MANAJEMEN HATCHERY UDANG WINDU (Penaeus monodon) MENGGUNAKAN BIOSECURITY DAN KAPASITAS PRODUKSI 50 JUTA/PERIODE

Jumat, 16 Maret 2018

PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri perikanan budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high demand product). Udang windu (Penaeus monodon) merupakan komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu.Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986.
Semakin kurangnya ketersediaan induk dan benih udang windu di laut ditambah adanya Keputusan Presiden tentang larangan penggunaan pukat harimau (trawl) menyebabkan semakin turunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang dari hasil budidaya harus ditingkatkan.Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya dapat dicapai bila disuplai faktor-faktor produksi, khususnya benih udang dapat terjamin sepenuhnya.Pengembangan teknik-teknik pembenihan udang harus terus dilakukan untuk menunjang kegiatan budidaya udang windu.
Perkembangan budidaya udang windu sendiri telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini didukung oleh usaha budidaya yang intensif dengan teknologi yang sudah dikuasai, harga yang tinggi dipasar lokal maupun internasional dan peluang yang luas telah membuat udang windu menjadi komoditas harapan bagi para pengusaha sehingga banyak yang berani menanamkan modal bisnis udang windu ini.
Guna menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan (hatchery) udang windu.Usaha pembenihan udang ini berkembang pesat setelah ditemukannya teknik ablasi mata.Dengan teknik tersebut maka masalah penyediaan induk matang telur dapat diatasi dan seluruh siklus hidup udang dapat diusahakan dalam lingkungan yang terkontrol.
Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada
akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas. Hal ini diperkuat oleh Mahasri et al (2014) bahwa tingkat keberhasilan budidaya udang windu sangat ditentukan oleh usaha pembenihan udang yang dilakukan oleh Panti Pembenihan (Hatchery), Panti Pembenihan Skala Rumah Tangga (Backyard) maupun skala besar dalam menyediakan benur udang yang berkualitas dan bebas penyakit. Usaha pembenihan udang windu masih merupakan usaha yang terus berkembang sampai saat ini dan produksi benur yang dihasilkan baru mencapai 3.700 juta ekor per tahun dan baru dapat memenuhi kebutuhan sebanyak 40%-50% dari seluruh total kebutuhan.
Biosecurity pada budidaya udang adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk menangkal masuknya penyakit dalam fasilitas budidaya, mulai dari tempat pemeliharaan induk, pembenuran sampai pembesaran, serta mencegah penyebaran penyakit dari tambak yang sudah terinfeksi.Manfaat Biosecurity yaitu memperkecil resiko penyakit mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit menekan kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit efisiensi waktu, pakan, dan tenaga kualitas udang lebih terjamin.

1.2.       Rumusan Masalah
Berbudidaya udang harus memiliki manajemen yang baik khususnya pada proses hatchery. Untuk menjaga keamanan dan kelangsungan proses budidaya diperlukan antisipasi dengan cara biosecurity. Penggunaan biosecurity tentunya memiliki kelemahan dan kelebihan, sehingga ada hal-hal yang menjadi perhatian dalam meningkatkan produksi udang 50 juta dalam satu periode. Rumusan masalah berdasarkan uraian di atas adalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana manajemen hatchery udang windu?
2.        Bagaimana peranan biosecurity terhadap pertumbuhan udang windu?
3.        Apa kelebihan dan kelemahan dari biosecurity?

4.        Apa saja  hal-hal yang diperhatikan untuk meningkakan produksi 50 juta dalam satu periode?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.             Mengetahui manajemen hatchery udang windu.
2.             Mengetahui peranan biosecurity terhadap pertumbuhan udang windu.
3.             Mengetahui kelebihan dan kelemahan dari biosecurity.


TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Klasifikasi Udang Windu
Menurut Romimohtarto (2005)  klasifikasi udang windu (Panaeus monodon), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia                            
Filum : Arthropod
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies :Penaeus monodon

2.2.       Morfologi dan Anatomi Udang Windu
Dilihat dari luar tubuh udang terdiri dari dua bagian yaitu bagian depan dan bagian belakang bagian depan disebut bagian kepala yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu itu dinamakan kepala-dada (cepholothorax) serta bagian perut (abdomen) terdapat ekor dibagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen) kepala dada terdiri dari 13 ruas yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas sedangkan bagian perut terdiri dari 6 ruas. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang terbuat dari bahan chitin.Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungannya antara dua ruas tubuh yang berdekatan.Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Mujiman dan Suyanto, 2005).
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian kepala dan bagian badan bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing.
2.2.1. Bagian kepala
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau Carapace. Bagian depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau rostrum. Pada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi untuk P monodon. Bagian kepala lainnya adalah : Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan, Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang kuat., Sepasang sungut besar atau antenna, Dua pasang sungut kecil atau antennula, Sepasang sirip kepala (Scophocerit), Sepasang alat pembantu rahang (Maxilliped), Lima pasang kaki jalan (pereopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga bercapit yang dinamakan chela. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.
2.2.2. Bagian badan dan perut (abdomen)
Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya yang disebut telson.Organ dalam yang bisa diamati adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.
2.2.3. Alat kelamin
Udang jantan dan udang betina dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya.Alat luar jantan disebut petasma, yang terdapat pada kak renang pertama.Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5.Sedangkan lubang saluran kelaminnya terletak diantara pangkal kaki jalan ke-3.Alat kelamin primer yang disebut gonad terdapat didalam bagian kepala dada. Pada udang jantan yang dewasa gonad akan menjadi testes yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Sedangkan pada udang betina gonad akan menjadi ovarium (indung telur) yang berfungsi untuk menghasilkan telur dan Ovarium yang telah matang akan meluas sampai ke ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung

seperti lender yang dinamakan spermatophora (kantung sperma). Dengan bantuan petasma, spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina bertelur spermatophora akan pecah dan sel-sel spermanya akan membuahi telur di luar badan induknya (Mujiman dan Suyanto, 2005).

2.3.       Sifat dan Perilaku
Berikut beberapa sifat dan perilaku udang windu yang perlu diketahui oleh pembudidaya udang agar pelaksanaan pemeliharaan udang berhasil secara optimal.
2.3.1. Aktivitas
Udang mempunyai sifat nocturnal artinya udang aktif bergerak dan mencari makan pada suasana yang gelap atau redup bila sinar terlalu cerah udang akan diam berlindung di dasar perairan oleh karena itu udang perlu diberi pakan lebih banyak pada sore hari dan malam hari sedangkan saat siang yang cerah hanya sedikit pakan yang dibutuhkan. Udang windu lebih suka tinggal di dasar perairan (bentik) atau menempel pada sesuatu benda di dalam air jenis ini pun peka terhadap kondisi dasar tambak yang kotor dan busuk yang menyebabkan udang lekas stress.
2.3.2. Kanibalisme
Umumnya udang dan semua bangsa krustasea bersifat kanibal, yaitu memangsa sesama jenis yang lebih lemah kondisinya misalnya udang yang sedang dalam proses ganti kulit seringkali dimakan oleh udang lain. Udang berukuran lebih kecil dimakan oleh udang besar terutama bila dalam keadaan kurang makan.
2.3.3. Ganti kulit
Udang berganti kulit secara periodik pada proses ganti kulit badan udang berkesempatan untuk bertumbuh besar secara nyata. Udang muda lebih sering ganti kulit ketimbang udang tua sehingga udang muda lebih cepat tumbuh ketimbang yang tua.
2.3.4. Daya tahan
Pada waktu masih benih, udang bersifat euryhaline yang sangat tahan terhadap fluktuasi kadar garam oleh sebab itu udang windu dapat dipelihara di

tambak dengan kadar garam bervariasi. Dari kisaran salinitan 3 – 5 promil di tambak yang jauh dari laut hingga dalam tambak dekat laut berkadar salinitas 20 – 30 promil.Di tambak yang berair dangkal daya tahan terhadap goncangan suhu juga cukup besar. Di malam hari suhu dapat mencapai 22 °C atau dibawah 25 °C namun di siang hari terutama musim kemarau mungkin suhu sering mencapai 31 °C meskipun demikian udang windu tetap dapat tumbuh dengan cukup baik (Suyanto dan Takarina, 2009).

