PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Udang
merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas
kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang
disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar
terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air
tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air
tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli
sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid. Udang laut, terutama dari
keluarga Penaeidae, yang bisa disebut udang penaeid oleh para ahli. Udang
merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi.
Bagi Indonesia udang merupakan primadona ekspor non migas. Permintaan konsumen
dunia terhadap udang rata-rata naik 11,5% per tahun. Udang
windu (Penaeus monodon) merupakan
jenis udang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi pasar
cukup besar. Upaya peningkatan kepadatan dengan penambahan udang putih ke dalam
sistem budidaya udang windu diduga akan mempunyai dampak negatif yang kecil
pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu (Tarsim, 2004).
Udang
windu (Penaeus monodon) termasuk
salah satu jenis hasil perikanan yang cukup penting dalam menunjang penerimaan
devisa negara melalui komoditi non migas. Karena harga udang windu mahal dan
pemasaranya cukup terbuka luas dipasaran internasional. Sehingga banyak orang
yang melakukan pembesaran udang windu. Pada tahun 2014, dengan ukuran 30 ekor
per kg, harga udang windu berkisar Rp. 70.000 di tingkat pembudidaya, dan harga
ekspornya bisa mencapai Rp. 120.000. Berdasarkan kenyataan dilapangan teknis
budidaya udang windu tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala-kendala
yang sering dihadapi para pembudidaya udang windu, misalnya dalam kegiatan
pembesaran. Rendahnya benih yang sehat menjadi salah satu kendala dalam
menghasilkan udang ukuran konsumsi. Hal ini disebabkan karena kurangnya ilmu
pengetahuan para petambak udang windu dalam memilih benih yang sehat.
Hal lain yang
bisa mendorong lajunya pertumbuhan perusahaan pertambakan tersebut adalah
dengan adanya permintaan akan kebutuhan udang yang terus meningkat dari tahun
di mana produksi udang yang dihasilkan belum mencukupi kebutuhan udang di
dunia. Karena udang merupakan sebagai komoditas ekspor yang mempunyai harga
baik yang harus tetap di tingkatkan produksinya. Indonesia merupakan daerah
tropis di mana pada pola tanam pemeliharaan udang dapat dilakukan sepanjang
tahun. Budidaya udang windu perlu terus dikembangkan mengingat spesies ini
merupakan endemik di Asia Tenggara sehingga dapat dijadikan produk unggulan
bagi negara-negara kawasan Asia Tenggara khususnya di Indonesia (Tarsim, 2004).
Untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat baik di pasar lokal maupun
pada tingkat international sangat perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas
udang yang akan diproduksi karena mempengaruhi permintaan konsumen.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah kontruksi tambak
tradisioal yang baik untuk budidaya udang windu?
2.
Bagaimana cara
penebaran benih yang baik untuk budidaya udang windu di tambak tradisional?
3.
Bagaimana manajemen
kualitas air yang baik dalam budidaya udang windu di tambak tradisional?
4.
Bagaimana manajemen
pakan yang baik dalam budidaya udang windu pada tambak tradisional?
5.
Bagaimana pengendalian
hama dan penyakit dalam budidaya udang windu pada tambak tradisional?
6.
Bagaimana cara
pemanenan dan pemasaran udang winsu pada tambak tradisional?
7.
Apakah keuntungan dan
kerugian menggunakan tambak tradisional untuk budidaya udang windu?
1.3.
Tujuan
1.
Mengetahui kontruksi tambak tambak tradisional untuk
budidaya udang windu;
2.
Mengetahui cara penebaran benih udang windu pada tambak
tradisional;
3.
Mengetahui kualitas air, manajemen pakan serta
pengendalian hama dan penyakit pada udang windu yang terjadi selama budidaya;
4.
Mengetahui cara pemanenan dan pemasaran udang windu
pada tambak tradisional; dan
5.
Mengetahui keuntungan dan kerugian menggunakan
tambak tradisional untuk budidaya udang windu.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi
dan Morfologi Udang Windu
Udang windu digolongkan
ke dalam keluarga Penaeid pada filum Arthropoda. Terdapat ribuan spesies dalam
filum ini, namun yang mendominasi perairan berasal dari subfillum Crustacea.
Berikut tata nama udang windu kompilasi dari Motoh (1981) dan Landau (1992):
Kingdom :Animalia
Subkingdom :Metazoa
Fillum :Arthropoda
Subfillum :Crustacea
Kelas :Malacostraca
Ordo :Decapoda
Famili :Penaeidae
Genus :Penaeus
Spesies :Penaeus monodon
Subkingdom :Metazoa
Fillum :Arthropoda
Subfillum :Crustacea
Kelas :Malacostraca
Ordo :Decapoda
Famili :Penaeidae
Genus :Penaeus
Spesies :Penaeus monodon
Menurut Motoh (1981), bahwa tubuh
udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala (thorax) dan perut (abdomen). Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle, mandibula dan dua
pasang maxillae. Kepala dilengkapi
dengan 3 pasang maxilliped dan dua pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki
sepuluh (decapoda). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian
abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang
terbuat dari bahan chitin. Bagian cephalothorax tertutup
oleh sebuah kelopak yang dinamakan kelopak kepala atau cangkang kepala (carapace). Di bagian depan, kelopak kepala memanjang
dan meruncing yang pinggirnya bergigi atau biasa disebut rostrum.
Di bagian perut terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yaitu pada ruas
pertama sampai kelima. Sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami
perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau ekor (uropoda). Ujung ruas
keenam ke arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal
ujung ekor terdapat lubang dubur (anus) (Suyanto dan Mujiman 2003).
