UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI TAMBAK TRADISIONAL

Jumat, 16 Maret 2018


PENDAHULUAN



1.1.       Latar Belakang
Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid. Udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, yang bisa disebut udang penaeid oleh para ahli. Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi. Bagi Indonesia udang merupakan primadona ekspor non migas. Permintaan konsumen dunia terhadap udang rata-rata naik 11,5% per tahun. Udang windu  (Penaeus monodon)  merupakan jenis udang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi pasar cukup besar. Upaya peningkatan kepadatan dengan penambahan udang putih ke dalam sistem budidaya udang windu diduga akan mempunyai dampak negatif yang kecil pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu (Tarsim, 2004).
Udang windu (Penaeus monodon) termasuk salah satu jenis hasil perikanan yang cukup penting dalam menunjang penerimaan devisa negara melalui komoditi non migas. Karena harga udang windu mahal dan pemasaranya cukup terbuka luas dipasaran internasional. Sehingga banyak orang yang melakukan pembesaran udang windu. Pada tahun 2014, dengan ukuran 30 ekor per kg, harga udang windu berkisar Rp. 70.000 di tingkat pembudidaya, dan harga ekspornya bisa mencapai Rp. 120.000. Berdasarkan kenyataan dilapangan teknis budidaya udang windu tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala-kendala yang sering dihadapi para pembudidaya udang windu, misalnya dalam kegiatan pembesaran. Rendahnya benih yang sehat menjadi salah satu kendala dalam menghasilkan udang ukuran konsumsi. Hal ini disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan para petambak udang windu dalam memilih benih yang sehat.
Hal lain yang bisa mendorong lajunya pertumbuhan perusahaan pertambakan tersebut adalah dengan adanya permintaan akan kebutuhan udang yang terus meningkat dari tahun di mana produksi udang yang dihasilkan belum mencukupi kebutuhan udang di dunia. Karena udang merupakan sebagai komoditas ekspor yang mempunyai harga baik yang harus tetap di tingkatkan produksinya. Indonesia merupakan daerah tropis di mana pada pola tanam pemeliharaan udang dapat dilakukan sepanjang tahun. Budidaya udang windu perlu terus dikembangkan mengingat spesies ini merupakan endemik di Asia Tenggara sehingga dapat dijadikan produk unggulan bagi negara-negara kawasan Asia Tenggara khususnya di Indonesia (Tarsim, 2004). Untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat baik di pasar lokal maupun pada tingkat international sangat perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas udang yang akan diproduksi karena mempengaruhi permintaan konsumen.
 
1.2.       Rumusan Masalah
1.             Bagaimanakah kontruksi tambak tradisioal yang baik untuk budidaya udang windu?
2.             Bagaimana cara penebaran benih yang baik untuk budidaya udang windu di tambak tradisional?
3.             Bagaimana manajemen kualitas air yang baik dalam budidaya udang windu di tambak tradisional?
4.             Bagaimana manajemen pakan yang baik dalam budidaya udang windu pada tambak tradisional?
5.             Bagaimana pengendalian hama dan penyakit dalam budidaya udang windu pada tambak tradisional?
6.             Bagaimana cara pemanenan dan pemasaran udang winsu pada tambak tradisional?
7.             Apakah keuntungan dan kerugian menggunakan tambak tradisional untuk budidaya udang windu?

1.3.       Tujuan
1.             Mengetahui kontruksi tambak tambak tradisional untuk budidaya udang windu;
2.             Mengetahui  cara penebaran benih udang windu pada tambak tradisional;
3.             Mengetahui kualitas air, manajemen pakan serta pengendalian hama dan penyakit pada udang windu yang terjadi selama budidaya;
4.             Mengetahui cara pemanenan dan pemasaran udang windu pada tambak tradisional; dan
5.             Mengetahui keuntungan dan kerugian menggunakan tambak tradisional untuk budidaya udang windu.


II.  TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu
 Udang windu digolongkan ke dalam keluarga Penaeid pada filum Arthropoda. Terdapat ribuan spesies dalam filum ini, namun yang mendominasi perairan berasal dari subfillum Crustacea. Berikut tata nama udang windu kompilasi dari Motoh (1981) dan Landau (1992):
Kingdom         :Animalia 
Subkingdom
    :Metazoa 
Fillum
              :Arthropoda 
Subfillum        :Crustacea 
Kelas
               :Malacostraca 
Ordo
                :Decapoda 
Famili
              :Penaeidae 
Genus
              :Penaeus 
Spesies
:Penaeus monodon
Menurut Motoh (1981), bahwa tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala (thorax) dan perut (abdomen). Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan dua pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang terbuat dari bahan chitin. Bagian cephalothorax tertutup oleh sebuah kelopak yang dinamakan kelopak kepala atau cangkang kepala (carapace). Di bagian depan, kelopak kepala memanjang dan meruncing yang pinggirnya bergigi atau biasa disebut rostrum. Di bagian perut terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yaitu pada ruas pertama sampai kelima. Sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau ekor (uropoda). Ujung ruas keenam ke arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus) (Suyanto dan Mujiman 2003).

2.2.      Habitat Udang Windu
Pada budidaya udang windu secara intensif umumnya dilakukan secara monokultur. Udang windu mempunyai kebiasaan hidup di dasar perairan sehingga budidaya monokultur menyebabkan pemanfaatan ruang terbatas pada luas dasar tambak. Oleh sebab itu agar  pemanfaatan wadah lebih efisien diperlukan upaya penambahan spesies yang mampu memanfaatkan kolom air sebagai habitatnya. Sistim ini dikenal dengan istilah polikultur. Sistem polikultur udang windu dengan ikan telah banyak dilakukan terutama pada budidaya tradisional pada budidaya intensif, umunya ikan dipelihara terpisah sebagai filter biologi. Menurut  Tarsim (2004), bahwa habitat udang windu adalah laut dan dikenal sebagai penghuni dasar laut. Namun hanya udang windu dewasa yang mencari tempat yang  dalam di tengah laut. Saat muda, udang windu berada diperairan yang dangkal di tepi pantai, bahkan ada yang memasuki muara sungai dan tambak berair payau. Udang termasuk hewan euryhaline (dapat mentolelir kisaran salinitas yang luas). Udang windu dapathidup pada salinitas 3-35 ppt. Bahkan kini udang windu telah dipelihara dikolam air tawar di Gresik.

2.3.    Siklus Hidup Udang Windu
Selama siklus hidupnya, larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk atau pergantian stadia Udang windu bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal karena memakan udang yang sedang molting. Udang windu tergolong hewan nocturnal karena sebagian besar aktifitasnya seperti makan dilakukan pada malam hari. Kulit udang windu tidak elastis dan akan berganti kulit selama pertumbuhan. Frekuensi pergantian kulit ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, usia dan kondisi lingkungan. Setelah kulit lama terlepas udang windu dalam kondisi lemah karena udang baru belum mengeras. Pada saat ini udang mengalami pertumbuhan sangat pesat diikuti dengan penyerapan sejumlah besar air. Semakin cepat udang berganti kulit maka pertumbuhannya semakin cepat pula.