2.4.       Siklus Hidup Udang Windu
Siklus hidup udang windu sebenarnya telah banyak diteliti antara lain oleh  Motoh (1981) yang membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu sebagai berikut :
a.         Tahap embrio : dimulai pada saat pembuahan sampai penetasan
b.        Tahap larva: terdiri dari stadium naplius, zoea, mysis, dan postlarva.Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen keenam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antena hingga telson.
c.         Tahap juvenile: pada stadium awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita cokelat gelap di bagian sentral.Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda.
d.        Tahap udang muda: pada tahap ini proposi ukuran tubuh mulai stabil dan tumbuh tanda –tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkangnya 30 mm, sedangkan pada betina thelycum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapai 37 mm.
e.         Tahap sub adult: ditandai dengan adanya kematangan seksual.
f.         Tahap dewasa: udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna.Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovocytus yang telah berkembang di dalam ovariumnya.

2.5.       Kebiasaan Makan Udang Windu
Udang merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari(nocturnal). Jenis makannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umurudang.Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton danzooplankton). Udang dewasa menyukai daging binatang lunak atau molusca(kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea.Dalam usaha budidaya, udang mendapatkan makanan alami yang tumbuh ditambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang akan bersifat kanibalbila kekurangan makanan. Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupunmenempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air .Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekalimenampakkan diri pada siang hari.Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yangtidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang,kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karenatimbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman 2004).

2.6.       Habitat Udang Windu
Amri (2003) menyatakan bahwa habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya.Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut hingga berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada pemukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.

2.7.       Reproduksi Udang Windu
Toro dan Soegiarto (1979) mengemukakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu memepunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah .Perkawinan udang terjadi di laut bebas dengan

jalan merapatkan perutnya (ventral) masing-masing.Udang jantan biasanya lebih agresif dibanding betina, perkawinan terjadi setelah betina mengganti kulit (moulting), udang jantan tertarik kepada betina karena adanya hormon ektokrin yang keluar secara eksternal yaitu pada saat telur dikeluarkan melaluai saluran telur (oviduk).
Pemijahan di alam terjadi sepanjang tahun dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan akhir musim penghujan. Penurunan kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir musim penghujan dibarengi dengan perubahan suhu yang mendadak diduga memberi rangsangan pada induk yang matang telur untuk memijah. Pada saat inilah benur dapat ditangkap pada jumlah yang besar.Sedangkan pada pembenihan buatan prinsipnya diperlukan induk betina matang telur yang sudah dikawini oleh udang jantan di dalam bak peneluran atau didalam bak larva. Langkah berikutnya adalah menetaskan telur dan memelihara larva dari hasil tetasan tersebut sampai mencapai tingkat post larva umur 5-10 hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976).

2.8.       Peluang Usaha Udang Windu di Indonesia
Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan mempunyai panjang garis pantai 81.000 kilometer yang memiliki potensi- sumber daya lahan pantai pasang surut seluruhnya sekitar 7.000.000 ha. Dengan luas perairan tiga kali lebih luas dibanding daratan, Prospek sektor perikanan Indonesia sangat menjanjikan untuk dikembangkan, hal ini karena banyaknya permintaan komoditi perikanan dari konsumen negara luar, sehingga sangat menguntungkan bagi setiap perusahaan dalam mencari keuntungan dan mengembangkan usahanya (Dahuri, 2002 dalam Lawaputri, 2011).
Pembangunan perikanan diarahkan untuk meningkatkan produksi perikanan guna memenuhi produksi pangan dan kebutuhan industri pangan dan kebutuhan indistri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan petani tambak, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha.Sejalan dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya permintaan pasar, hasil perikanan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun keluar negeri, maka pemerintah telah melakukan berbagai

upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Dalam usaha peningkatan produksi tambak udang, petani tambak diarahkan kepada penerapan sapta usaha pertambakan (Lawaputri, 2011).
Sektor perikanan memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional.Ditinjau dari potensi sumberdaya alam, Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia karena memiliki potensi kekayaan sumberdaya perikanan yang relatif besar.Sektor perikanan juga menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan, distribusi dan perdagangan.Oleh karena itu, pembangunan sektor perikanan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah Indonesia (Triarso, 2013).Udang bersama-sama dengan Tuna dan cakalang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor sektor perikanan.Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, luas laut Indonesia lebih besar daripada daratanya.Dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km, potensi lahan untuk dikembangkan untuk kegiatan budidaya perairan sangat besar (Irawan, 2012).
Udang merupakan komoditas ungulan yang memiliki nilai ekspor terbesar (21%) dari nilai perdagangan dunia hasil perikanan. Sektor perikanan Indonesia mengandalkan sumber perolehana devisa dari udang, karena 50% dari total ekspor hasil perikanan bersumber dari udang tersebut. Ekspor udang Indonesia ke Jepang, Hongkong, AS dan Eropa.Pasar Eropa tetap prospektif terutama karena pemekaran anggota, kemampuan daya beli yang tinggi, di samping ketergantungan kepada impor udang makin besar.Di samping Eropa tujuan ekspor udang kedua adalah Jepang.Peluang sangata besar, namun tantangan yang dihadapi dalam pengembangan budidaya udang juga sangat besar.Hal ini menuntut upaya berbagai pihak, baik pemerintah, pelaku budidaya, swasta, dan stake holder untuk menanggulangi bersama-sama tantangan tersebut (Hadie et al., 2010).
Sebelum tahun 1994 Udang windu (Penaeus monodon Fab) merupakan primadona komoditas eksport non migas dari sektor perikanan, sehingga usaha budidaya udang ini masih mempunyai prospek yang cerah dan merupakan andalan dari sektor perikanan.Nilai eksport udang windu pada dekade sepuluh tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1992 mencapai 1200 U$ Dolar, dan saat itu Indonesia

termasuk empat besar dunia negara pengeksport udang windu.Sebagai sumber protein udang windu juga mempunyai peran yang besar dalam pemenuhan protein hewani asal ikan, karena nilai gizinya yang tinggi (Rosati, 1994 dalam Mahasri et al., 2014).
Udang windu (Penaeus monodon) masih menjadi salah satu komoditi perikanan andalan di Indonesia.Jenis udang ini merupakan udang asli Indonesia yang telah dibudidayakan sejak beberapa dekade lalu. Harga udang menjadi daya tarik utama pembudidayaan secara besar-besaran sejak tahun 1990-an. Pada tahun 2014, dengan ukuran 30 ekor per Kg, harga udang windu berkisar Rp 70.000 di tingkat pembudidaya, dan harga ekspornya bisa mencapai Rp.120.000. Produksi udang windu nasional sebesar 131.641 Ton, sebanyak 41 persen dari produksi udang nasional dari hasil budidaya (Statistik Perikanan - KKP, 2012 dalam WWF Indonesia, 2014).