2.2. Habitat
Udang Windu
Pada budidaya udang windu secara intensif umumnya dilakukan secara monokultur. Udang windu mempunyai kebiasaan hidup
di dasar
perairan sehingga budidaya monokultur menyebabkan pemanfaatan ruang terbatas pada luas dasar tambak. Oleh sebab itu agar pemanfaatan wadah lebih efisien diperlukan upaya penambahan spesies yang mampu memanfaatkan kolom air sebagai habitatnya. Sistim ini dikenal dengan istilah polikultur. Sistem polikultur udang windu dengan ikan telah banyak dilakukan terutama pada budidaya tradisional pada budidaya intensif, umunya ikan dipelihara terpisah sebagai filter biologi. Menurut Tarsim
(2004), bahwa habitat udang windu adalah laut dan dikenal sebagai penghuni dasar laut. Namun hanya udang windu dewasa yang mencari tempat
yang dalam di tengah laut. Saat muda, udang windu berada diperairan
yang dangkal di tepi pantai, bahkan ada yang memasuki muara sungai dan tambak berair payau. Udang termasuk hewan euryhaline (dapat mentolelir kisaran salinitas
yang luas).
Udang windu dapathidup pada salinitas 3-35 ppt. Bahkan kini udang windu telah dipelihara dikolam
air tawar di Gresik.
2.3. Siklus
Hidup Udang Windu
Selama siklus hidupnya, larva udang
windu mengalami beberapa perubahan bentuk atau pergantian stadia Udang windu
bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal karena memakan udang yang
sedang molting. Udang windu tergolong hewan nocturnal karena
sebagian besar aktifitasnya seperti makan dilakukan pada malam hari. Kulit
udang windu tidak elastis dan akan berganti kulit selama pertumbuhan. Frekuensi
pergantian kulit ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi,
usia dan kondisi lingkungan. Setelah kulit lama terlepas udang windu dalam
kondisi lemah karena udang baru belum mengeras. Pada saat ini udang mengalami
pertumbuhan sangat pesat diikuti dengan penyerapan sejumlah besar air. Semakin
cepat udang berganti kulit maka pertumbuhannya semakin cepat pula.
Gambar 1. Siklus udang windu (Penaeus monodon)
Menurut Sutanti (2009), siklus hidup
pada udang windu (Penaeus monodon)
adalah sebagai berikut:
1.
Perkembangan larva
diawali dari stadia nauplius yang
terjadi setelah telur menetas. Telur udang akan menetas menjadi nauplius setelah 14-15 jam. Nauplius masih mengandalkan kuning telur
sebagai sumber energi dan belum mengambil pakan dari luar.
2.
Selanjutnya 30-35 jam
kemudian nauplius bermetamorfosis
menjadi zoea. Nauplius yang baru menetas memiliki panjang tubuh 0.31-0.33 mm
dengan proses pergantian kulit sebanyak 6 kali. Kuning telur mulai menipis pada
stadia zoea, sehingga dibutuhkan
diatom sebagai makanannya.
3.
Setelah melalui 3 kali molting
(4-5 hari), zoea berubah menjadi mysis. Pada stadia mysis mengalami 3 kali molting (3-5) hari sampai mencapai
stadia post larva. Ketika mencapai
periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
4.
Post
larva mulai makan hewan kecil yang aktif
berenang dan pergerakannya lambat seperti Artemia. Akhir dari tahap ini
ditandai oleh ruas abdomen keenam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan
warna tubuh yang transparan ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang
dari pangkal antena hingga telson.
5.
Tahap juvenile, stadium awal ditandai oleh
warna tubuh yang transparan dengan pita cokelat gelap di bagian sentral. Tahap
ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh mulai stabil, yang
berarti telah menginjak tahap udang muda. Juvenile
merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt. Ukuran
tubuh udang muda mulai stabil dan tumbuh tanda – tanda seksual dimana alat
kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah
panjang cangkangnya 30 mm, sedangkan pada betina thelycum mulai terlihat
setelah panjang cangkang mencapai 37 mm.
6.
Udang windu dewasa
ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna. Udang dewasa menyukai perairan
payau dengan salinitas 15-20 ppt. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada
pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovocytus yang
telah berkembang di dalam ovariumnya.
2.4. Produksi Udang Windu di Indonesia
Dalam
program ekspor hasil perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan
target ekspor udang sebesar USD 6,78 milyar. Untuk mencapai target nilai ekspor
tersebut, produksi udang harus mencapai 6,06 juta ton dimana 1,11 juta ton
(18,3%) dari perikanan budidaya yaitu hasil perikanan yang tidak diperoleh dari
penangkapan. Untuk memenuhi target tersebut, udang mempunyai potensi untuk
dijadikan komoditi ekspor karena perdagangan udang telah meluas di dunia,
harganya cukup tinggi dan permintaannya dari tahun ke tahun diperkirakan
semakin meningkat.
Budidaya tambak udang Windu (penaeus
monodon) merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari aspek
pasar, terutama pasar dunia dengan tujuan utama ekspor ke Jepang, Uni Eropa dan
Amerika Serikat. Areal tambak udang Indonesia mencapai 380.000 hektar dan
sekitar 75% masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitas udang yang
dihasilkan hanya 260 kg/ hektar/tahun (Suyanto dan Mujiman, 2003).
2.5. Teknik Budidaya Secara Tradisional
Menurut Sudarno et al. (2014),
bahwa konstruksi tambak dan tata letak tambak menyesuaikan keadaan yang ada di
lokasi, sebab apabila harus merubah akan memerlukan waktu yang lama, sehingga
di kawatirkan waktu penelitian tidak cukup. Bentuk petakan tambak yang
digunakan untuk penerapan ini adalah empat persegi panjang sebanyak dua petak
dengan luas masing-masing ± 1.2 ha, kedalaman ± 100 cm. Tanggul dan dasarnya
terbuat dari tanah lempung berpasir, lebar tanggul utama ± 1,5 m dengan dasar
tambak sedikit miring kearah pembuangan air.
Bentuk petak tendon yang digunakan adalah empat persegi panjang luas ±
220 m2. Ukuran petak tendon tersebut masuk sangat kecil jika dibendingkan
dengan luas petak pemeliharaan. Ukuran ideal petak tendon ini adalah 30 – 50%
dari luas petak pemeliharaan. Kecilnya petak tendon yang dipergunakan tsb
dikarenakan dalam penelitian aksi ini prinsipnya adalah menggunakan petak-petak
yang sudah tersedia, sebab apabila akan merubah bentuk dan ukuran petak-petak
yang ada dan disesuaikan dengan teknologi, maka akan memerlukan waktu yang lama
dan biaya yang sangat besar.