Gambar 1. Siklus udang windu (Penaeus monodon)
Menurut Sutanti (2009), siklus hidup pada udang windu (Penaeus monodon) adalah sebagai berikut:
1.             Perkembangan larva diawali dari stadia nauplius yang terjadi setelah telur menetas. Telur udang akan menetas menjadi nauplius setelah 14-15 jam. Nauplius masih mengandalkan kuning telur sebagai sumber energi dan belum mengambil pakan dari luar.
2.             Selanjutnya 30-35 jam kemudian nauplius bermetamorfosis menjadi zoea. Nauplius yang baru menetas memiliki panjang tubuh 0.31-0.33 mm dengan proses pergantian kulit sebanyak 6 kali. Kuning telur mulai menipis pada stadia zoea, sehingga dibutuhkan diatom sebagai makanannya.
3.             Setelah melalui 3 kali molting (4-5 hari), zoea berubah menjadi mysis. Pada stadia mysis mengalami 3 kali molting (3-5) hari sampai mencapai stadia post larva. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
4.             Post larva mulai makan hewan kecil yang aktif berenang dan pergerakannya lambat seperti Artemia. Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen keenam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antena hingga telson.
5.             Tahap juvenile, stadium awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita cokelat gelap di bagian sentral. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda. Juvenile merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt. Ukuran tubuh udang muda mulai stabil dan tumbuh tanda – tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkangnya 30 mm, sedangkan pada betina thelycum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapai 37 mm.
6.             Udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovocytus yang telah berkembang di dalam ovariumnya.

2.4.    Produksi Udang Windu di Indonesia
Dalam program ekspor hasil perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan target ekspor udang sebesar USD 6,78 milyar. Untuk mencapai target nilai ekspor tersebut, produksi udang harus mencapai 6,06 juta ton dimana 1,11 juta ton (18,3%) dari perikanan budidaya yaitu hasil perikanan yang tidak diperoleh dari penangkapan. Untuk memenuhi target tersebut, udang mempunyai potensi untuk dijadikan komoditi ekspor karena perdagangan udang telah meluas di dunia, harganya cukup tinggi dan permintaannya dari tahun ke tahun diperkirakan semakin meningkat.
 Budidaya tambak udang Windu (penaeus monodon) merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari aspek pasar, terutama pasar dunia dengan tujuan utama ekspor ke Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Areal tambak udang Indonesia mencapai 380.000 hektar dan sekitar 75% masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitas udang yang dihasilkan hanya 260 kg/ hektar/tahun (Suyanto dan Mujiman, 2003).

2.5.  Teknik Budidaya Secara Tradisional
Menurut Sudarno et al. (2014), bahwa konstruksi tambak dan tata letak tambak menyesuaikan keadaan yang ada di lokasi, sebab apabila harus merubah akan memerlukan waktu yang lama, sehingga di kawatirkan waktu penelitian tidak cukup. Bentuk petakan tambak yang digunakan untuk penerapan ini adalah empat persegi panjang sebanyak dua petak dengan luas masing-masing ± 1.2 ha, kedalaman ± 100 cm. Tanggul dan dasarnya terbuat dari tanah lempung berpasir, lebar tanggul utama ± 1,5 m dengan dasar tambak sedikit miring kearah pembuangan air.
Bentuk petak tendon yang digunakan adalah empat persegi panjang luas ± 220 m2. Ukuran petak tendon tersebut masuk sangat kecil jika dibendingkan dengan luas petak pemeliharaan. Ukuran ideal petak tendon ini adalah 30 – 50% dari luas petak pemeliharaan. Kecilnya petak tendon yang dipergunakan tsb dikarenakan dalam penelitian aksi ini prinsipnya adalah menggunakan petak-petak yang sudah tersedia, sebab apabila akan merubah bentuk dan ukuran petak-petak yang ada dan disesuaikan dengan teknologi, maka akan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar.
Persiapan tambak dimulai dengan pengeringan tanah hingga kering selama sekitar satu bulan, kemudian dilakukan pengapuran dosis 1 ton/ha dan pembalikan tanah (penyingkalan) yang dilanjutkan dengan pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan THIODAN. Pupuk yang digunakan adalah urea dan TSP dengan dosis masing-masing 200 dan 100 kg/ha. Perbaikan tanggul dan kedhok teplok dilakukan untuk menutup kebocoran dan perembesan air, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan caren, pembersihan kotoran dan pengaturan kemiringan lantai sehingga memudahkan dalam sirkulasi air.
Pembuatan tendon filter biologis juga diawali kegiatan seperti pada persiapan petak pemeliharaan. Filter biologis yang digunakan adalah ikan bandeng dengan padat penebaran 5 ekor/m2. Pada kegiatan ini digunakan 1.250 ekor bandeng. Pengisian air dilakukan dua minggu sebelum dimasukkan ke petak pemeliharaan udang windu. Fungsi ikan bandeng adalah untuk memanfaatkan biomassa fitoplankton dan bahan terurai yang melimpah, mendaur ulang nutrient dan menjaga perkembangan fitoplankton agar stabil, dan untuk mengurangi beban lingkungan yang berasal dari partikel organic dan nutrien dalam air limbah. Pengairan petak pemeliharaan dilmulai dari pemasukan air dari petak tandon, dimasukkan ke petak pemeliharaan dengan melalui pintu dari kayu. Imunostimulan yang digunakan ada.lah imunostimulan dari Zoothamnium penaei yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Imunostimulan ini digunakan untuk benur udang sebelum ditebar, dengan cara direndam dengan dosis 300 mikrogram per liter
Penebaran benih dilakukan setelah air dalam petak pemeliharaan mencapai ketinggian ± 60 cm dan sudah didiamkan selama dua hari (± 48 jam). Benih yang ditebar dapat berupa benur (PL-11) ataupun yang sudah berukuran glondongan. Penggunaan imunostimulan dilakukan pada tiap-tiap kantong plastik pada saat pengepakan untuk transportasi dengan dosis tiga tetes per kantong. Untuk kegiatan ini digunakan benih yang berukuran glondongan dan diambil dari pengusaha glondongan di sekitar lokasi penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat stress benih, karena kondisi perairan yang tidak terlalu jauh berbeda. Dua hari sebelum benih ditebar dilakukan pemberian biocyn pada air tambak dengan dosis 1kg/ha, yang bertujuan untuk menjaga kualitas air selama pemeliharaan. Untuk selanjutnya biocyn diberikan tiap dua minggu sekali, dengan dosis 1 kg/ha. Penebaran benih udang dilakukan pada pagi hari, dengan padat tebar 16 rean/ha.
Sirkulasi air dilakukan setelah udang berumur satu bulan di petak pemeliharaan, dengan tujuan untuk mengurangi stress udang. Sirkulasi dilakukan dengan cara tiap hari mengurangi sebanyak 10 – 20% dikeluarkan melalui pintu pengeluaran. Sambil mengeluarkan air pemasukan air dari petak tandon juga dilakukan sebanyak air yang dikeluarkan. Sirkulasi air ini ditujukan untuk menggantikan air agar air selalu dalam keadaan baik dan bersih serta sebagai pengganti aerasi yang umumnya dengan menggunakan kincir air.