2.9.       Bio Security
Biosecurity berasal dari kata bio artinya hidup dan security artinya pengamanan.Jadi biosecurity adalah sebagai suatu tindakan atau program yang dirancang untuk mengurangi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh organisme dari satu lokasi ke lokasi lainnya.Biosecurity praktis berhubungan dengan prosedur desinfeksi dan sanitasi bahkan eradikasi atau mengurangi agen patogen sampai pada tingkat tidak infeksius.Ada tiga perlakuan utama dalam biosecurity yaitu isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi.Kontrol lalu lintas dan sanitasi merupakan metoda yang efektif untuk mengendalikan manajemen resiko suatu penyakit pada satu flok. Bila dua komponen tersebut diabaikan, maka dengan melakukan sanitasi akan sangat membantu prinsip biosecurity tersebut. Sanitasi adalah pembersihan dan desinfeksi semua peralatan dan bahan yang masuk maupun yang ada di peternakan, termasuk kebersihan petugas kandangnya.Semua komponen tersebut sangat krusial untuk mengeliminasi keberadaan agen penyakit (Badan Litbang Pertanian, 2012).
Kegiatan budidaya udang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip bio-security yang ketat untuk melindungi udang dari gangguan pathogen.Bio-security dapat diterapkan dengan melakukan penyeleksian atas benih udang dengan menggunakan formalin dan PCR.Teknik penanganan yang lainnya adalah penggunaan penyaring air pada saluran masuk dan penampungan air.Penampungan air digunakan pada tambak yang berukuran yang besar dan dalam yang mutlak bebas dari kepiting dan binatang berkulit keras lainnya sebelum benih udang dimasukkan.Prinsip bio-security juga dapat diterapkan pada saat pembangunan tambak udang melalui pembuatan sistem re-sirkulasi tertutup atau sistem resirkulasi semi terbuka (SADI-ACIAR, 2009).
Standarisasi pengelolaan operasional tambak udang ditujukan untuk menjaga kesehatan udang dan lingkungannya. Standarisasi selayaknya akan meminimalkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan serangan penyakit di tambak udang dengan menfokuskan pada mutu tanah dasar, mutu lingkungan tambak udang, dan sistem pengelolaan budidaya udang yang diterapkan oleh para petambak (SADI-ACIAR, 2009).
Penerapan biosecurity dilakukan dengan cara menempatkan cuci kaki (foot bath) pada setiap pintu masuk ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan (Panjaitan et al., 2014). Mengusir hewan-hewan yang dapat menularkan penyakit maupun pemangsa udang yaitu dengan memasang perangkat yang menghalau hewan-hewan tersebut.Menyiapkan air dalam wadah khusus yang telah diberi desinfektan, kepada tamu atau pengunjung untuk mencuci tangan dan kaki.Hal ini bertujuan menghilangkan penyakit udang yang mungkin terbawa dari tambak sebelumnya.Pembuatan pagar untuk mencegah hewan besar berkeliaran ditambak, sehingga tidak merusak tanggul dan menghindari masuknya kotoran ternak. Proses biosecurity antar tambak dengan tidak mencampur peralatan antar petakan tambak. Kebersihan area pemeliharaan udang dari sampah, baik yang organik maupun anorganik (WWF Indonesia, 2014).


III.  PEMBAHASAN

3.1.       Manajemen Hatchery Udang Windu
   Usaha pembenihan udang windu masih merupakan usaha yang terus berkembang sampai saat ini dan produksi benur yang dihasilkan baru mencapai 3.700 juta ekor per tahun dan baru dapat memenuhi kebutuhan sebanyak 40%-50% dari seluruh total kebutuhan (Rukyani, 1994). Akan tetapi mulai tahun 1993 produksi ini menurun sebesar 70% yang dikarenakan terjadi kasus kematian udang windu baik di tambak maupun di Hatchery, yang dikarenakan oleh serangan penyakit maupun penurunan kualitas air (Kompas, 1996).
 Berbagai cara yang dilakukan untuk meningkatkan hasil panen benur tersebut sampai saat ini belum dapat diharapkan, bahkan pada saat musim tebar banyak para petambak terpaksa tidak tebar, karena tidak mendapatkan benur. Hal ini akan mengakibatkan menurunkan hasil panen yang secara otomatis akan menurunkankan penghasilan, sehingga sangat perlu dilakukan perbaikan-perbaikan teknologi tepat guna dalam pembenihan udang windu tersebut
Usaha pembenihan skala rumah tangga sudah menjadi usaha alternatif bagi anggota, akan tetapi karena kasus kematian masih tetap tinggi, sehingga perlu penerapan teknologi tepat guna untuk meningkatkan hasil panennya. Kendala utama penyebab menurunnya hasil panen benur di pembenihan udang skala rumah tangga adalah adanya serangan penyakit dan penyediaan kualitas air agar kandungan oksigen dalam bak pembenihan dapat optimal. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya agar larva udang yang dipelihara di panti pembenihan tahan terhadap lingkungan yang kurang sesuai dan tahan terhadap serangan penyakit. Salah satu upaya yang diterapkan pada kegiatan ini adalah penggunaan imunostimulan (imunisasi) terhadap larva udang (Stadia Zoea) yang akan dipelihara untuk dijadikan benih. Mahasri (2007) mengatakan bahwa penggunaan imunostimulan dari protein membran parasit dapat menurunkan infestasi protozoa patogen dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup udang stadia juvenil dari 10% hingga 70%. Imunostimulan ini akan merangsang dan meningkatkan aktivitas sel-sel pertahanan tubuh sehingga dapat tahan terhadap serang penyakit.
Manajemen hatchery udang windu terdiri dari:
1.             Manajemen pembenihan
2.             Manajemen pakan
3.             Manajemen kualitas air
4.             Manajemen penyakit
Pembenihan merupakan awal dari budidaya udang windu.Dimana kesuksesan budidaya udang windu juga ditentukan oleh kualitas benih. Oleh karena itu untuk menghasilkan benih yang berkualitas diperlukan pengelolaan yang baik saat proses pembenihan(hatchery). Menurut Menegristek BPPIPTEK (2011) benih udang/benur yang didapat dari pembibitan haruslah benur yang bermutu baik. Adapun sifat dan ciri benur yang bermutu baik yang didapat dari tempat pembibitan adalah:
a.         Umur dan ukuran benur harus seragam.
b.        Bila dikejutkan benur sehat akan melentik.
c.         Benur berwarna tidak pucat.
d.        Badan benur tidak bengkok dan tidak cacat.