Persiapan tambak dimulai dengan pengeringan tanah hingga kering selama
sekitar satu bulan, kemudian dilakukan pengapuran dosis 1 ton/ha dan pembalikan
tanah (penyingkalan) yang dilanjutkan dengan pemberantasan hama dan penyakit
dengan menggunakan THIODAN. Pupuk yang digunakan adalah urea dan TSP dengan
dosis masing-masing 200 dan 100 kg/ha. Perbaikan tanggul dan kedhok teplok dilakukan
untuk menutup kebocoran dan perembesan air, kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan caren, pembersihan kotoran dan pengaturan kemiringan lantai sehingga
memudahkan dalam sirkulasi air.
Pembuatan tendon filter biologis juga diawali kegiatan seperti pada
persiapan petak pemeliharaan. Filter biologis yang digunakan adalah ikan
bandeng dengan padat penebaran 5 ekor/m2. Pada kegiatan ini digunakan 1.250
ekor bandeng. Pengisian air dilakukan dua minggu sebelum dimasukkan ke petak
pemeliharaan udang windu. Fungsi ikan bandeng adalah untuk memanfaatkan
biomassa fitoplankton dan bahan terurai yang melimpah, mendaur ulang nutrient
dan menjaga perkembangan fitoplankton agar stabil, dan untuk mengurangi beban
lingkungan yang berasal dari partikel organic dan nutrien dalam air limbah.
Pengairan petak pemeliharaan dilmulai dari pemasukan air dari petak tandon,
dimasukkan ke petak pemeliharaan dengan melalui pintu dari kayu. Imunostimulan
yang digunakan ada.lah imunostimulan dari Zoothamnium penaei yang dapat
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Imunostimulan ini
digunakan untuk benur udang sebelum ditebar, dengan cara direndam dengan dosis
300 mikrogram per liter
Penebaran benih dilakukan setelah air dalam petak pemeliharaan mencapai
ketinggian ± 60 cm dan sudah didiamkan selama dua hari (± 48 jam). Benih yang
ditebar dapat berupa benur (PL-11) ataupun yang sudah berukuran glondongan.
Penggunaan imunostimulan dilakukan pada tiap-tiap kantong plastik pada saat
pengepakan untuk transportasi dengan dosis tiga tetes per kantong. Untuk
kegiatan ini digunakan benih yang berukuran glondongan dan diambil dari
pengusaha glondongan di sekitar lokasi penelitian. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi tingkat stress benih, karena kondisi perairan yang tidak terlalu
jauh berbeda. Dua hari sebelum benih ditebar dilakukan pemberian biocyn pada
air tambak dengan dosis 1kg/ha, yang bertujuan untuk menjaga kualitas air selama
pemeliharaan. Untuk selanjutnya biocyn diberikan tiap dua minggu sekali, dengan
dosis 1 kg/ha. Penebaran benih udang dilakukan pada pagi hari, dengan padat
tebar 16 rean/ha.
Sirkulasi air
dilakukan setelah udang berumur satu bulan di petak pemeliharaan, dengan tujuan
untuk mengurangi stress udang. Sirkulasi dilakukan dengan cara tiap hari
mengurangi sebanyak 10 – 20% dikeluarkan melalui pintu pengeluaran. Sambil
mengeluarkan air pemasukan air dari petak tandon juga dilakukan sebanyak air
yang dikeluarkan. Sirkulasi air ini ditujukan untuk menggantikan air agar air
selalu dalam keadaan baik dan bersih serta sebagai pengganti aerasi yang
umumnya dengan menggunakan kincir air.
III. PEMBAHASAN
3.1. Kontruksi Tambak Tradisional
Wadah yang
digunakan dalam kegiatan budidaya udang windu kali ini adalah menggunakan wadah
budidaya tambak tradisional. Teknik budidaya udang windu yang dilakukan pada
tambak yang tradisional apabila dilakukan dengan baik dan benar maka hasilnya
akan sangat baik. Budidaya udang windu dengan menggunakan tambak tradisional
harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya yang paling penting adalah aspek
lokasi dan pola konstruksi tambak. Menurut Mahmud et al., (2007), konstruksi tambak seperti bentuk dan ukuran petakan
tambak tidak teratur dan umumnya dengan luas 3 – 20 ha. Dalam tambak dibuat
saluran keliling atau disebut caren dengan lebar 5 – 10 m dari sisi tambak
dengan kedalaman 30 – 50 cm dari pelataran. Caren adalah tempat berlindung atau
berteduh udang dari
suhu panas matahari pada siang hari dan sebagai sarana untuk memudahkan petani
pada saat melakukan panen. Sedangkan bagian dalam tambak lainnya adalah
pelataran sebagai tempat tumbuhnya kelekap sebagai makanan alami udang. Kedalaman air di pelataran tambak
tradisional adalah 30 – 50 cm. Pada sebagian tambak tradisional terdapat
petakan kecil untuk pengipukan benur selama 3-5 minggu sebelum dilepas ke
tambak pembesaran.
Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dalam budidaya dengan menggunakan wadah budidaya
tambak tradisional adalah jenis tanah yang terdapat dalam tambak. Jenis tanah
yang baik untuk budidaya adalah campuran antara tanah liat dengan endapan
lempung yang mengandung bahan–bahan organik yang diperlukan dalam kegiatan
budidaya. Hal ini diperkuat oleh Rangka dan Andi (2010), bahwa tambak tradisional yang
baik sangat ditentukan oleh jenis tanah. Tanah yang dipilih harus dapat
menyimpan air atau kedap air. Tanah yang baik adalah campuran tanah liat dan
endapan lempung yang mengandung bahan organik disebut juga dengan silty foam. Tanah jenis ini dapat
diketahui secara manual. Tanah yang mengandung liat tinggi akan dapat dipilin
memanjang. Namun, tanah yang mengandung debu atau pasir tinggi hanya akan
menghasilkan pilinan tanah yang pendek saja. .