III.  PEMBAHASAN


3.1.    Kontruksi Tambak Tradisional
Wadah yang digunakan dalam kegiatan budidaya udang windu kali ini adalah menggunakan wadah budidaya tambak tradisional. Teknik budidaya udang windu yang dilakukan pada tambak yang tradisional apabila dilakukan dengan baik dan benar maka hasilnya akan sangat baik. Budidaya udang windu dengan menggunakan tambak tradisional harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya yang paling penting adalah aspek lokasi dan pola konstruksi tambak. Menurut Mahmud et al., (2007), konstruksi tambak seperti bentuk dan ukuran petakan tambak tidak teratur dan umumnya dengan luas 3 – 20 ha. Dalam tambak dibuat saluran keliling atau disebut caren dengan lebar 5 – 10 m dari sisi tambak dengan kedalaman 30 – 50 cm dari pelataran. Caren adalah tempat berlindung atau berteduh udang dari suhu panas matahari pada siang hari dan sebagai sarana untuk memudahkan petani pada saat melakukan panen. Sedangkan bagian dalam tambak lainnya adalah pelataran sebagai tempat tumbuhnya kelekap sebagai makanan  alami udang. Kedalaman air di pelataran tambak tradisional adalah 30 – 50 cm. Pada sebagian tambak tradisional terdapat petakan kecil untuk pengipukan benur selama 3-5 minggu sebelum dilepas ke tambak pembesaran.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam budidaya dengan menggunakan wadah budidaya tambak tradisional adalah jenis tanah yang terdapat dalam tambak. Jenis tanah yang baik untuk budidaya adalah campuran antara tanah liat dengan endapan lempung yang mengandung bahan–bahan organik yang diperlukan dalam kegiatan budidaya. Hal ini diperkuat oleh Rangka dan Andi (2010), bahwa tambak tradisional yang baik sangat ditentukan oleh jenis tanah. Tanah yang dipilih harus dapat menyimpan air atau kedap air. Tanah yang baik adalah campuran tanah liat dan endapan lempung yang mengandung bahan organik disebut juga dengan silty foam. Tanah jenis ini dapat diketahui secara manual. Tanah yang mengandung liat tinggi akan dapat dipilin memanjang. Namun, tanah yang mengandung debu atau pasir tinggi hanya akan menghasilkan pilinan tanah yang pendek saja. .
Hal yang perlu diperhatikan dalam rekontruksi wadah budidaya adalah sebagai berikut :
1.       Lokasi Tambak 
a)       Tanah Dasar Tambak 
Lokasi tambak berada di pantai dekat laut, tanah dari jenis alluvial kelabu dimana bertekstur lempung liat berpasir, dengan ketinggian 0 3 m diatas permukaan laut serta kemiringan kurang dari 2,0%.
b)      Sumber Air Tambak
Sumber air tambak berupa laut yang memperoleh pasokan air tawar dan sungai
c)       Hutan Mangrove
Hutan mangrove seluas 581,955 Ha dengan  ketebalan 500 m dan kepadatan 1 2 pohon tiap meter persegi terdapat disepanjang pantai, kiri dan kanan sungai, serta     di tanam di pematang tambak merupakan pelindung bagi kawasan tambak. Hutan  mangrove didominasi oleh Rhyzophora dan Avecenia.
2.       Persiapan Tambak 
a)         Kedung teplok dilakukan setelah panen dimana merupakan kegiatan   pembuangan lumpur tambak dan memperbaiki pematang tambak dan adanya kebocoran. Dalam keduk teplok juga dilakukan pembalikan tanah dasar tambak   dengan tujuan untuk mengurangi gas-gas beracun. 
b)      Pengapuran 
Pengapuran bertujuan untuk menurunkan keasaman  tanah  atau  menaikkan  pH  tanah dan menjaga kestabilan kualitas air. Pengapuran menggunakan kapur    dolomit minimal 2 kg/ha 100 kg/ha atau rata-rata sebanyak 31,65 kg/ha. Pengapuran dilakukan sekali  dalam  satu  musim  tanam. Pengapuran dilakukan setelah pengeringan.
c)       Pengeringan 
Pengeringan dilakukan setelah 3 5 hari setelah pemberian saponin. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan pH yang turun pada pemeliharaan sebelumnya, selain itu pengeringan juga berfungsi sebagai pengendali kompetitor dan hama.

d)      Pemberian Saponin 
Pemberian saponin bertujuan untuk membasmi hama tambak berupa ikan liar, ular dan lainnya. Pemberian saponin dilakukan setelah panen terakhir. Pemberian saponin dilakukan minimal 2,5 kg/ha dan maksimal 25 kg/ha atau rata-rata 16,18 kg/ha
e)       Pemupukan 
Pemupukan bertujuan untuk menumbuhkan fitoplankton. Fitoplankton selain  dapat memberikan tambahan oksigen terlarut kedalam air, juga berfungsi sebagai makanan alami bagi udang. Pemupukan  menggunakan  pupuk  urea  dan TSP.
f)       Pemasukan Air
Setelah pemupukan dilakukan pemasukan air.
g)      Penebaran Udang Windu
Penebaran udang windu  dilakukan 4 - 7 hari  setelah pemasukan air.  Padat tebar udang windu adalah 1 - 4 ekor/m2 atau 14.472 ekor tiap hektar tambak dengan ukuran panjang 1,0 1,5 cm.
Menurut Mahmud et al., (2007), bahwa budidaya tambak udang secara tradisional tidak sering dilakukan penggantian air dan secara normal penggantian air dilakukan dua kali sebulan agar memudahkan petani tambak dalam mengatur sirkulasi air. Pada lokasi tambak yang mempunyai elevasi agak tinggi, biasanya petani menggunakan pompa air untuk mengisi atau mengalirkan air ke dalam tambak. Bentuk tambak sistem tradisional dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2, yaitu bentuk tunggal tanpa petak ipukan atau penggelondongan dan bentuk ganda yang mempunyai petakan ipukan dan dibuat dalam bentuk bujur sangkar.
.Berikut gambar desain tambak tradisional

Gambar 2. Denah Tambak Tradisional Untuk Pemeliharaan Udang Windu (Suyanto dan Mujiman 2003)

Gambar 3. Denah tambak tradisional petak ganda untuk pemeliharaan udang windu (Adaptasi dari Soetomo, 2000)



3.2.    Penebaran Benih Udang Windu
Penebaran benih udang windu dilakukuan ketika persiapan tambak, mulai dari persiapan lahan, pemupukan, pengapuran dan pengecekan kualitas air dilakukan. Menurut Mahmud et al., (2007), Penebaran udang windu  dilakukan 4 - 7 hari  setelah pemasukan air.  Padat tebar udang windu adalah 1 - 4 ekor/m2 atau 14.472 ekor tiap hektar tambak dengan ukuran panjang 1,0 – 1,5 cm. sedangkan menurut Sudarno et al. (2014), bahwa Penebaran benih dilakukan setelah air dalam petak pemeliharaan mencapai ketinggian ± 60 cm dan sudah didiamkan selama dua hari (± 48 jam). Benih yang ditebar dapat berupa benur (PL-11) ataupun yang sudah berukuran glondongan. Penggunaan imunostimulan dilakukan pada tiap-tiap kantong plastik pada saat pengepakan untuk transportasi dengan dosis tiga tetes per kantong. Untuk kegiatan ini digunakan benih yang berukuran glondongan dan diambil dari pengusaha glondongan di sekitar lokasi penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat stress benih, karena kondisi perairan yang tidak terlalu jauh berbeda. Dua hari sebelum benih ditebar dilakukan pemberian biocyn pada air tambak dengan dosis 1kg/ha, yang bertujuan untuk menjaga kualitas air selama pemeliharaan. Untuk selanjutnya biocyn diberikan tiap dua minggu sekali, dengan dosis 1 kg/ha. Penebaran benih udang dilakukan pada pagi hari, dengan padat tebar 16 rean/ha.