3.1.1.  Manajemen Pembenihan Udang Windu
1.             Persiapan Wadah
Wadah yang dibutuhkan pada hatchery udang windu adalah Bak Pemeliharaan Induk, Bak Penetasan, Bak Pemeliharaan Larva, Bak Pemeliharaan Fitoplankton atau Alga, Bak Kultur Artemia, Bak Tandon Air Laut, Bak Tandon Air Tawar, Mesin Pompa Air, Mesin Blower, Mesin Genset. Bak Pembesaran Bak pembesaran merupakan bak yang digunakan untuk  pemeliharaan larva atau benur sejak fase nauplius hingga post larva (PL). Sebelum digunakan, bak dibersihkan terlebih dahulu dengan cara disikat hingga bersih kemudian diisi dengan air treatment dan diberi antibiotik (Elbasin) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen untuk larva udang.
2.             Seleksi dan Pemeliharaan Induk Udang Windu
Udang yang dijadikan sebagai induk (Broadstock) sebaiknya  bersifat SPF (Spesific Pathogen Free). Udang tersebut dapat dibeli dari  jasa penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang tersebut adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang, seperti White spot dan lain-lain. Dan tersebut didapat dari sejumlah besar family dengan seleksi tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi family, seleksi massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut adalah keturunan dari kelompok family yang diseleksi dan memiliki sifat pertumbuhan yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam tinggi (Prosedur Oprasioanal Standar BBAP Ujung Batee, 2008).
Sebelum proses pembenihan larva atau benur, hal yang pertama dialakukan adalah dengan menyiapkan induk udang windu dan menyiapkan tempat untuk pembenihan (bak). Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kota Bontang menyuplai indukan udang windu dari nelayan daerah Kota Balikpapan.Induk udang windu yang sehat dan telah siap telur didatangkan langsung dari Balikpapan dan merupakan indukan yang berasal dari tangkapan alam (bukan hasil Budidaya). Induk udang windu dipilih dengan kualitas yang terbaik agar dapat menghasilkan telur dengan baik dan maksimal. Induk udang windu yang digunakan adalah induk betina yang  berukuran 25-30 cm dan 20-25 cm untuk udang jantan. Sebelum melakukan reproduksi, induk udang terlebih dahulu ditreatmen atau diaklimatisai terhadap suhu juga salinitas terhadap air media tempat pemeliharaan dengan tujuan agar induk tidak mengalami stress karena  perubahan lingkungannya. Sebelum proses pembenihan dilakukan, proses persiapan tempat harus dilakukan terlebih dahulu. UPT BBIP Kota Bontang memiliki empat buah  bak pemeliharaan larva yang berkapasitas 10 ton setiap baknya. Bak-bak yang akan digunakan harus dibersihkan menggunakan kaporit juga detergen kemudian disikat agar jamur yang menempel tidak mengganggu proses  pembenihan nantinya. Sanitasi bak bertujuan untuk menghilangkan hama dan  penggangu atau penyakit. Lalu bak diisi dengan air treatment kemudian diberi aerasi sebagai sumber oksigen untuk larva atu benur. Bak pemeliharaan  juga harus dilengkapi dengan terpal yang berfungsi untuk melindungi larva dari cahaya matahari karena kondisi yang baik untuk pertumbuhan larva adalah dengan kondisi yang gelap.
Balai Benih Ikan Pantai menggunakan induk udang windu unggulan yang diperoleh dari nelayan Kota Balikpapan.Induk udang windu berasal dari tangkapan alam, bukan berasal dari pembudidayaan.Induk udang windu yang sehat (siap telur) didatangkan kemudian diberi perlakuan hingga udang bertelur.
Induk udang windu yang telah siap telur disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam bak khusus.Setelah udang bertelur kemudian telur ditunggu hingga menetas. Setelah menetas, nauplius dipindah ke dalam  bak pembesaran menggunakan saringan.
3.  Tahap Pemijahan Induk Udang Windu
Induk udang windu yang telah siap kemudian dimasukkan kedalam tangki khusus (tangki peneluran). Udang akan dibiarkan semalaman (bertelur) kemudian saat pagi hari induk udang windu dipindahkan dari tangki  peneluran. Induk udang windu yang sehat, mampu bertelur 600.000 sampai dengan 700.000 butir setiap induknya. Dalam waktu 12-16 jam, telur-telur dalam tangki akan berkembang menjadi larva tidak bersegmen atau disebut  juga dengan nauplius.
Setelah telur berkembang menjadi nauplius, nauplius tersebut akan dipindahkan kedalam bak pembesaran atau pemeliharaan. Tangki bagian  bawah akan dibuka kemudian diberi pipa, ditampung menggunakan baskom dan nauplius disaring menggunakan saringan, dimasukkan kedalam ember dan siap dimasukkan kedalam bak pemeliharaan.
4. Tahap Penetasan Telur Udang Windu
Setelah proses pemijahan selesai dan semua induk bertelur, maka kita angkat induk-induk betina dan jantan dan kita masukan kembali ke kolam induk. Selanjutnya telur-telur di kolam tersebut juga kita angkat dan kita pindahkan ke bak penetasan. Setelah telur menetas dan larva-larva bermunculan, larva tersebut akan mengalami setidaknya empat tahapan perkembangan selama kita rawat hingga menjadi bibit udang windu yang telah siap untuk dipanen dan dibesarkan ataupun dijual.
Tahapan yang pertama yaitu menjadi nauplius, dimana larva tersebut akan berganti kulit sebanyak enam kali dan proses ini memerlukan waktu sekitar 50 jam. Ketika telah menjadi nauplius, larva kita pindahkan ke dalam kolam atau bak pemeliharaan larva dengan intensitas sekitar 60 larva per liter air. Selanjutnya larva tersebut akan memasuki tahapan yang berikutnya, yaitu menjadi Zoea selama kurang lebih 100 jam. Selanjutnya larva akan menjadi mysis selama 100 jam hingga memasuki tahapan yang terakhir, yakni post larva.
5. Tahap Pemeliharaan Larva Udang Windu
Proses pemeliharaan larva atau benur dilakukan menggunakan sistem  bangunan tertutup. Bak pemeliharaan berada didalam ruangan tertutup. Tujuannya agar proses pemeliharaan lebih baik dan aman dari lingkungan sekitarnya. Terlindungi dari pengaruh hujan, angin dan lain-lain yang dapat mengakibatkan perubahan suhu pada media air.Setelah nauplius di pindahkan dari tangki peneluran, kemudian langsung dimasukkan kedalam bak pemeliharaan. Nauplius yang ditampung didalam ember dimasukkan secara perlahan menggunakan gayung kedalam  bak pemeliharaan.
Larva Udang Bak pembesaran larva yang telah disiapkan kemudian diisi dengan larva udang windu (nauplius). Sebelum nauplius ditebar kedalam bak, ada  beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kedaan nauplius dan kualitas air. Nauplius yang baik adalah nauplius yang mempunyai gerakan aktif  terutama bila terkena sinar. selanjutnya pengawasan terhadap kualitas air terus menerus dilakukan. Jika terjadi perbedaan atau perubahan segera distabilkan
Setelah semuanya siap, nauplius siap ditebar dengan cara menuangkan air dalam baskom menggunakan gayung yang berisi nauplius secara perlahan kedalam bak pemeliharaan sampai nauplius dalam baskom habis.
Larva Penanganan larva udang windu di Balai Benih Ikan Pantai dimulai dari fase nauplius hingga post larva 12 (PL12). Selama proses  pemeliharaan larva, larva harus benar-benar diperhatikan dari segi pakan, kondisi air dan lingkungan. Jumlah dan jenis pakan juga disesuaikan  berdasarkan usia larva.
6.  Tahap Pemanenan dan Pengemasan Benur Udang Windu
Pemanenan dilakukan saat larva atau benur berada pada fase post larva 12 (PL 12). Pemanenan dilakukan secara total terhadap semua larva yang terdapat di bak pembesaran. Paralon pembuangan harus dipasang saringan dan diberi pipa agak kecil agar saat panen air tidak mengalir terlalu deras
Pengemasan dilakukan langsung bersamaan dengan proses  pemanenan. Pengemasan bertujuan untuk mempermudah proses  penyaluran atau pendistribusian kepada konsumen.

3.1.2.  Manajemen Kualitas Air
Suhu air media pemeliharaan udanh windu berkisar antara 28-320C, dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu air adalah Thermometer.Semakin tinggi suhu perairan, semakin tinggi laju metabolisme didalam tubuh udang. Kondisi ini akan diimbangi dengan meningkatnya laju konsumsi pakan. Bila suhu meningkat, udang akan stress dan akan mengeluarkan lendir yang berlebihan, sebaliknya jika suhu terlalu rendah, udang akan kurang makan dan bergerak. Sehingga pertumbuhannya akan lambat (Sumeru dan Anna, 1992).
Penyiponan
Penyiponan merupakan salah satu perlakuan kepada larva yang dilakukan dengan tujuan agar sisa –  sisa pakan buatan maupun sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehinnga didalam air tidak terjadi  penumbukan dan membusuk. Karena jika terjadi proses pembusukan, akan menghasilkan gas  – gas yang beracun juga dapat meningkatkan CO2 yang dapat membahayakan larva.
Cara penyiponan larva adalah sebagai berikut :
1.      Menggunakan selang besar untuk mengeluarkan larva dari dalam bak
2.      Selang diisi air sampai penuh kemudian satu ujung sisinya dimasukkan kedalam bak.
3.      Air didalam bak akan keluar dari selang satu ujung sisinya bersamaan dengan larva yang terikut kemudian ditampung ke dalam baskom
4.      Setelah larva terpisah dengan kotoran, kemudian larva dimasukkan kembali kedalam bak yang telah kembali diisi dengan air treatmen  baru.
Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva
Kualitas air sangat penting dalam kegiatan pembenihan. Sehingga kualitas air harus terus diperhatikan agar proses pembenihan tidak mengalami kegagalan yang dapat menyebabkan kerugian materi dan waktu. Kualitas air media pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva
No.   Faktor Peubah      Nauplius     Zoea           Mysis          Post Larva
1.      Suhu Dalam ºC     30-32         30-32          30-32          30-32
2.      Salinitas %            30-35         30-35          30-35          30-35
3.         pH                                  7                     7                       7                       7
4.      Oksigen                 5                5                 5                 5

