.
Berbudidaya
udang sangat dianjurkan untuk menerapkan bio security.
DAFTAR PUSTAKA
Adi,
S. 2011. Analisa Usaha Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Payau Jepara.
Amri, K., 2003. Budidaya
Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Badan
Litbang Pertanian. 2012. Biosecurity Budidaya Peternakan Ayam. Agroinovasi
Edisi 6-12 Juni 2012 No.3460 Tahun XLII.Sinartani. Hlm: 2 – 10.
Berkelanjutan.Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan.
Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.2011. Budidaya Udang Windu (Palaemonidae / Penaeidae). Budidaya Perikanan. Jakarta. 22 Hlm.
Poernoma, A., 1976. Budidaya
Udang Windu di Tambak Potensial Budidaya Produksi dan Udang Sebagai Lahan Makanan di
Indonesia.Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya
Ekonomi.Lembaga Organisasi (LIPI) Jakarta. Hal.41.
Suyanto, S.
Rachmatun dan Mujiman Ahmad. 2004. Budidaya Udang Windu.Penebar Swadaya.
Jakarta.
Toro, V dan Soegiarto., 1979. Biologi
Udang Windu. Proyek Penelitian Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oceanoligi
LIPI. Jakarta. 144
Halaman.
Yuniarso, T. 2006. Peningkatan Kelangsungan Hidup,
Pertumbuhan, Dan Daya Tahan Udang
Windu (Penaeus Monodon Fab.) Stadium Pl 7 – Pl 20 Setelah Pemberian Silase Artemia Yang Telah Diperkaya Dengan
Silase Ikan. Universitas
Sebelas Maret Surakarta. [SKRIPSI].
Hadie,
LE., Hadie, W., Imron., Khasani, I. Dan Listyanto, N. 2010. Strategi Pengembangan
Budidaya Udang Galah Gimacro.Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 67 – 77.
Hudaidah
S., A. Kahfi, G. A. Akbaidar, Wardiyanto
Dan Y.T. Adiputra. 2014. Modifikasi Biosekuritas, Peningkatan Performa Tambak
Dan Keberlanjutan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus
Vannamei) Di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Perikanan
Dan Sumberdaya Perairan.
Irawan,
FP. 2012. Analisis Usahatani Pembenihan Udang Vannamei dan Pengembanganya
Di CV. Gelondongan Vannamei Desa Banjarsari
Kecamatan Cerme Kabupaten
Gresik [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas
Pembangunan Nasional. Jawa Timur.
Lawaputri,
AT.2011. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Udang Vannamei (Litopaneaus vannamei) Intensif di
Kabupaten Takalar (Studi Kasus Usaha Tambak Udang Kurnia Subur)
[Skripsi].Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Mahasri,G, 2007. Kemampuan ikan Bandeng sebagai
Filter Biologi dalam Menekan
Pertumbuhan Ciliata Patogen pada Tambak, LPPM Universitas Airlangga, Surabaya.
Mahasri,
G., Sudarno dan Kusdarwati, R. 2014.IbM bagi Petani Benih Udang Windu Skala
Rumah Tangga (Backyard) di Desa Kalitengah Kecamatan Tanggulangin
Sidoarjo yang Mengalami Gagal Panen Berkepanjangan karena Serangan Penyakit. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 6 (1): 31 – 36.
PanjaitanA. S., W. Hadie Dan
S. Harijati. 2014. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus
Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda.
Jurnal Manajemen Perikanan Dan Kelautan 1 (1).
Ristiyawan B.,
S. Anggoro Dan B. Yulianto. 2013. Peranan Implementasi Kebijakan Karantina Ikan Dalam Pembangunan Perikanan.
Rukyani, A,
1994, Jenis Penyakit Udang, Makalah Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi
Pertanian, BIP Lampung, 9 – 11 Januari 1994.
Subaidah,
S., Susetyo P., Mizab A., Tabah I.,, Gede S., Detrich N. & Cahyaningsih. S. 2006. Pembenihan
Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei). Balai Budidaya Air Payau Situbondo.Situbondo
: 33 –
Bagus sekali untuk dipelajari,terima kasih