3.3.    Manajemen Kulitas Air Tambak Tradisional
Kualitas air merupakan faktor  yang sangat penting bagi budidaya. Dimana Air sebagai habitat atau media yang digunakan kultivan tumbuh dan berkembang. Kualitas air yang baik yaitu jika air dapat mendukung kehidupan organisme akuatik dan jasad makanannya pada setiap stadium pemeliharaan. Perubahan kualitas air yang penting untuk budidaya ditambak adalah suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH, kecerahan, NH4, NO2, NO3, PO4 dan padatan tersuspensi total.
3.3.1. Salinitas
Untuk tumbuh dan berkembangnya organisme yang dibudidayakan mempunyai toleransi optimal. Kandungan salinitas air terdiri dari garam-garam mineral yang banyak manfaatnya untuk kehidupan organisme air laut atau payau. Sebagai contoh kandungan calcium yang ada berfungsi membantu proses mempercepat pengerasan kulit udang setalah moulting. Salinitas air media pemeliharaan yang tinggi (> 30 ppt) kurang begitu menguntungkan untuk kegiatan budidaya udang windu. Karena udang windu akan lebih cocok dalam pertumbuhan optimal apabila salinitas berkisar 5 - 25 ppt. Menurut Warnock et. al. (2002) dalam Tantu (2012), udang windu, merupakan organisme eurihalin, kisaran salinitas yang optimum perlu dipertahankan. Udang windu mampu menyesuaikan diri terhadap salinitas 3-45 ppt, namun untuk pertumbuhan optimum diperlukan salinitas 15-25 ppt. Terlihat bahwa salinitas pada musim kemarau dapat menjadi faktor pembatas dalam budidaya tambak, namun tidak menimbulkan masalah yang berarti pada musim hujan.
Tingginya salinitas untuk kegiatan usaha budidaya udang windu akan mempunyai efek yang kurang menguntungkan, diantaranya yaitu, agak sulit untuk ganti kulit (kulit cenderung keras) pada saat proses biologis bagi pertumbuhan dan perkembangan, kebutuhan untuk beradaptasi terhadap salinitas tinggi bagi udang windu memerlukan energi (kalori) yang melebihi dari nutrisi yang diberikan, bakteri atau vibrio cenderung tinggi, Udang windu lebih sensitif terhadap goncangan parameter kualitas air yang lainnya dan mudah stres, dan umumnya udang windu sering mengalami lumutan. Selain itu, pada saat puncak musim kemarau jenis udang umumnya akan lebih mudah terserang penyakit WSSV (white spot).
3.3.2. Suhu Air
Suhu pada air media pemeliharaan udang sangat berperan dalam keterkaitan dengan nafsu makan dan proses metabolisme udang. Apabila suatu lokasi tambak yang mikro klimatnya berfluktuatif,  secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap air media pemeliharaan. Sebagai contoh pada musim kemarau yang puncaknya mulai bulan Juli hingga September sering terjadi adanya suhu udara dan air media pemeliharaan udang yang sangat rendah (24oC). Rendahnya suhu tersebut akibat dari pengaruh angin selatan (musim dingin), pada musim seperti ini biasanya suhu air berkisar antara 22-26oC. Suhu < 26oC bagi udang windu akan sangat berpengaruh terhadap nafsu makan (bisa berkurang 50% dari kondisi normal). Menurut James et al. (2011) dalam Tantu (2012), suhu air yang layak untuk budidaya udang windu berkisar antara 26 dan 32oC dan optimumnya antara 29 dan 30OC. Padas uhu 26 - 30oC pertumbuhan udang windu relatif cepat dan sintasan relatif tinggi. Menurut Seiregar (2015), udang windu dapat hidup dan tumbuh dengan cepat pada lingkungan perairan dengan kisaran suhu 28 - 300 C.
3.3.3.Tingkat Kekeruhan Air
Tingkat kekeruhan air, baik air sumber maupun air media pemeliharaan mempunyai dampak yang positif dan negatif terhadap organisme yang dibudidayakan, dan setiap organisme mempunyai toleransi tingkat kekeruhan yang berbeda pula. Sebagai contoh bagi jenis kerang hijau masih dapat hidup normal dan tumbuh baik pada tingkat kekeruhan yang tinggi, sementara rumput laut pada umumnya memerlukan tingkat kekeruhan yang rendah. Bahan organik yang menumpuk dalam jumlah yang banyak (tebal) termasuk tempat bersarangnya bakteri vibrio yang merugikan bagi udang.
Bila air sumber yang digunakan untuk kegiatan budidaya banyak membawa material organik akibat limbah kiriman dari darat, maka secara tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap biota air yang dipelihara di tambak. Tingkat kekeruhan yang tinggi (limbah dari darat) sering terjadi pada musim penghujan, dimana material yang terbawa berupa cair, padat dan gas. Namun untuk mengendalikan air keruh akibat limbah bawaan tersebut masih dapat digunakan untuk kegiatan budidaya tambak, khususnya udang.
3.3.4. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut sangat esensial bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama dalam metabolisme akuatik. Kurangnya  kandungan oksigen daam air akan menghambat pertumbuhan kultivan, dapat mengakbatkan stress bahkan hingga mengakibatkan kematian. Kebutuhan minimum udang windu akan oksigen terlarut adalah 2 mg/L . Batas oksigen terlarut untuk udang windu adalah 3 - 10 mg/L and optimum 4 - 7 mg/L. Menurut Siregar (2015), kadar oksigen terlarut antara 4 - 7 mg/L, dan bebas dari hasil metabolisme khususnya NH3 dan H2S serta cemaran lainnya.
3.3.5. Kadar pH
Batas toleransi organisme akuatik terhadap pH dipengaruhi oleh faktor, antara lain: suhu, oksigen terlarut, alkalinitas dan adanya anion dan kation serta jenis dan stadium organisme. Kandungan pH yang baik bagi perairan budidaya udang windu yaitu berkisar antara 7,5 – 8. Hal ini diperkuat oleh Kholifah (2008), bahwa kuallitas air untuk pH berkisar antara 7,5 – 8 masih dalam kisaran yang aman.

3.4.    Manajemen Pakan Udang Windu
Pakan udang windu, terutama pakan alami erat kaitannya dengan manajemen wadah budidaya dan proses pemupukan. Karena pupuk yang di berikan pada lahan budidaya akan menumbuhkan pakan alami bagi udang windu. Pemupukan dilakukan agar air kolam mempunyai kelimpahan pakan yang cukup bagi udang karena di dalam kolam sudah ada mata rantai makanan yang dapat menunjang pakan dari udang secara alami. Pakan alami dari udang windu ini biasanya adalah zooplankton yang sudah ada di kolam itu sendiri. Pupuk yang diberikan untuk menumbuhkan pakan alami dari udang biasanya adalah pupuk organik seperti kotoran hewan yang telah menjadi kompos. Pupuk organik diberikan pada tahap awal pengolahan wadah, agar pupuk yang diberikan nantinya akan menjadi kompos secara sempurna, sebelum dimasukkan air kedalam wadah budidaya. Setelah proses pupuk organik, diberikan kembali pupuk anorganik yang biasanya terbuat dari bahan-bahan kimia seperti Urea dan NPK. Proses penyediaan pakan bagi ikan ini harusdilakukan sejak awal, agar nantinya setelah proses aklimatisasi udang langsung mendapat makanan di wadah budidaya. Menurut Buku Panduan Budidaya Udang Windu (2011), pemberian pakan pada hari penebaran benur ketambak agar benur dengan mudah mendapatkan pakan di alam. Hal inilah yang menyebabkan manajemen pakan juga sangat berpengaruh dalam budidaya udang windu.
Pengontrolan juga harus terus dilakukan, setelah pemberian pakan ambil udang sampel, untuk melihat apakah perut udang sudah terisi penuh oleh pakan atau belum. Apabila telah di beri pakan, udang tidak lagi mau makan, maka proses pemberian pakan buatan dapat di hentikan. Dan perlu di periksa apakah itu gejala penyakit. Pakan juga bisa dilakukan setelah kurang lebih 1 bulan dari masa penebaran. Hal ini seperti yang dikatakan Bachnun (2007), yang menyatakan bahwa pada budidaya udang windu system tradisional (ekstensif) di Kabupaten Jembrana, Bali, teknik pemberian pakan yang dilakukan adalah pakan (pellet/rucah) diberikan hanya setelah udang berumur ± 1 bulan. Pada budidaya tradisional pengontrolan dengan anco sangat penting untuk melihat apakah udang sudah kenyang atau belum. Pemberian pakan pada udang juga tidak boleh sembarangan, butuh perbandingan antara berat tubuh dan hari penebaran. Untuk komposisi pakan yang dapat di berikan. Komposisi pakan udang dengan kandungan protein yang tinggi (36 – 40%), karbohidrat (max 25%), lemak (max 8%), vitamin dan mineral (1 - 2%) . Hal lain yang menjadi perhatianya itu pakan merupakan penyumbang utama limbah tambak karena lebih dari 65% protein dalam pakan akan hilang dalam lingkungan air tambak. Sehingga pemberian pakan harus tepat dan terkontrol.
Berdasarkan BMP Udang Windu (2014), dapat diketahui tabel pemberian pakan pada tambak tradisional dan tradisional plus dibawah ini:


3.5.    Pengendalian Hama dan Penyakit Udang Windu
Budidaya udang windu pada tambak traditional kendala/hambatan yang dijumpai ada dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Kendala faktor eksternal adalah fluktuasi kualitas air tawar dan air laut yang digunakan. Budidaya udang windu pada tambak tradisional kualitas air sangat tergatung kepada suplai air yang diterima, sehingga masuknya air laut dan air tawar tidak tidak bisa dikontrol.  Kendala faktor internal adalah pengolahan tanah / sedimen setelah panen, aerasi dan pemberian pakan selama periode pemeliharaan udang windu. Suplai oksigen sangat minim karena tidak adanya airasi dalam tambak udang traditional.
Beberapa aspek yang menyebabkan hasil budidaya tambak traditional tidak maksimal, salah satu isu strategis adalah terbatasnya pengetahuan dan teknologi budidaya yang dimiliki bagi para petani tambak itu sendiri. Keterbatasan pengetahuan dan teknologi ini berakibat pada kesulitan mereka untuk dapat meningkatkan hasil produksi tambak persatuan luas. Hal ini menjadi cermin bagi petugas perikanan dalam penyebarluasan atau penyuluhan bagi petani tambak. Beberapa kemungkinan penyebab keterbatasan pengetahuan dan teknologi petani tambak adalah terbatasnya jumlah dan kapasitas pengetahuan tenaga pendamping yang dimilii oleh dinas terkait (Dinas Perikanan dan Kelautan Badan Diklat dll) dalam melakukan penyuluhan budidaya di lapangan, kurangnya atau terputusnya koordinasi dari instansi terkait dalam melakukan sosialisasi  setiap teknologi baru yang dihasilkan.Secara umum petani tambak mempunyai keengganan untuk menerima teknologi baru , yang belum dipraktekan atau dilihat secara langsung oleh petani di daerah tempat usahanya. Hal ini disebabkan karena adanya ketakutan dan keraguan mengenai tepat tidaknya teknologi tersebut dalam meningkatkan produktivitas usahanya.
Budidaya udang windu pada tambak tradisional terdapat beberapa penyakit yang menyerang udang. Beberapa penyakit yang sering menyerang udang windu beserta pencegahannya adalah:
3.5.1. Bintik Putih 
Penyakit inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang. Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). Serangannya sangat cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat mati. Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar, terutama udang putih. Belum ada obat untuk penyakit ini, cara mengatasinya adalah dengan diusahakan agar tidak ada kepiting dan udang-udang liar masuk ke kolam budidaya. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak stress dan daya tahan tinggi. Sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen. Untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak tersebut tambak perlu dipupuk dengan Ton.
3.5.2. Bintik Hitam/Black Spot 
Disebabkan oleh virus Monodon Baculo Virus (MBV). Tanda yang nampak yaitu terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan biasanya diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga gejala lain yang tampak yaitu adanya kerusakan alat tubuh udang. Cara mencegah : dengan selalu menjaga kualitas air dan kebersihan dasar tambak.
3.5.3.Kotoran Putih/Mencret
Disebabkan oleh tingginya konsentrasi kotoran dan gas amoniak dalam tambak. Gejala : mudah dilihat, yaitu adanya kotoran putih di daerah pojok tambak (sesuai arah angin), juga diikuti dengan penurunan nafsu makan sehingga dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Cara mencegah : jaga kualitas air dan dilakukan pengeluaran kotoran dasar tambak/siphon secara rutin.
3.5.4.Insang Merah 
Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang. Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan kualitasnya.
3.5.5.Nekrosis 
Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan Ton 1 - 2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang untuk segera melakukan ganti kulit (Molting) dengan pemberian saponin atau dengan pengapuran.