3.1.3.  Manajemen Pakan
Kebiasaan Makan Larva Udang Windu
Pasokan pakan yang nutriennya cukup merupakan faktor penting bagi  pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sampai menjadi benih (Kudoh, 1983). Makanan alami merupakan makanan utama dan pertama yang harus diberikan kepada larva dalam suatu kegiatan pembenihan.Salah satu pakan alami yang sering diberikan dalam pembenihan udang adalah rotifera.Rotifera telah digunakan secara luas sebagai pakan larva udang dan ikan.Udang bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya, baik nabati maupun hewani.Berdasarkan penelitian, di alam udang memang mempunyai sifat pemakan segala. Kalau diperhatikan makanan udang windu dapat berbeda-beda berdasarkan ukuran dan tingkatan dari udang itu sendiri, yaitu :
1.        Stadia Nauplius, belum memerlukan makanan dari luar, karena masih mempunyai kantong kuning telur
2.        Stadia Zoea, sudah mulai memakan plankton, karena saluran makanan telah berkembang sempurna .
3.        Stadia Mysis, mulai menggemari makan zooplankton dan mulai bersifat carnivora
4.        Stadia Post larva, sifatnya sudah mulai senang tinggal di dasar media tempat hidupnya dan masih senang memakan detritus serta sisa-sisa mikroorganisme yang terdapat di dasar perairan.Di alam umumnya udang aktif bergerak mencari makan pada malam hari, oleh karena itu maka udang dimasukkan dalam kelompok hewan Nokturnal.
Aktivitas makan dan jenis makanan merupakan salah satu faktor yang mem Berdasarkan uraian diatas maka jenis pakan yang tepat diberikan kepada larva udang windu adalah pakan alami karena pakan alami :
1.        Mempunyai bentuk dan ukuran yang kecil sesuai dengan bukaan mulut larva
2.        Kandungan gizinya lengkap dan cukup tinggi sangat dibutuhkan untuk proses perkembangan tubuh larva
3.        Isi selnya padat dan mempunyai dinding sel yang tipis sehingga mudah diserap, karena pada fase larva belum ada enzim yang akan mencerna  pakan sehingga pakan alami mudah dicerna dalam saluran pencernaan larva dan didalam tubuh pakan alami terdapat enzim yang dapat melakukan autolisis sendiri sehingga dapat mudah dicerna oleh larva
4.        Tidak menyebabkan penurunan kualitas air, karena pakan alami selama berada dalam media pemeliharaan larva tidak mengeluarkan senyawa beracun
5.        Pergerakan pakan alami relatif tidak terlalu aktif sehingga sangat mudah untuk ditangkap oleh larva
6.        Meningkatkan daya tahan larva terhadap penyakit dan perubahan kualitas air
7.        Ketersediaan pakan alami relatif mudah dilakukan pembudidayaan karena cepat perkembangbiakannya dan mudah membudidayakannya pengaruhi laju pertumbuhan udang windu
Pakan Larva Udang Windu
Dalam pemeliharaannya, larva diberi pakan alami berupa fitoplankton (Skeletonema sp.), zooplankton ( Artemia sp.) dan pakan  buatan. Jenis pakan harus disesuaikan dengan usia larva. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan ukuran mulut larva. Larva atau benur akan dipelihara hingga stadia post larva 12 (PL 12). Larva akan mengalami  beberapa fase hingga saatnya dipanen yaitu : fase nauplius, zoea 1 sampai zoea 3, dan fase post larva 1 sampai post larva 12. Selama pemeliharahaan larva, larva diberi perlakuan khusus agar larva dapat berkembang dengan  baik. Pada stadia nauplius, larva tidak memerlukan asupan energi atau makanan dari luar karena masih memiliki kantong kuning telur yang dapat digunakan sebagai sumber makanannya.Dan pada saat stadia zoea, larva sudah mulai harus memerlukan pakan karena pada saat fase tersebut saluran pencernaan pada larva telah terbentuk sempurna hingga stadia terus bertambah hingga menjadi udang windu dewasa.
Pakan mempengaruhi proses pertumbuhan atau perkembangan larva. Selama larva dalam masa pemeliharaan (zoea sampai post larva 12), larva diberi pakan berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan larva udang windu selama berada dibak pemeliharaan adalah sebagai berikut :
a.              Pakan alami
Pakan alami merupakan pakan berupa fitoplankton (Skeletonema sp.) dan zooplankton ( Artemia  sp.). Skeletonema sp merupakan pakan yang akan terus diberikan mulai stadia zoea hingga stadia larva mysis  post larva (mulai dari zoea sampai MPL). Skeletonema sp. juga dibudidayakan di Balai benih Ikan Pantai Kota Bontang.Sehingga mempermudah untuk stok pakan alami larva. Larva diberi pakan Skeletonema sp pada pukul 05.00, 09.00, 13.00, 17.00, 21.00 dan 01.00 WITA.
Cara pemberian pakan Skeletonema sp. adalah dengan menuang Skeletonema ke dalam bak pemeliharaan menggunakan gayung. Cara  pemberian. Skeletonema tidak boleh ditebar karena dapat merusak protein yang terkandung didalam Skeletonema sp. Artemia sp. merupakan salah satu pakan alami (zooplankton) yang mulai diberikan kepada larva udang windu pada saat stadia larva post larva 1 (PL 1).  Artemia yang digunakan sebelumnya harus dikultur terlebih dahulu. Karena Balai Benih Ikan Pantai Kota Bontang menggunakan  Artemia yang telah dikalengkan kemudian harus dikultur terlebih dahulu agar  Artemia dapat menetas kemudian di jadikan sebagai  pakan alami untuk larva udang windu. Sama halnya dengan Skeletonema,  Artemia dituang ke dalam bak menggunakan gayung dan tidak boleh ditebar karena dapat merusak protein yang terkandung didalamnya.
b.             Pakan Buatan
Pakan Buatan merupakan pakan pendukung (tambahan) yang digunakan agar larva tetap berada pada nutrisi yang cukup. Pakan buatan  juga harus rutin diberikan kepada larva hingga waktu pemanenan. Jenis  pakan buatan yang digunakan adalah Flakes, Frippak, ZM dan MPL. Sebelum diberikan ke larva, pakan buatan harus dihancurkan terlebih dahulu menggunakan saringan pakan. Kemudian ditebar ke seluruh  bagian bak pemeliharaan agar pakan buatan dapat secara merata dikonsumsi oleh semua larva yang tersebar didalam bak. Pakan buatan akan selalu diberikan bersamaan dengan pakan alami. Komposisi dan jenis pakan buatan akan berubah pada setiap stadia larva. Semakin naik fase larva maka jumlah pakan buatan pada setiap jenisnya akan bertambah. Pakan buatan selalu ditimbang menggunakan neraca ohaus, agar komposisinya tepat.