Hal
yang perlu diperhatikan dalam rekontruksi wadah budidaya adalah sebagai berikut
:
1. Lokasi
Tambak
a) Tanah
Dasar Tambak
Lokasi
tambak berada di pantai dekat laut, tanah dari jenis alluvial kelabu dimana
bertekstur lempung liat berpasir, dengan ketinggian 0
– 3 m diatas permukaan laut serta kemiringan kurang dari 2,0%.
b) Sumber
Air Tambak
Sumber
air tambak berupa laut yang memperoleh pasokan air tawar dan sungai
c) Hutan
Mangrove
Hutan
mangrove seluas 581,955 Ha dengan
ketebalan 500 m dan kepadatan 1 – 2 pohon tiap meter persegi terdapat disepanjang pantai, kiri dan kanan
sungai, serta di tanam di pematang tambak
merupakan pelindung bagi kawasan tambak. Hutan
mangrove didominasi oleh Rhyzophora
dan Avecenia.
2. Persiapan
Tambak
a) Kedung
teplok dilakukan setelah panen dimana merupakan kegiatan pembuangan lumpur tambak dan memperbaiki
pematang tambak dan adanya kebocoran. Dalam keduk teplok juga dilakukan
pembalikan tanah dasar tambak dengan
tujuan untuk mengurangi gas-gas beracun.
b) Pengapuran
Pengapuran
bertujuan untuk menurunkan keasaman tanah atau
menaikkan pH tanah dan menjaga kestabilan kualitas air.
Pengapuran menggunakan kapur dolomit minimal
2 kg/ha
– 100 kg/ha atau rata-rata sebanyak 31,65 kg/ha. Pengapuran dilakukan
sekali dalam satu
musim tanam. Pengapuran dilakukan
setelah pengeringan.
c) Pengeringan
Pengeringan
dilakukan setelah 3 –
5 hari setelah pemberian saponin. Pengeringan
bertujuan untuk meningkatkan pH yang turun pada pemeliharaan sebelumnya, selain
itu pengeringan juga berfungsi sebagai pengendali kompetitor dan hama.
d) Pemberian
Saponin
Pemberian
saponin bertujuan untuk membasmi hama tambak berupa ikan liar, ular dan
lainnya. Pemberian saponin dilakukan setelah panen terakhir. Pemberian saponin
dilakukan minimal 2,5 kg/ha dan maksimal 25 kg/ha atau rata-rata 16,18 kg/ha
e) Pemupukan
Pemupukan
bertujuan untuk menumbuhkan fitoplankton. Fitoplankton selain dapat memberikan tambahan oksigen terlarut kedalam
air, juga berfungsi sebagai makanan alami bagi udang. Pemupukan menggunakan
pupuk urea dan TSP.
f) Pemasukan
Air
Setelah
pemupukan dilakukan pemasukan air.
g) Penebaran
Udang Windu
Penebaran
udang windu dilakukan 4
- 7 hari setelah pemasukan air. Padat tebar udang windu adalah 1
- 4 ekor/m2 atau 14.472 ekor tiap hektar tambak dengan ukuran
panjang 1,0 –
1,5 cm.
Menurut Mahmud et al., (2007), bahwa budidaya tambak
udang secara tradisional tidak sering dilakukan penggantian air dan secara
normal penggantian air dilakukan dua kali sebulan agar memudahkan petani tambak
dalam mengatur sirkulasi air. Pada lokasi tambak yang mempunyai elevasi agak
tinggi, biasanya petani menggunakan pompa air untuk mengisi atau mengalirkan
air ke dalam tambak. Bentuk tambak sistem tradisional dapat dilihat pada Gambar
1 dan 2, yaitu bentuk tunggal tanpa petak ipukan atau penggelondongan dan
bentuk ganda yang mempunyai petakan ipukan dan dibuat dalam bentuk bujur
sangkar.
.Berikut gambar
desain tambak tradisional
Gambar 2.
Denah Tambak Tradisional Untuk Pemeliharaan Udang Windu (Suyanto dan Mujiman
2003)
Gambar 3. Denah
tambak tradisional petak ganda untuk pemeliharaan udang windu (Adaptasi dari
Soetomo, 2000)
3.2. Penebaran Benih Udang Windu
Penebaran benih udang windu dilakukuan ketika persiapan tambak, mulai
dari persiapan lahan, pemupukan, pengapuran dan pengecekan kualitas air
dilakukan. Menurut Mahmud et al., (2007), Penebaran udang windu dilakukan 4 - 7 hari setelah pemasukan air. Padat tebar udang windu adalah 1 - 4
ekor/m2 atau 14.472 ekor tiap hektar tambak dengan ukuran panjang
1,0 – 1,5 cm. sedangkan menurut
Sudarno et al. (2014), bahwa Penebaran
benih dilakukan setelah air dalam petak pemeliharaan mencapai ketinggian ± 60
cm dan sudah didiamkan selama dua hari (± 48 jam). Benih yang ditebar dapat berupa
benur (PL-11) ataupun yang sudah berukuran glondongan. Penggunaan imunostimulan
dilakukan pada tiap-tiap kantong plastik pada saat pengepakan untuk
transportasi dengan dosis tiga tetes per kantong. Untuk kegiatan ini digunakan
benih yang berukuran glondongan dan diambil dari pengusaha glondongan di
sekitar lokasi penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat stress
benih, karena kondisi perairan yang tidak terlalu jauh berbeda. Dua hari
sebelum benih ditebar dilakukan pemberian biocyn pada air tambak dengan dosis
1kg/ha, yang bertujuan untuk menjaga kualitas air selama pemeliharaan. Untuk
selanjutnya biocyn diberikan tiap dua minggu sekali, dengan dosis 1 kg/ha.
Penebaran benih udang dilakukan pada pagi hari, dengan padat tebar 16 rean/ha.