3.6.      Pemanenan dan Pemasaran Udang Windu
Panen adalah tahap akhir dari rangkaian proses budidaya udang diarea pertambakan udang. Yaitu dengan cara pengambilan udang dari tambak yang dijaga kesegarannya untuk kemudian dikirim ke proses selanjutnya untuk diolah lebih lanjut. Dari tahap satu ketahap yang lainnya pada proses panen harus mempunyai persiapan yang matang dan terencana dengan baik dari prosedur pelaksanaan panen, agar semua berjalan sesuai dengan yang diinginkan oleh semua pihak, terutama bagi petambak dan perusahaan.
Kegiatan panen udang meskipun sebagai tahap akhir dari suatu proses budidaya udang dalam satu siklus budidaya (terutama untuk panen normal) merupakan tahapan yang sangat penting juga untuk dipahami. Kualitas udang dan sifat/tingkah laku udang merupakan pengetahuan dasar yang perlu dipahami pada saat melakukan pemanenan udang. Pada kondisi tertentu (sering dijumpai di lapangan) udang mengalami penurunan kualitas yang sangat nyata pada saat dilakukan pemanenan, sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap harga jual dan tingkat keuntungan yang diperoleh menjadi tidak optimal
a.              Persiapan Sebelum Pelaksanaan Panen
Sebelum melaksanakan panen ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam rangka menghasilkan udang yang bermutu baik. Pada saat perlakuaan pra-panen. Hal itu meliputi membersihkan tambak dari kotoran dan sampah seperti tritip pada saat melakukan penangkapan atau penjaringan. Cacat pada udang akan menurunkan mutu dan harga udang, membesihkan tambak dari lumpur, sampah dan lumut. Untuk itu dapat dilakukan siphon satu minggu sebelum panen, usahakan udang tidak dalam keadaan soft sheel, karena akan mempengaruhi harga udang tersebut.
Menurut Suyanto dan Takarina ( 2009 : 192 ) menjelaskan bahwa sebelum melaksanakan panen, maka langkah awal yang dilakukan adalah mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan di gunakan untuk memperlancar proses pemanenan udang karena kesiapan alat sangat mempengaruhi dalam proses panen tersebut. Hal terpenting juga adalah memperhatikan mutu udang, adapun mutu udang di tentukan oleh beberapa kriteria, yaitu :
a)             Ukuran udang. Semakin besar ukuran udang maka kian tinggi harganya.
b)             Warna kulit udang gelap kehijauan atau kecokelatan, dengan garis-garis hitam dan putih yang jelas.
c)             Kulit udang ketika dipanen harus dalam keadaan keras, bersih, licin, bersinar, dan tak bercacat.
Supaya kulit udang keras dan bersih, 3 – 4 hari sebelum panen dilakukan pergantian air tambak sebanyak 50 -75 % volume air. Pergantian air yang cukup banyak itu akan merangsang udang untuk berganti kulit. Setelah air diganti, malam hari atau keesokan harinya, udang ganti kulit hampir serentak dan sehari kemudian, udang sudah berkulit keras kembali sehingga kulit dalam kondisi bersih sebab akan tingkat harga bila kedaan udang itu masih bagus. Bila udang telah berumur 3 – 3,5 bulan dipelihara di tambak, petani sebaiknya mulai mencari atau menghubungi pembeli supaya saat panen dapat direncanakan secara tepat.
Menurut Amri (2008 : 89) menjelaskan bahwa  sebelum panen, terlebih dahulu di lakukan pengambilan sampel udang untuk mengetahui jumlah udang yang sedang berganti kulit (moulting). Jika banyak udang yang mengalami moulting, panen harus ditunda karena udang akan mengalami penurunan mutu (cepat membusuk ) dan bobot timbangannya cukup ringan sehingga petambak akan mengalami kerugian yang cukup besar.
Ada beberapa tahap dalam prosedur panen adalah sebagai berikut : 
1.             Persiapan Penangkapan Udang
Pindahkan kincir dari posisi yang semula, kemudian letakkan disisi dinding tambak hingga hampir merapat ke dinding tambak, kincir ini dipindahkan dengan cara mengangkat atau digeser. Sebelum kincir dipindahkan pastikan arus listrik pada kincir tersebut sudah benar-benar dimatikan, agar tidak berbahaya bagi pekerja dan udang yang berada didalam tambak. Selanjutnya kita menggantikan pipa pembuangan air itu dengan pipa berlubang yang sudah kita buat untuk mengeluarkan air secara perlahan dan airnya tinggal 50%  di tambak.
2.             Proses Penangkapan Udang 
Setelah kita melakukan persiapan diatas maka selanjutnya menangkap udang dengan cara meletakan jaring yang dipasang pada lubang pintu keluar dan mengangkatnya secara berkali-kali dan usahakan jangan sampai udang sudah penuh didalam jaring sehingga akan saling tindih yang mengakibatkan udang rusak.
3.             Pembongkaran Udang
Setelah udang terkumpul pada bagian mulut kantong yang terikat dengan tali, setelah itu udang siap untuk dimasukkan kedalam keranjang yang telah disiapkan, setelah itu tali pengikat ujung kantong dibuka untuk mengeluarkan udang. Kemudian udang dibongkar dan dikeluarkan dari ujung kantong dan dimasukkan ke keranjang tarik/angkut yang telah dilengkapi jaring, setelah dimasukkan kedalam keranjang udang ditarik keatas secara estafet oleh tenaga pelaksana yang berada dibagian atas dengan cara menarik tali yang telah diikatkan pada bagian tubuh keranjang. Sementara tenaga yang lain secara estafet memindahkan udang yang tertangkap dari bagian pangkal kantong ke ujung kantong.
4.             Pelelesan Udang
Pelelesan yaitu penangkapan udang yang dilakukan setelah air tambak kering dengan cara memunguti udang satu parsatu pada bagian dasar tambak yang sudah tidak ada airnya (kering), atau sisa-sisa udang yang tidak tertangkap oleh jaring panen, pada saat kondisi air tambak sudah surut / kering total. Pelaksana penangkapan ini yaitu dengan cara tenaga pelaksana berjejer dan bergerak maju kemudian memutar searah putaran jarum jam.
Menurut Amri ( 2008 : 90 ) menjelaskan bahwa Pemanenan sebaiknya dilakukan saat waktu subuh atau ketika suhu udara masih rendah karena udang sangat sensitive terhadap sinar matahari sehingga kesegarannya dapat dipertahankan. Cara panen yang baik adalah menghindari perlakuan kasar terhadap udang, menghindari gerakan yang berlebihan pada udang, dan menjaga agar udang hasil panen tidak terkena sinar matahari secara langsung. Pemanenan melalui pintu pembuangan cukup efektif karena sebagian besar udang akan hanyut dengan mudah melalui pintu air dan udang hasil tangkapan bersih tercuci oleh aliran air. Cara panen melalui pintu pembuangan adalah dengan membuka pintu pengeluaran dan di ujung gorong-gorong dipasang jala kantong yang diikat kuat. Pajang jarring diatur sepanjang mungkin (sekitar 6 meter) agar udang tidak rusak akibat tumpukan dan tekanan air. Setelah tinggi air tambak tinggal 50-60 cm, penagkapan udang dilakukan dengan menggunakan jala listrik , dan penangkapan terakhir dilakukan secara manual dengan cara digogo.
Menurut Suyanto dan Takarina (2009 : 196) mengatakan bahwa panen total dilakukan dengan pengeringan tambak, baik tambak tradisional dan semi intensif.  Sore hari menjelang penangkapan bila terjadi air surut, air dalam petak tambak dapat dikeluarkan sebagian secara perlahan-lahan sehingga kedalaman air dalam petak tambak hanya sedalam caren saja, kurang lebih 10 – 20 cm. Penagkapan total yang lebih cepat dilakukan dengan memasang jaring besar memanjang pada saluran pembuangan mulai dari depan pintu air. bila pintu air dibuka, udang akan keluar bersama aliran air dan tertadah oleh jaring yang terpasang di saluran itu. Agar udang tidak banyak rusak aliran pembuangan air dari pintu air diatur agar perlahan-lahan. Udang ditangkap dari dalam jarrng penadah sehingganya udang tidak banyak yang rusak. Setelah air di dalam tambak tinggal sedkit, biasanya masih ada sedikit udang yang tertinggal dan dapat di tangkap secara manual (dipunggut dengan tangan). Bila tersedia pompa air, petak itu dapat sedikit diairi lagi sambil mendorong udang yang masih tersembunyi   dalam lumpur untuk dipunggut. Sebagai  jaring penadah udang yang dipasang di depan pintu air, dapat berupa jaring yang dibentuk sebagai kantung. Jaring kantung ini harus cukup panjang sekitar 5 – 6 m agar udang yang tertampung dalam jaring itu tidak rusak tergencet oleh aliran air buangan dari petak tambak.
Semua kegiatan pemanenan yang dilakukan tersebut sudah baik adanya sehingga pelaksanaan dilapangan sangat mudah dipahami karena tidak terlalu sulit sehingga tahap demi tahap dilaksanakan dengan baik pula.
b.             Penanganan Pasca Panen
Adapun langkah dalam pasca panen ini meliputi : pengangkatan, pencucian, penimbangan dan penyortiran, pengemasan dan pengangkutan udang. Perbandingan udang dengan Es adalah 1 : 1.
c.              Pengangkatan Udang
Udang yang selesai dipanen akan di angkat dengan gerobak untuk dibawa ke tempat pencucian udang dan ditindak lanjuti. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat untuk mempercepat proses pasca panen ini.
1.             Pencucian Udang
Udang yang telah diangkut dari dasar tambak, kemudian dibawa ke area pencucian, udang yang telah diangkat dari dasar tambak yang berada didalam keranjang kemudian dituangkan kedalam bak fiber pencucian. Hal ini bertujuan agar membersihkan udang dari tanah yang melekat pada udang tersebut.
2.             Penimbangan dan Penyortiran Udang
Setelah kita selesai mencuci udang tersebut dengan bersih yang dilakukan oleh pelaksana panen maka selanjutnya adalah menimbang udang tersebut dengan melakukan penyortiran terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk memisahkan mana udang yang besar dan kecil sehingganya memudahkan untuk menimbangnya.
3.             Packing (Pengemasan)
Langkah selanjutnya adalah pengemasan setelah udang sudah selesai di sortir dan ditimbang. Dalam langkah pengemasan ini yang paling adalah pengaturan es dan udang tersebut haruslah ditata dengan rapi agar udang tersebut terjaga kualitasnya. Pengisian udang ke dalam blong jangan sampai melebihi batas leher (pegangan) blong, dan tidak boleh dipadatkan atau digoyang – goyang, hal ini bertujuan untuk menghindari udang tertumpuk terlalu banyak dan dapat merusak fisik udang sehingga mempercepat proses kemunduran mutu pada udang selama proses pengangkutan. Satu box/blong penuh mempunyai kapasitas optimal 21 -22 Kg untuk udang monodon dan jumlah es nya adalah 21 – 22 kg.
4.             Pengangkutan Hasil Panen
Setelah udang dikemas dan dimuat kedalam blong serta diangkut ke tempat untuk menjualnya dan dilanjutkan dengan pengangkutan menggunakan truk. Pengangkutan blong berisi udang dan blong kosong dari tambak ke receiving Cold storage, pengawas panen akan membuat bukti kirim udang (BKU) yang ditandatangani oleh pengawas panen, petambak/partner, dan motoris.
Menurut Suyanto dan Takarina (2009 : 200-201) mengatakan bahwa udang yang telah dipanen dikumpulkan dalam keranjang bamboo, rotan, atau bak dari fiber glass yang cukup lebar dan bagian dasarnya berlubang-lubang. Kemudian udang disemprot dengan air bersih sampai udang bersih dari kotoran yang melekat. Setelah itu, udang disortir dan dikelompokan menurut ukurannya, lalu ditimbang. Kini, hasil panen yang telah ditimbang itu dapat diserahkan kepada pembeli. Tanggung jawab selanjutnya untuk mempertahankan mutu dan kesegaran udang menjadi tanggungan pembeli. Lantas oleh pembeli, udang dimasukan kedalam wadah-wadah yang telah disiapkan, diberi es curah dengan perbandingan 1 : 1. Adapun cara penyusunan udang dalam cool box itu adalah disusun didalam kotak secara berlapis-lapis, satu lapis tidak lebih dari 10 cm, bergantian dengan lapisan es curah dan kedalaman cool book ini hanya 50–75 cm.
Dalam proses penanganan pasca panen ini sudah sesuai dengan prosedur dan panduannya, maka penangan pasca panen yang dilakukan berjalan dengan baik dan mudah.
Pemasaran  udang  merupakan langkah  akhir  dari  suatu  usaha  untuk memperoleh pendapatan  yang  diharapkan. Pemasaran  adalah  faktor  yang  sangat menentukan bagi  suatu  usaha  budidaya udang,  mengingat  hasilnya  tidak dapat disimpan  lama. Setelah udang mencapai ukuran konsumsi dengan harga pasar yang baik,harga jual udang tergantung size ukuran dan tiap waktu harga bisa berubah sesuai ukuran atau size yang dibutuhkan pasar , sehingga petambak harus mengikuti perubahan harga pasar udang berdasar size atau ukuran waktu akan melakukan panen untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi. Selain itu mutu udangpun harus dijaga agar kualitas udang tetap terjaga sehingga tidak menurunkan harga pada saat dijual.
Kondisi mutu udang menjadi issue utama sekarang ini sehingga pengusaha tambak akan memilih udang yang bermutu baik. banyak faktor teknis yang harus dipertimbangkan pasar dan harus diperhitungkan dalam pelaksanaan panen. Oleh karena itu kondisi dan mutu udang harus dijaga dan ditingkatkan agar nilai ekspor udang windu tinggi. Potensi ekspor yang sangat besar menjadikan peluang yang besar dalam pengembangan budidaya udang di Indonesia. Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan budidaya udang ini juga tidak kalah besarnya. Hal ini menuntut upaya berbagai pihak, baik Pemerintah, Pembudidaya, Swasta maupun Stakeholder lainnya untuk bersama-sama menanggulangi tantangan tersebut, agar potensi ekspor udang yang sangat besar tersebut tidak hanya menjadi peluang, tetapi secara nyata dapat dimanfaatkan dan dikelola secara baik untuk meningkatkan konstribusinya dalam pembangunan nasional.
Ditetapkannya udang salah satu komoditas yang harus ditingkatkan produksinya cukup beralasan, karena udang merupakan primadona ekspor hasil perikanan Indonesia yang budi dayanya telah terbukti memiliki backward dan forward lingkage yang cukup luas bagi aktivitas ekonomi masyarakat. Menurutnya aktivitas usaha budi daya udang di beberapa sentra produksi beberapa tahun terakhir ini,telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi menurunnya pertumbuhan ekonomi masyarakat di beberap kawasan budidaya tersebut. Sebagai komoditas ekspor, udang masih memperlihatkan penampilan yang menggembirakan.