3.1.4.  Manajemen Penyakit
Pada saat kegiatan pemeliharaan nauplius berlangsung tidak menuntut  kemungkinan akan munculnya penyakit akibat adanya microorganisme ataupun  kelainan  dasar  yang  akan  berdampak  negatif  pada  nauplius  yang sedang dipelihara.  Penyakit merupakan  hal  yang  perlu  diwaspadai, karena akan berdampak secara keseluruhan dan menyebabkan kematian  massal.
Untuk  mencegah  timbulnya  penyakit  tersebut, maka  yang  menjadi  salah  satu  jalan  keluar  yaitu  dengan  cara  pemberian  obat.  Teknik  pemberian  obat  yang  benar  dapat  menjadi  salah satu faktor  yang  akan  mempengaruhi  tingkat  efektifitas / fungsional  obat. Pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian obat yaitu Nauplius 6 : Elbazine 1 ppm, Zoea 1: OTC 2 ppm, Mysis 1: OTC 2 ppm, Mysis 3: Eritromycine 1 ppm, PL 3: Eritromycine dan Treflan 1 ppm.
Salah satu upaya terbaik dalam manajemen penyakit adalah usaha pencegahan atau preventif. Salah satu upaya untuk meminimalisisr timbulnya penyakit dalam hatchery udang windu adalah dengan penerapan biosecurity. Peran biosecurity dalam usaha hatchery skala besar sangat membantu dalam upaya pencegahan penyakit maupun hama yang mungkin muncul dan menginfeksi.

3.2.       Peran Biosecurity terhadap Pertumbuhan Udang Windu
Biosecurity salah satu metode dalam mencegah timbulnya penyakit. Biosecurity merupakan satuan tindakan yang dapat megurangi resiko masuknya penyakit dan penyebarannya dari suatu tempat ke tempat lainnya (lotz, 1997). Biosecurity adalah tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari kultivan yang dibudidayakan di kolam induk, pembenihan maupun kolam pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan penyakit (Lightner, 2003).
Level Biosecurity terdiri dari (1) Ultra high level; (2) High level; (3) Medium level; (4) Low level; dan (5) None. Manfaat atau peran biosecurity pada budidaya udang windu:
1.        Memperkecil resiko penyakit
2.        Mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit
3.        Menekan kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit
4.        Efisiensi waktu, pakan, dan tenaga
5.        Kualitas udang lebih terjamin
Penyakit Udang dipengaruhi oleh lingkungan, kondisi udang, dan agen penyakit.Virus : TSV, WSSV, YHV, IHHNV, IMNV. Bacteri : luminous bacterial disease, bacterial necrosis, dan filamentous bacterial dissease. Protozoa : ciliate infection, gregarine infection, dan microsporidiosis. Penerapan Biosecurity dalam Budidaya Udang:
a.              first line of defense: Barrier, Isolasi (quarantine), water filtration, Zero water exchange, Water sterilization, Equipment sterilization dan SPF Fry.
b.             Second line of defense: Specific Pathogen Resistant, (SPR) dan Immunostimulant
Penerapan Biosecurity Pada Kegiatan Budidaya Perairan
1. Manusia
Mobilitas manusia sangat tinggi, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Manusia merupakan carrier penyakit yang paling berbahaya. Oleh karena itu, semua yang terlibat dalam kegiatan budidaya baik langsung maupun tidak langsung, harus memperoleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai biosecurity.
Penerapan Biosecurity pada manusia :
1.1 Alas kaki dilepas dan diganti dengan perlengkapan khusus ketika memasuki daerah sensitif.
1.2 Menggunakan pakaian khusus bila memasuki fasilitas sensitif
1.3 Peralatan tidak steril tidak boleh berada di tambak
2. Hewan
Hewan bisa masuk ke kawasan budidaya melalui :
·           Darat : kepiting, kodok, ular, ayam, kambing, bebek, angsa, unggas liar dan hewan liar lainnya.
·           Air : ikan liar, udang liar, crustaceae kecil, kepiting, ular, serangga air.
Udara : Burung, serangga, mikroorganisme yang terbawa angin atau aerosol
Penerapan Biosecurity untuk mencegah hewan liar masuk lahan budidaya:
2.1. Multiple Screening 
2.2. Crab Protecting Wall
2.3. Bird Scaring Line 
3. Peralatan
Setiap selesai menggunakan peralatan di tambak/lahan perikanan, peralatan tersebut harus dicuci dan dikeringkan.
4. Kondisi Alam
4.1. Lokasi pertambakan di bawah garis pasang surut, sehingga air pasang bisa masuk ke tambak dan ada potensi terjadi kontaminasi.
4.2. Lokasi tambak berpasir, porous, sehingga bisa terjadi kontaminasi silang antar tambak atau antara tambak dengan kanal distribusi.
5. Sistem
Sistem budidaya terbuka (Open System) lebih besar kemungkinan terjadi kontaminasi, baik secara mikrobiologis maupun kimiawi. Carrier  bisa masuk ke dalam sistem melalui air.
Upaya Pencegahan kontaminasi penyakit :
5.1. Bak pencuci 
5.2. Foot Bath dan Disinfectant
Upaya Pencegahan dan Pengobatan
1.      Upaya Pencegahan
Untuk mencegah masuknya wabah penyakit ke dalam kolam pembenihan atau mencegah meluasnya wilayah yang terkena serangan penyakit dalam upaya mengurangi kerugian produksi akibat timbulnya wabah penyakit. Beberapa tindakan upaya pencegahan antara lain melalui sanitasi kolam, alat-alat, udang yang dipelihara, serta lingkungan tempat pembesaran.
a.      Sanitasi Kolam
Sanitasi kolam dilaksanakan melalui pengeringan, penjemuran, dan pengapuran dengan kapur tohor atau kapur pertanian sebanyak 50-100 gram/m2 yang ditebar secara merata di permukaan tanah dasar kolam dan sekeliling pematang kolam. Bahan lain yang bisa digunakan untuk sanitasi kolam di antaranya methyline blue dengan dosis 20 ppm dan dibiarkan selama 2 jam. Kemudian kolam dimasuki air baru dan ditebari ikan setelah kondisi air kembali normal.

b.      Sanitasi Perlengkapan dan Peralatan
Perlengkapan dan peralatan kerja sebaiknya selalu dalam keadaan suci hama. Caranya dengan merendam peralatan dalam larutan PK atau larutan kaporit selama 30-60 menit. Pengunjung dari luarpun sebaiknya tidak sembarangan memegnag atau mencelupkan bagian tubuh ke dalam media air pemeliharaan sebelum disucihamakan.
c.       Sanitasi Ikan Tebaran
Benur yang akan ditebarkan sebaiknya selalu diperiksa dahulu. Bila menunjukkan gejala kelainan atau sakit maka udang tersebut harus dikarantina terlebih dahulu untuk diobati.
d.      Menjaga Lingkungan Tempat Pembesaran
Upaya lain perlindungan gangguan dari penyakit udang adalah dengan menjaga kondisi lingkungan atau kondisi ekologis perairan. caranya, setiap kolam pembesaran udang diusahakan mendapat air yang baru dan masih segar, telah melalui sistem filtrasi, dan bahan-bahan organik seperti sampah sedapat mungkin dihindari masuk ke dalam kolam.
2.      Upaya Pengobatan
a.      Pencelupan
b.      Perendaman
c.       Usapan/olesan
d.      Pemberian obat melalui pakan
Penerapan biosecurity di tambak
1. Persiapan tambak
·           Pemasangan Bird Scaring Device (BSD) yang terbuat dari benang jenis D-9 PE yang diikatkan pada tiang dan pemasangan Crab Protecting Device (CPD) yang terbuat dari plastik.
·           Pengeringan tambak dengan nilai ORP (Organic Residu Potential) min 50 mV sekitar ± 10 hari.
·           Sterilisasi untuk meminimalisir hewan maupun organisme bentik yang berpotensi sebagai carrier (pembawa) patogen.
·           Pengapuran dilakukan untuk menetralisir derajat keasaman atau pH dasar tambak menjadi standar (pH 6,5-7).
·           Pengecekan level muka air SO harus di bawah pipa elbow, sedangkan untuk saluran SO 50 cm di bawah pipa elbow.
2. Persiapan air
·           Pemasangan filter saat air dipompa dari main inlet masuk ke reservoir ataupun talang air ke petak pengendapan, dari petak pengendapan di flushing (buang) ke sub inlet, dari sub inlet ke petakan treatment dan dari supply canal ke petakan tambak. Digunakan 2 lapisan filter 300 I dan 1.000 i.
·           Sterilisasi ganda pada perlakuan desinfektan digunakan pondfos sebanyak 2-3 ppm. Jarak antara perlakuan 1 dan 2 dilakukan dalam jangka waktu 3 hari. 
3. Seleksi benur yang mencakup penerapan biosecurity pada seleksi benur yang akan ditebar.
4. Budidaya
·           Pengadaan alat sanitasi tangan dan kaki, terdiri dari sabun antiseptik dan air bersih untuk tangan, sedangkan alat sanitasi kaki digunakan Kalium Permenganat (KMNO4) dengan dosis 70 ppm.
·           Perlakuan sanitasi peralatan tambak perlu dilakukan dikarenakan penggunaan peralatan secara bergantian tersebut dapat diindikasikan berperan sebagai carrier (pembawa) patogen.
5. Panen darurat
·           Pengisolasian tambak bertujuan untuk mencegah menularnya penyakit dari tambak satu ke yang lainnya.
·           Penggunaan dosing dengan KMN)4 dengan cara menggantungkannya pada pipa flushing dengan dosis 10 ppm.
·           Perlakuan pada daerah sub road dan sub outlet, dengan memberi KMNO4 sebanyak ± 5 ppm pada daerah sekitar sub road. Setelah proses panen selesai, lakukan pemberian desinfektan dengan tujuan bibit-bibit penyakit tidak mencemari lingkungan terutama pasa saluran sub outlet.
·           Pembakaran dan penguburan bangkai udang.