3.3. Manajemen Kulitas Air Tambak
Tradisional
Kualitas air merupakan faktor yang sangat penting bagi budidaya. Dimana
Air sebagai habitat atau media yang digunakan kultivan tumbuh dan berkembang. Kualitas
air yang baik yaitu jika
air dapat mendukung kehidupan organisme akuatik dan jasad makanannya pada setiap stadium pemeliharaan. Perubahan kualitas air yang
penting untuk budidaya ditambak adalah suhu, oksigen terlarut, salinitas,
pH, kecerahan, NH4, NO2, NO3, PO4 dan padatan tersuspensi total.
3.3.1. Salinitas
Untuk tumbuh dan berkembangnya organisme yang dibudidayakan mempunyai toleransi optimal. Kandungan salinitas air terdiri dari garam-garam mineral
yang banyak manfaatnya untuk kehidupan organisme air laut atau payau. Sebagai contoh kandungan calcium yang
ada berfungsi membantu proses
mempercepat pengerasan kulit udang setalah moulting. Salinitas air
media pemeliharaan yang tinggi (> 30 ppt) kurang begitu menguntungkan untuk kegiatan budidaya udang windu. Karena udang windu akan lebih cocok dalam pertumbuhan optimal apabila salinitas
berkisar 5 - 25 ppt. Menurut
Warnock et. al. (2002) dalam Tantu (2012), udang windu, merupakan organisme eurihalin, kisaran salinitas yang optimum
perlu dipertahankan. Udang windu mampu menyesuaikan diri terhadap salinitas 3-45 ppt,
namun untuk pertumbuhan optimum diperlukan salinitas 15-25 ppt.
Terlihat bahwa salinitas pada musim kemarau dapat menjadi faktor pembatas dalam budidaya tambak, namun tidak menimbulkan masalah yang berarti pada musim hujan.
Tingginya salinitas untuk kegiatan usaha budidaya udang windu akan mempunyai efek yang kurang menguntungkan,
diantaranya yaitu, agak sulit untuk ganti kulit (kulit cenderung keras) pada saat proses biologis bagi pertumbuhan dan perkembangan, kebutuhan untuk beradaptasi terhadap salinitas tinggi bagi udang windu memerlukan energi (kalori) yang
melebihi dari nutrisi yang diberikan, bakteri atau vibrio
cenderung tinggi, Udang windu lebih sensitif terhadap goncangan parameter
kualitas air yang lainnya
dan mudah stres, dan umumnya udang windu sering mengalami lumutan. Selain itu, pada saat puncak musim kemarau jenis udang umumnya akan lebih mudah terserang penyakit WSSV (white spot).
3.3.2. Suhu Air
Suhu pada air media
pemeliharaan udang sangat berperan dalam keterkaitan dengan nafsu makan dan proses metabolisme udang. Apabila suatu lokasi tambak yang mikro klimatnya berfluktuatif, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap air media
pemeliharaan. Sebagai contoh pada musim kemarau yang puncaknya mulai bulan Juli hingga September sering terjadi adanya suhu udara dan air media
pemeliharaan udang
yang sangat rendah
(24oC). Rendahnya suhu tersebut akibat dari pengaruh angin selatan (musim dingin), pada musim seperti ini biasanya suhu air berkisar antara 22-26oC.
Suhu < 26oC bagi
udang windu akan sangat berpengaruh terhadap nafsu makan (bisa berkurang 50% dari kondisi normal). Menurut James et al. (2011) dalam Tantu (2012), suhu air
yang layak untuk budidaya udang windu berkisar antara 26 dan 32oC
dan optimumnya antara 29 dan 30OC. Padas uhu 26 - 30oC
pertumbuhan udang windu relatif cepat dan sintasan relatif tinggi. Menurut Seiregar (2015), udang windu dapat hidup dan tumbuh dengan cepat pada lingkungan perairan dengan kisaran suhu 28 - 300
C.
3.3.3.Tingkat Kekeruhan Air
Tingkat
kekeruhan air, baik air sumber
maupun
air media pemeliharaan mempunyai dampak yang positif dan negatif terhadap organisme yang
dibudidayakan, dan setiap organisme mempunyai toleransi tingkat kekeruhan yang berbeda
pula. Sebagai contoh bagi jenis kerang hijau masih dapat hidup normal dan tumbuh baik pada tingkat kekeruhan yang tinggi,
sementara rumput laut pada umumnya memerlukan tingkat kekeruhan yang rendah. Bahan organik yang menumpuk dalam jumlah yang banyak (tebal)
termasuk tempat bersarangnya bakteri vibrio
yang merugikan bagi udang.
Bila air sumber
yang digunakan untuk kegiatan budidaya banyak membawa material
organik akibat limbah kiriman dari darat, maka secara tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap biota air yang
dipelihara di tambak. Tingkat kekeruhan yang tinggi (limbah dari darat) sering terjadi pada musim penghujan, dimana
material yang terbawa berupa cair, padat dan gas. Namun untuk mengendalikan air keruh akibat limbah bawaan tersebut masih dapat digunakan untuk kegiatan budidaya tambak, khususnya udang.
3.3.4. Oksigen
Terlarut
Oksigen terlarut sangat esensial bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama dalam metabolisme akuatik. Kurangnya kandungan oksigen daam air akan menghambat pertumbuhan kultivan, dapat mengakbatkan stress
bahkan hingga mengakibatkan kematian. Kebutuhan
minimum udang windu akan oksigen terlarut adalah 2 mg/L . Batas
oksigen terlarut untuk udang windu adalah 3 - 10 mg/L and
optimum 4 - 7 mg/L. Menurut
Siregar
(2015), kadar oksigen terlarut antara 4 - 7 mg/L, dan bebas dari hasil metabolisme khususnya NH3
dan H2S serta
cemaran lainnya.
3.3.5. Kadar
pH
Batas toleransi organisme akuatik terhadap pH dipengaruhi oleh faktor, antara lain:
suhu, oksigen terlarut, alkalinitas dan adanya anion dan kation serta jenis dan stadium organisme. Kandungan pH yang baik bagi perairan budidaya udang windu yaitu berkisar antara 7,5 – 8. Hal ini diperkuat oleh Kholifah (2008), bahwa kuallitas air untuk pH
berkisar antara
7,5 – 8 masih dalam kisaran yang aman.