3.7.      Keuntungan dan Kerugian Tambak Tradisional
3.7.1. Keuntungan
Pada umumnya budidaya tambak ekstensif (tradisional) selalu mengedepankan luas lahan, pasang surut, intercrop dan tanpa pemberian makanan tambahan sehingga makanan bagi komoditas yang dibudidayakan harus tersedia secara alami dalam jumlah yang cukup. Menurut Prihatman (2000), ciri-ciri tambak udang ektensif (tradisional) yaitu: umumnya dibangun di daerah pasang surut, rawa-rawa, semak dan daerah mangrove. Petakan tambak memiliki ukuran dan bentuk tidak teratur dengan luas antara 3 – 10 ha/petak. Pada sekeliling petakan tambak terdapat caren dengan kedalaman 30 – 50 cm dan lebar 5 – 10 m. Terdapat pelataran yang dikelilingi oleh caren dengan kedalaman 30 – 40 cm. Di tengah petakan tambak dibuat petakan kecil untuk nener. Keuntungan budidaya tambak ekstensif adalah lebih ramah lingkungan sekitar tambak pada setiap siklusnya, sehingga budidaya tambak ekstensif dapat berkelanjutan. Penggunaan bahan kimia dalam budidaya tambak ekstensif sangat diminimalisir bahkan tidak menggunakan obat-obatan kimia sama sekali. Limbah sisa budidaya juga ramah lingkungan dengan kandungan amoniak yang rendah karena tidak menggunakan pakan buatan (pelet). Namun disisi lain produktivitas tambak ekstensif kurang optimal akibat jumlah padat tebar yang rendah. Jumlah produksi pada tambak ekstensif bergantung pada luasan tambak yang dikelola.
3.7.2. Kerugian
Pada umumnya dalam kegiatan budidaya udang tradisional memiliki dua kendala utama yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan. Menurut Komarawidjaja (2004), pertama, kendala faktor eksternal adalah beberapa hal seperti fluktuasi kualitas air tawar dan air laut yang digunakan. Pada tambak udang dengan sistim tradisional, kualitas air sangat tergantung kepada suplai air yang diterima sedangkan pada budidaya udang secara intensif, fluktuasi kualitas air tambak dapat ditekan dengan memasukkan air laut dan air tawar terlebih dahulu ke dalam kolam tandon sehingga setelah kualitas air yang dibutuhkan untuk budidaya udang dicapai baru disalurkan ke tambak yang akan ditanami. Kedua, kendala faktor internal adalah mencakup pengolahan tanah/sedimen setelah panen, aerasi dan pemberian pakan selama periode pemeliharaan udang. Pengolahan tanah biasanya dilakukan baik pada lahan budidaya tradisional maupun intensif. Sedangkan perlakuan aerasi lebih banyak dijumpai pada budidaya intensif, terutama untuk memasok kebutuhan oksigen udang. Untuk mencapai produksi yang optimal pada budidaya udang intensif selain kondisi lingkungan yang baik faktor pemberian pakan sangat menentukan.