3.3.       Kekurangan dan Kelebihan Bioseurity
Biosecurity adalah serangkaian  prosedur yang diterapkan pada tambak udang windu dengan tujuan untuk menangkal masuknya penyakit ke dalam sistem budidaya. Sistem biosecurity menerapkan praktik manajemen kesehatan ikan. Subaidah et al. (2006) yang menyatakan bahwa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit antara lain adalah dengan menerapkan sistem biosecurity. Upaya menjaga kesehatan larva dilakukan dengan cara mengelola kualitas air dan penerapan biosecurity serta strerilisasi terhadap semua peralatan yang digunakan.
Biosecurity diterapkan dengan pemasangan beberapa pemasangan alat tambahan dalam fasilitas budidaya.Pemasangan Bird Scaring Device berguna untuk melindungi tambak dari serangan burung. Penambahan filter pada pintu masuk air dapat mengurangi resiko masuknya  patogen  ke dalam wadah budidaya.  Pengadaan  sanitasi bertujuan untuk meminimalisir penyeberan patogen melalui  peralatan budidaya yang digunakan secara bergantian. Hal ini diperkuat oleh Panjaitan et al. (2014) yang menyatakan bahwa penerapan biosecurity dilakukan dengan cara menempatkan cuci kaki (foot bath) pada setiap pintu masuk ruang pemeliharaan larva, tempat cuci tangan (hand wash) dan sterilisasi ruangan serta semua peralatan sebelum dan sesudah digunakan. Penerapan  sistem biosecurity tentu  memiliki kelebihan dan kekurangan dalam  penerapannya. Kelebihan dari penerapan sistem biosecurity antara lain adalah sebagai berikut :
1.        Meminimalisir resiko masuknya sumber patogen ke dalam sistem budidaya udang windu.
2.        Mengurangi resiko penyebaran patogen jika ada salah satu tambak yang terserang penyakit.
3.        Meningkatkan hasil produksi udang windu.
Menurut Hudaidah et al. (2014) Penyaringan air, pembatasan jumlah kunjungan dan prosedur operasional standar biosekuritas yang tidak dilaksanakan sesuai dengan standar biosekuritas menyebabkan infeksi penyakit virus dan budidaya udang tidak berlanjut. penerapan biosekuritas secara tidak langsung berhubungan dengan kualitas air dan infestasi penyakit. Standar biosekuritas yang diterapkan konsisten akan menjadi kunci penerapan manajemen kesehatan budidaya ikan. Hal ini diperkuat oleh Ristiyawan et al. (2013) yang menyatakan bahwa menerapkan prinsipprinsip Biosecurity dan praktik karantina ikan yang baik sebagai upaya mengendalikan penyebaran penyakit pada unit usaha pembudidaya ikan.
Selain kelebihan, penerapan sistem biosecurity juga memilki  kekurangan. Kekurangan dari penerapan sistem biosecurity adalah sebagai berikut :
1.        Pemasangan peralatan tambahan dapat meningkatkan biaya produksi.
2.        Penerapan biosecurity yang dianggap rumit bagi para pembudidaya.
Hal ini diperkuat oleh Hudaidah  et al. (2014) yang menyatakan bahwa selama ini penerapan biosekuritas diterapkan dengan mengeluarkan biaya yang besar sehingga biaya produksi budidaya udang menjadi besar.

3.4.       Meningkatkan Produksi 50 Juta per Periode
Perlu dilakukan teknis budidaya yang baik unuk mendapatkan hasil produksi pembenihan udang windu yang baik pula.Teknik pembudidayaan (pemeliharaan) larva udang windu mempengaruhi jumlah hasil panen yang diproduksi. Perlakuan yang baik dan benar harus dilakukan agar menghasilkan larva - larva udang windu sesuai dengan yang diharapkan. Sarana dan Prasarana yang baik dan penerapan yang benar juga meruapkan faktor yang menentukan keberhasilan produksi pembenihan udang windu.Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu berkualitas.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan peningkatan produksi pembenihan udang windu.Salah satu faktor untuk mencukupi kebutuhan ketersediaan udang windu yang berkualitas adalah faktor pakan. Pakan adalah salah satu faktor input produksi untuk mencapai peningkatan produksi organisme budidaya. Pada stadium postlarva, udang windu masih diberikan pakan alami dari berbagai jenis hewan, salah satu diantaranya adalah nauplius Artemia, dengan kandungan nutrisi yang dirasa cukup memenuhi untuk menunjang pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan daya tahan tubuh. Hal tersebut diperkuat oleh Yuniarso (2006) bahwa udang windu membutuhkan lemak dan asam lemak dalam pakannya.Kebutuhan lemak dan asam lemak dapat dipenuhi dari Artemia sebagai pakan alami yang tidak tergantikan. Namun, kandungan asam lemaknya masih jauh dari ideal yang dibutuhkan, misalnya eicospentaenoic acid (EPA) dan docohexaenoic acid (DHA) yang mempunyai peran penting dalam menunjang pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan berjalannya fungsi metabolisme secara normal. Oleh karena itu dalam penelitian ini, sebelum Artemia tersebut digunakan terlebih dahulu diperkaya kandungan nutrisinya dengan silase ikan.
Perkembangan pertumbuhan kultivan sangat ditentukan oleh mutu pakan yang tersedia; jumlah pakan; frekuensi pemberian pakan; kualitas air (stabilitas mutu air dan minimum harian serta rata-tata); keefektifan sistem pembuangan limbah, metabolik secara biologi, fisik dan atau mekanik; besaran dan frekuensi stres lingkungan terhadap spesies yang dibudidayakan; dan kesehatan kultivan.
Faktor kualitas air menjadi penting mengingat bahwa udang windu erupakan kultivan yang cukup mudah dipengaruhi kualitas air.  Besar kecilnya perubahan kualitas air dapat mempengaruhi sifat fungsional dan struktural udang yang dipelihara. Jika terjadi perubahan maka udang akan melakukan mekanisme osmoregulasi untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh terhadap lingkungan eksternal. Oleh karena kerja osmotik tersebut berhubungan dengan efisiensi penggunaan energi yang pada akhirnya berhubungan dengan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Kualitas air tersebut juga meliputi DO, pH, salinitas, suhu, ammonia, nitrit, dan sebagainya.
Kemudian, perlu diketahui analisa usaha pembenihan udang windu untuk mengetahui produksi yang dilakukan dengan kegiatan yang dilakukan dan sarana prasarana yang dibutuhkan dalam periode tertentu. Analisa usaha diperlukan untuk memberikan gambaran terkait prospek usaha yang akan dilakukan, apakah dapat dilakukan dan menguntungkan atau tidak. Aspek umum yang menjadi obyek analisa kelayakan usaha diantaranya yakni aspek hokum, aspek lingkungan, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi, aspek sumberdaya manusia dan aspek keuangan.
Analisa keuangan dibahas untuk memberikan semangat kepada pembudidaya bahwa walaupun perbaikan sistem budidaya memerlukan dana namun juga dapat memberikan sumbangan positif terhadap pendapatan.