3.4. Manajemen Pakan
Udang
Windu
Pakan udang windu, terutama pakan alami erat kaitannya dengan manajemen wadah budidaya dan proses pemupukan.
Karena pupuk
yang di berikan pada lahan budidaya akan menumbuhkan pakan alami bagi udang windu. Pemupukan dilakukan agar air
kolam mempunyai kelimpahan pakan yang cukup bagi udang karena di dalam kolam sudah ada mata rantai makanan yang dapat menunjang pakan dari udang secara alami. Pakan alami dari udang windu ini biasanya adalah zooplankton yang
sudah ada
di kolam itu sendiri. Pupuk yang diberikan untuk menumbuhkan pakan alami dari udang biasanya adalah pupuk organik seperti kotoran hewan yang telah menjadi kompos. Pupuk organik diberikan pada tahap awal pengolahan wadah, agar pupuk yang
diberikan nantinya akan menjadi kompos secara sempurna, sebelum dimasukkan air kedalam wadah budidaya. Setelah
proses pupuk organik,
diberikan kembali pupuk anorganik yang biasanya terbuat dari bahan-bahan kimia seperti Urea dan NPK.
Proses penyediaan pakan bagi ikan ini harusdilakukan sejak awal, agar nantinya setelah proses
aklimatisasi udang langsung mendapat makanan di wadah budidaya. Menurut Buku Panduan Budidaya Udang Windu (2011), pemberian pakan pada hari penebaran benur ketambak agar benur dengan mudah mendapatkan pakan di alam. Hal inilah yang
menyebabkan manajemen pakan juga sangat berpengaruh dalam budidaya udang windu.
Pengontrolan juga harus terus dilakukan, setelah pemberian pakan ambil udang sampel, untuk melihat apakah perut udang sudah terisi penuh oleh pakan atau belum. Apabila telah di beri pakan, udang tidak lagi mau makan, maka proses
pemberian pakan buatan dapat di hentikan. Dan
perlu di periksa apakah itu gejala penyakit. Pakan juga bisa dilakukan setelah kurang lebih 1 bulan dari masa penebaran. Hal ini seperti yang dikatakan Bachnun (2007), yang
menyatakan bahwa pada budidaya udang windu system
tradisional (ekstensif) di Kabupaten
Jembrana,
Bali, teknik pemberian pakan yang dilakukan adalah pakan (pellet/rucah) diberikan hanya setelah udang berumur ± 1 bulan. Pada budidaya tradisional pengontrolan dengan anco sangat penting untuk melihat apakah udang sudah kenyang atau belum. Pemberian pakan pada udang juga tidak boleh sembarangan, butuh perbandingan antara berat tubuh dan hari penebaran. Untuk komposisi pakan yang dapat di
berikan. Komposisi pakan udang dengan kandungan protein yang tinggi (36 – 40%),
karbohidrat (max 25%), lemak (max 8%), vitamin dan mineral (1 - 2%) . Hal lain
yang menjadi perhatianya itu pakan merupakan penyumbang utama limbah tambak karena lebih dari 65% protein dalam pakan akan hilang dalam lingkungan air tambak.
Sehingga pemberian pakan harus tepat dan terkontrol.
Berdasarkan BMP Udang Windu (2014), dapat diketahui tabel pemberian pakan pada tambak tradisional dan tradisional plus dibawah ini:
3.5.
Pengendalian Hama dan
Penyakit
Udang Windu
Budidaya udang
windu pada tambak traditional kendala/hambatan yang dijumpai ada dua faktor
yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Kendala faktor eksternal adalah
fluktuasi kualitas air tawar dan air laut yang digunakan. Budidaya udang windu
pada tambak tradisional kualitas air sangat tergatung kepada suplai air yang
diterima, sehingga masuknya air laut dan air tawar tidak tidak bisa
dikontrol. Kendala faktor internal
adalah pengolahan tanah / sedimen setelah panen, aerasi dan pemberian pakan
selama periode pemeliharaan udang windu. Suplai oksigen sangat minim karena
tidak adanya airasi dalam tambak udang traditional.
Beberapa aspek yang menyebabkan hasil budidaya tambak traditional tidak
maksimal, salah satu isu strategis adalah terbatasnya pengetahuan dan teknologi
budidaya yang dimiliki bagi para petani tambak itu sendiri. Keterbatasan
pengetahuan dan teknologi ini berakibat pada kesulitan mereka untuk dapat
meningkatkan hasil produksi tambak persatuan luas. Hal ini menjadi cermin bagi
petugas perikanan dalam penyebarluasan atau penyuluhan bagi petani tambak.
Beberapa kemungkinan penyebab keterbatasan pengetahuan dan teknologi petani tambak
adalah terbatasnya jumlah dan kapasitas pengetahuan tenaga pendamping yang
dimilii oleh dinas terkait (Dinas Perikanan dan Kelautan Badan Diklat dll)
dalam melakukan penyuluhan budidaya di lapangan, kurangnya atau terputusnya
koordinasi dari instansi terkait dalam melakukan sosialisasi setiap
teknologi baru yang dihasilkan.Secara umum petani tambak mempunyai keengganan
untuk menerima teknologi baru , yang belum dipraktekan atau dilihat secara
langsung oleh petani di daerah tempat usahanya. Hal ini disebabkan karena
adanya ketakutan dan keraguan mengenai tepat tidaknya teknologi tersebut dalam
meningkatkan produktivitas usahanya.
Budidaya udang windu pada tambak tradisional terdapat beberapa penyakit yang menyerang udang. Beberapa penyakit yang sering
menyerang udang windu beserta pencegahannya adalah:
3.5.1. Bintik Putih
Penyakit
inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang.
Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic
Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). Serangannya sangat cepat, dalam
beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat mati. Gejalanya
: jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan jika menabrak
tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat
berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar,
terutama udang putih. Belum ada obat untuk penyakit ini, cara mengatasinya
adalah dengan diusahakan agar tidak ada kepiting dan udang-udang liar masuk ke
kolam budidaya. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak
stress dan daya tahan tinggi. Sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang
tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen. Untuk menjaga kestabilan
ekosistem tambak tersebut tambak perlu dipupuk dengan Ton.
3.5.2. Bintik Hitam/Black Spot
Disebabkan
oleh virus Monodon Baculo Virus
(MBV). Tanda yang nampak yaitu terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan
biasanya diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga gejala lain yang tampak yaitu
adanya kerusakan alat tubuh udang. Cara mencegah : dengan selalu menjaga
kualitas air dan kebersihan dasar tambak.
3.5.3.Kotoran
Putih/Mencret
Disebabkan
oleh tingginya konsentrasi kotoran dan gas amoniak dalam tambak. Gejala : mudah
dilihat, yaitu adanya kotoran putih di daerah pojok tambak (sesuai arah angin),
juga diikuti dengan penurunan nafsu makan sehingga dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan kematian. Cara mencegah : jaga kualitas air dan dilakukan
pengeluaran kotoran dasar tambak/siphon secara rutin.
3.5.4.Insang
Merah
Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang.
Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan
penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan
kualitasnya.
3.5.5.Nekrosis
Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam
air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam
pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan
penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan Ton 1 - 2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang
untuk segera melakukan ganti kulit (Molting)
dengan pemberian saponin atau dengan pengapuran.
3.6.
Pemanenan
dan Pemasaran Udang Windu
Panen adalah tahap akhir dari rangkaian proses
budidaya udang diarea pertambakan udang. Yaitu dengan cara pengambilan udang
dari tambak yang dijaga kesegarannya untuk kemudian dikirim ke proses
selanjutnya untuk diolah lebih lanjut. Dari tahap satu ketahap yang lainnya
pada proses panen harus mempunyai persiapan yang matang dan terencana dengan
baik dari prosedur pelaksanaan panen, agar semua berjalan sesuai dengan yang
diinginkan oleh semua pihak, terutama bagi petambak dan perusahaan.
Kegiatan panen udang meskipun sebagai tahap akhir dari
suatu proses budidaya udang dalam satu siklus budidaya (terutama untuk panen
normal) merupakan tahapan yang sangat penting juga untuk dipahami. Kualitas
udang dan sifat/tingkah laku udang merupakan pengetahuan dasar yang perlu
dipahami pada saat melakukan pemanenan udang. Pada kondisi tertentu (sering
dijumpai di lapangan) udang mengalami penurunan kualitas yang sangat nyata pada
saat dilakukan pemanenan, sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap harga jual dan tingkat keuntungan yang diperoleh menjadi tidak optimal
a.
Persiapan Sebelum
Pelaksanaan Panen
Sebelum
melaksanakan panen ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam
rangka menghasilkan udang yang bermutu baik. Pada saat perlakuaan pra-panen.
Hal itu meliputi membersihkan tambak dari kotoran dan sampah seperti tritip
pada saat melakukan penangkapan atau penjaringan. Cacat pada udang akan
menurunkan mutu dan harga udang, membesihkan tambak dari lumpur, sampah dan lumut.
Untuk itu dapat dilakukan siphon satu minggu sebelum panen, usahakan udang
tidak dalam keadaan soft sheel, karena akan mempengaruhi harga udang tersebut.
Menurut Suyanto dan Takarina (
2009 : 192 ) menjelaskan bahwa sebelum melaksanakan panen, maka langkah awal
yang dilakukan adalah mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan di gunakan
untuk memperlancar proses pemanenan udang karena kesiapan alat sangat
mempengaruhi dalam proses panen tersebut. Hal terpenting juga adalah
memperhatikan mutu udang, adapun mutu udang di tentukan oleh beberapa kriteria,
yaitu :
a)
Ukuran udang.
Semakin besar ukuran udang maka kian tinggi harganya.
b)
Warna kulit
udang gelap kehijauan atau kecokelatan, dengan garis-garis hitam dan putih yang
jelas.
c)
Kulit udang
ketika dipanen harus dalam keadaan keras, bersih, licin, bersinar, dan tak
bercacat.
Supaya kulit udang keras dan bersih, 3 – 4 hari
sebelum panen dilakukan pergantian air tambak sebanyak 50 -75 % volume air.
Pergantian air yang cukup banyak itu akan merangsang udang untuk berganti
kulit. Setelah air diganti, malam hari atau keesokan harinya, udang ganti kulit
hampir serentak dan sehari kemudian, udang sudah berkulit keras kembali
sehingga kulit dalam kondisi bersih sebab akan tingkat harga bila kedaan udang
itu masih bagus. Bila udang telah berumur 3 – 3,5 bulan dipelihara di tambak,
petani sebaiknya mulai mencari atau menghubungi pembeli supaya saat panen dapat
direncanakan secara tepat.
Menurut Amri (2008 : 89) menjelaskan bahwa sebelum panen, terlebih dahulu di lakukan
pengambilan sampel udang untuk mengetahui jumlah udang yang sedang berganti
kulit (moulting). Jika banyak udang
yang mengalami moulting, panen harus
ditunda karena udang akan mengalami penurunan mutu (cepat membusuk ) dan bobot
timbangannya cukup ringan sehingga petambak akan mengalami kerugian yang cukup
besar.
Ada beberapa tahap dalam prosedur panen adalah sebagai
berikut :
1.
Persiapan
Penangkapan Udang
Pindahkan kincir dari posisi yang semula, kemudian
letakkan disisi dinding tambak hingga hampir merapat ke dinding tambak, kincir
ini dipindahkan dengan cara mengangkat atau digeser. Sebelum kincir dipindahkan
pastikan arus listrik pada kincir tersebut sudah benar-benar dimatikan, agar
tidak berbahaya bagi pekerja dan udang yang berada didalam tambak. Selanjutnya
kita menggantikan pipa pembuangan air itu dengan pipa berlubang yang sudah kita
buat untuk mengeluarkan air secara perlahan dan airnya tinggal 50% di tambak.
2.