IV.    KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.    Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, kesimpulan yang dapat diambil antara lain sebagai berikut:
1.             Teknik budidaya udang windu yang dilakukan pada tambak tradisional harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya yang paling penting adalah aspek lokasi dan pola konstruksi tambak. Hal yang perlu diperhatikan dalam rekontruksi wadah budidaya adalah tanah dasar, sumber air tambak dan hutan mangrove. Sedangkan persiapan tambak yang perlu diperhatikan adalah kedung teplok, pengapuran, pengeringan, pemberian saponin, pemupukan, pemasukan air dan penebaran benih udang windu.
2.             Penebaran benih udang windu dilakukan ketika semua persiapan tambak sudah selesai, seperti halnya persiapan lahan, perbaikan tambak dan kontruksi, pemupukan dan pengecekan kualitas air telah selesai dilakukan, kemudian benih dimasukkan ke dalam tambak yang selanjutnya akan dipelihara.
3.             Manajemen kualitas air udang windu yang baik antara lain: salinitas yang optimum berkisar antara 15 – 25 ppt, suhu antara 28 – 300C, oksigen terlarut optimum sebesar 4 – 7 ppm dan pH sebesar 7,5 – 8. Sedangkan untuk manajemen pakan udang windu tergantung pada saat pemupukan tambak yang dilakukan ketika pengolahan tambak sebelum benih ditebar, pemupukan bertujuan untuk membantu pakan alami berupa zooplankton agar dapat tumbuh pada tambak dan menjadi pakan alami bagi udang windu itu sendiri. Selain itu udang windu juga diberi pakan berupa pelet dan sesekali diberi pakan tambahan berupa ikan rucah. Pengendalian hama dan penyakit pada udang windu dapat dilakukan dengan menjaga kualitas air dan kebersihan dasar tambak, penyiponan secara rutin, pemberian saponin dan atau pengapuran serta kestabilan ekosistem tambak harus dijaga agar udang windu tidak stress.
4.             Pemanenan sebaiknya dilakukan saat waktu subuh atau ketika suhu udara masih rendah karena udang sangat sensitive terhadap sinar matahari sehingga kesegarannya dapat dipertahankan. Cara panen yang baik adalah menghindari perlakuan kasar terhadap udang, menghindari gerakan yang berlebihan pada udang, dan menjaga agar udang hasil panen tidak terkena sinar matahari secara langsung. Potensi ekspor yang sangat besar menjadikan peluang yang besar dalam pengembangan budidaya udang di Indonesia. Kondisi mutu udang yang bermutu baik sangat dipertimbangkan pasar dan harus diperhitungkan dalam pelaksanaan panen. Oleh karena itu kondisi dan mutu udang harus dijaga dan ditingkatkan agar nilai ekspor udang windu tinggi.
5.             Keuntungan budidaya tambak tradisional adalah lebih ramah lingkungan sekitar tambak pada setiap siklusnya, sehingga budidaya tambak tradisional dapat berkelanjutan. Penggunaan bahan kimia dalam budidaya tambak tradisonal sangat diminimalisir bahkan tidak menggunakan obat-obatan kimia sama sekali. Limbah sisa budidaya juga ramah lingkungan dengan kandungan amoniak yang rendah karena tidak menggunakan pakan buatan (pelet). Namun disisi lain kerugian tambak tradisional adalah produktivitas tambak tradisional kurang optimal akibat jumlah padat tebar yang rendah. Jumlah produksi pada tambak tradisional bergantung pada luasan tambak yang dikelola. Kualitas air sangat tergantung kepada suplai air yang diterima.

4.2.    Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1.             Sebaiknya dalam budidaya udang windu secara tradisional, hal yang harus diperhatikan adalah lokasi tambak, ketersediaan pakan alami dan padat penebarannya.
2.             Sebaiknya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam budidaya tradisional dapat dilakukan dengan cara sistem polikultur, dimana dalam satu tambak terdapat beberapa kultivan yang saling bersinergisme. Seperti budidaya udang windu dengan ikan bandeng atau udang windu dengan ikan bandeng dan rumput laut.



DAFTAR PUSTAKA


Amri, Khairul. 2008. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Kholifah, U., N. Trisyani, dan I. Yuniar. 2008. Pengaruh Padat Tebar yang Berlebihan  terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan pada Polikultur Udang Windu (Peneaus monodon) dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) pada  Hapa di Tambak Brebes, Jawa Tengah. Neptunus. 14(2): 152 – 158.

Komarawidjaja, W. 2004. Penelitian Pengaruh Pemanfaatan Konsorsium Mikroba Penitrifikasi dalam Budidaya Udang. Jurnal Teknik Lingkungan. 5(1): 25-29.

Mahmud, U., Komar, S., Nora, H.P. 2007. Pengkajian Usaha Tambak Udang Windu Tradisional di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Jurnal MPI. 2(1)

Motoh, H. 1981.Studies on Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn, Penaeus
monodon in Philipphines. SEAFDEC. Aquaculture Departement. Tigbuan
Iloilo, Philippines. 128 p.

Mujiman, A, dan Suyanto, R. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 211 hal.

Prihatman, K. 2000. Budidaya Udang Windu ( Palaemonidae / Penaeidae ). Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan – BAPPENAS. Jakarta.

Rangka, N.A., dan Andi, I.J.A. 2010. Teknologi Budidaya Ikan Bandeng di Sulawesi Selatan. Jurnal Inovasi Teknologi Akuakultur.

Siregar, S. 2015. Dampak Program Safver terhadap Pendapatan Petani Udang Windu. Agrium ISSN 2442-7306. Vol 19(2): 107 – 115.

Soetomo, M.H.A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Algesindo, Bandung.


Sudarno, G. Mahasri dan Kismiyati. 2014. Ibm Bagi Petambak Udang Tradisional di Desa Masaran, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, yang Gulung Tikar. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 6 (1): 59 – 65.
                                                      
Sutanti, A. 2009. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang Windu Penaeus monodon. SKRIPSI. Institut Pertanian Bogor.

Suyanto, R.S., dan A.Mujiman. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta.

Suyanto Rachmatun S. dan Takarina Purbani E. 2009. Panduan Budidaya Udang Windu. Jakarta : PT. Penebar Swadaya
Tantu, A. G. 2015. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Udang di Wilayah Pesisir Kecamatan Labakkang Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Environment. Vol 1(1)

Tarsim. 2004. Effect of Adding the White Legged Shrimp (Penaeus vannamei) on Growth and Survival of  Tiger Shrimp (Penaeus monodon) in Intensive Farming. Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 3(3): 41-45

Tarsim. 2004. Pengaruh Penambahan Udang Putih (Penaeus vannamei) terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Windu                     (Penaeus monodon)  Pada Budidaya Intensif. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(3): 41-45.

0 komentar:

Posting Komentar