Biaya Tetap :
Bak Pembenihan = Rp. 30.000.000 (perbak 1.500.000 x 12 bak)
Kebutuhan indukan 75 induk (Ratio 1:2), Induk jantan dan betina = Rp. 2.000.000
Biaya operasional :
Tenaga kerja/ 12 bak unit
            15 x 2.000.000 = Rp. 30.000.000
Kebutuhan air+listrik = Rp. 1.500.000
Biaya total = Biaya Tetap + Biaya operasional
                   = Rp. 32.000.000 + Rp. 31.500.000
                   = Rp. 63.500.000
Pendapatan = (3.300.000 benih @Rp. 35,-)
                    = Rp. 115.000.000,-
Total Pendapatan = Rp. 115.000.000 – Rp. 63.500.000
                               = Rp. 51.500.000,-
Kemudian dari hal tersebut diatas untuk mendapatkan produksi yang baik, maka perlu dilakukan pengembangan sistem budidayanya dengan tujuan yaitu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pembudidaya, meningkatkan mutu produksi dan produktifitas usaha perikanan budidaya untuk penyediaan bahan baku industri perikanan dalam negeri, meningkatkan ekspor hasil perikanan budidaya dan memenuhi kebutuhan konsumsi ikan masyarakat, meningkatkan upaya perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya.

IV.  PENUTUP

4.1.       Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.        Dalam manajemen hatchery udang windu hal-hal yang harus diperhatiakan adalah Karakteristik Induk Udang, kualitas air, Kebiasaan Makan Larva Udang Windu (Penaeus monodon), Persiapan Induk dan Tempat Pembenihan Udang Windu (Penaeus monodon), Tahap Pembenihan Udang Windu (Penaeus monodon), Pakan Larva Udang Windu, Kualitas Air Media Pemeliharaan Larva.
2.        Manfaat biosecurity dalam budidaya udang windu adalah memperkecil resiko penyakit, mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit, menekan kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit, efisiensi waktu, pakan, dan tenaga, kualitas udang lebih terjamin.
3.        Kelebihan dan kekurangan penggunaan biosecurity dalam budidaya udang windu adalah Meminimalisir dan mengurangi resiko masuknya sumber patogen ke dalam sistem budidaya udang windu, meningkatkan hasil produksi udang windu sedangkan kekurangannya Pemasangan peralatan tambahan dapat meningkatkan biaya produksi, penerapan biosecurity yang rumit bagi para pembudidaya.
4.        Sarana dan Prasarana yang baik dan penerapan yang benar  meruapkan faktor yang menentukan keberhasilan produksi pembenihan udang windu. Keberhasilan pembenihan akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu berkualitas.

4.2.       Saran
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, saran yang diberikan adalah sebagai berikut:
1.        Berbudidaya udang harus menerapkan manajemen yang baik dan benar seperti pemilihan induk, pemeliharaan larva, kontrol kualitas air, dan pemberian pakan.
2.        Berbudidaya udang sangat dianjurkan untuk menerapkan bio security.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, S. 2011. Analisa Usaha Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.

Amri, K., 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia           Pustaka. Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2012. Biosecurity Budidaya Peternakan Ayam. Agroinovasi Edisi 6-12 Juni 2012 No.3460 Tahun XLII.Sinartani. Hlm: 2 – 10.

Berkelanjutan.Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan.

Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu       Pengetahuan dan Teknologi.2011. Budidaya Udang Windu         (Palaemonidae / Penaeidae). Budidaya Perikanan. Jakarta. 22 Hlm.

Poernoma, A., 1976. Budidaya Udang Windu di Tambak Potensial Budidaya        Produksi dan Udang Sebagai Lahan Makanan di Indonesia.Proyek                        Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi.Lembaga Organisasi (LIPI)             Jakarta. Hal.41.
           
Suyanto, S. Rachmatun dan Mujiman Ahmad. 2004. Budidaya Udang Windu.Penebar Swadaya. Jakarta.

Toro, V dan Soegiarto., 1979. Biologi Udang Windu. Proyek Penelitian       Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oceanoligi LIPI. Jakarta. 144 Halaman.

Yuniarso, T. 2006. Peningkatan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, Dan Daya     Tahan Udang Windu (Penaeus Monodon Fab.) Stadium Pl 7 – Pl 20                      Setelah Pemberian Silase Artemia Yang Telah Diperkaya Dengan Silase          Ikan.    Universitas Sebelas Maret Surakarta. [SKRIPSI].

Hadie, LE., Hadie, W., Imron., Khasani, I. Dan Listyanto, N. 2010. Strategi          Pengembangan Budidaya Udang Galah Gimacro.Prosiding Forum Inovasi        Teknologi Akuakultur. 67 – 77.

Hudaidah S.,  A. Kahfi, G. A. Akbaidar, Wardiyanto Dan Y.T. Adiputra. 2014. Modifikasi Biosekuritas, Peningkatan Performa Tambak Dan Keberlanjutan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Perikanan Dan Sumberdaya Perairan.

Irawan, FP. 2012. Analisis Usahatani Pembenihan Udang Vannamei dan    Pengembanganya Di CV. Gelondongan Vannamei Desa Banjarsari

            Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik [Skripsi]. Fakultas Pertanian.                          Universitas Pembangunan Nasional. Jawa Timur.

Lawaputri, AT.2011. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Udang Vannamei (Litopaneaus vannamei) Intensif di Kabupaten Takalar (Studi Kasus Usaha Tambak Udang Kurnia Subur) [Skripsi].Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Mahasri,G, 2007. Kemampuan ikan Bandeng sebagai Filter Biologi dalam Menekan Pertumbuhan Ciliata Patogen pada Tambak, LPPM Universitas     Airlangga, Surabaya.

Mahasri, G., Sudarno dan Kusdarwati, R. 2014.IbM bagi Petani Benih Udang       Windu Skala Rumah Tangga (Backyard) di Desa Kalitengah Kecamatan               Tanggulangin Sidoarjo yang Mengalami Gagal Panen Berkepanjangan karena  Serangan Penyakit. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 6 (1):            31 – 36.

PanjaitanA. S., W. Hadie Dan S. Harijati.  2014. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Jurnal Manajemen Perikanan Dan Kelautan 1 (1).

Ristiyawan B., S. Anggoro Dan B. Yulianto. 2013. Peranan Implementasi Kebijakan Karantina Ikan Dalam Pembangunan Perikanan.

Rukyani, A, 1994, Jenis Penyakit Udang, Makalah Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, BIP Lampung, 9 – 11 Januari 1994.

Subaidah, S., Susetyo P., Mizab A., Tabah I.,, Gede S., Detrich N. &          Cahyaningsih. S. 2006. Pembenihan Udang Vaname (Litopenaeus    Vannamei). Balai Budidaya Air Payau Situbondo.Situbondo : 33 – 


1 komentar:

  1. Unknown mengatakan...:

    Bagus sekali untuk dipelajari,terima kasih

Posting Komentar