Proses
Penangkapan Udang
Setelah kita melakukan
persiapan diatas maka selanjutnya menangkap udang dengan cara meletakan jaring
yang dipasang pada lubang pintu keluar dan mengangkatnya secara berkali-kali
dan usahakan jangan sampai udang sudah penuh didalam jaring sehingga akan
saling tindih yang mengakibatkan udang rusak.
3.
Pembongkaran
Udang
Setelah udang terkumpul pada
bagian mulut kantong yang terikat dengan tali, setelah itu udang siap untuk
dimasukkan kedalam keranjang yang telah disiapkan, setelah itu tali pengikat
ujung kantong dibuka untuk mengeluarkan udang. Kemudian udang dibongkar dan
dikeluarkan dari ujung kantong dan dimasukkan ke keranjang tarik/angkut yang
telah dilengkapi jaring, setelah dimasukkan kedalam keranjang udang ditarik
keatas secara estafet oleh tenaga pelaksana yang berada dibagian atas dengan
cara menarik tali yang telah diikatkan pada bagian tubuh keranjang. Sementara
tenaga yang lain secara estafet memindahkan udang yang tertangkap dari bagian
pangkal kantong ke ujung kantong.
4.
Pelelesan Udang
Pelelesan yaitu penangkapan
udang yang dilakukan setelah air tambak kering dengan cara memunguti udang satu
parsatu pada bagian dasar tambak yang sudah tidak ada airnya (kering), atau
sisa-sisa udang yang tidak tertangkap oleh jaring panen, pada saat kondisi air
tambak sudah surut / kering total. Pelaksana penangkapan ini yaitu dengan cara
tenaga pelaksana berjejer dan bergerak maju kemudian memutar searah putaran
jarum jam.
Menurut Amri ( 2008 : 90 )
menjelaskan bahwa Pemanenan sebaiknya dilakukan saat waktu subuh atau ketika
suhu udara masih rendah karena udang sangat sensitive terhadap sinar matahari
sehingga kesegarannya dapat dipertahankan. Cara panen yang baik adalah
menghindari perlakuan kasar terhadap udang, menghindari gerakan yang berlebihan
pada udang, dan menjaga agar udang hasil panen tidak terkena sinar matahari
secara langsung. Pemanenan melalui pintu pembuangan cukup efektif karena
sebagian besar udang akan hanyut dengan mudah melalui pintu air dan udang hasil
tangkapan bersih tercuci oleh aliran air. Cara panen melalui pintu pembuangan
adalah dengan membuka pintu pengeluaran dan di ujung gorong-gorong dipasang
jala kantong yang diikat kuat. Pajang jarring diatur sepanjang mungkin (sekitar
6 meter) agar udang tidak rusak akibat tumpukan dan tekanan air. Setelah tinggi
air tambak tinggal 50-60 cm, penagkapan udang dilakukan dengan menggunakan jala
listrik , dan penangkapan terakhir dilakukan secara manual dengan cara digogo.
Menurut Suyanto dan Takarina (2009 : 196) mengatakan
bahwa panen total dilakukan dengan pengeringan tambak, baik tambak tradisional
dan semi intensif. Sore hari menjelang
penangkapan bila terjadi air surut, air dalam petak tambak dapat dikeluarkan
sebagian secara perlahan-lahan sehingga kedalaman air dalam petak tambak hanya sedalam
caren saja, kurang lebih 10 – 20 cm. Penagkapan total yang lebih cepat
dilakukan dengan memasang jaring besar memanjang pada saluran pembuangan mulai
dari depan pintu air. bila pintu air dibuka, udang akan keluar bersama aliran
air dan tertadah oleh jaring yang terpasang di saluran itu. Agar udang tidak
banyak rusak aliran pembuangan air dari pintu air diatur agar perlahan-lahan.
Udang ditangkap dari dalam jarrng penadah sehingganya udang tidak banyak yang
rusak. Setelah air di dalam tambak tinggal sedkit, biasanya masih ada sedikit
udang yang tertinggal dan dapat di tangkap secara manual (dipunggut dengan
tangan). Bila tersedia pompa air, petak itu dapat sedikit diairi lagi sambil
mendorong udang yang masih tersembunyi
dalam lumpur untuk dipunggut. Sebagai
jaring penadah udang yang dipasang di depan pintu air, dapat berupa
jaring yang dibentuk sebagai kantung. Jaring kantung ini harus cukup panjang
sekitar 5 – 6 m agar udang yang tertampung dalam jaring itu tidak rusak
tergencet oleh aliran air buangan dari petak tambak.
Semua kegiatan pemanenan yang dilakukan tersebut sudah
baik adanya sehingga pelaksanaan dilapangan sangat mudah dipahami karena tidak
terlalu sulit sehingga tahap demi tahap dilaksanakan dengan baik pula.
b.
Penanganan Pasca
Panen
Adapun langkah dalam pasca
panen ini meliputi : pengangkatan, pencucian, penimbangan dan penyortiran,
pengemasan dan pengangkutan udang. Perbandingan udang dengan Es adalah 1 : 1.
c.
Pengangkatan
Udang
Udang yang selesai dipanen
akan di angkat dengan gerobak untuk dibawa ke tempat pencucian udang dan
ditindak lanjuti. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat untuk mempercepat
proses pasca panen ini.
1.
Pencucian Udang
Udang yang telah diangkut dari
dasar tambak, kemudian dibawa ke area pencucian, udang yang telah diangkat dari
dasar tambak yang berada didalam keranjang kemudian dituangkan kedalam bak
fiber pencucian. Hal ini bertujuan agar membersihkan udang dari tanah yang
melekat pada udang tersebut.
2.
Penimbangan dan
Penyortiran Udang
Setelah kita selesai mencuci
udang tersebut dengan bersih yang dilakukan oleh pelaksana panen maka
selanjutnya adalah menimbang udang tersebut dengan melakukan penyortiran
terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk memisahkan mana udang yang besar dan
kecil sehingganya memudahkan untuk menimbangnya.
3.
Packing
(Pengemasan)
Langkah selanjutnya adalah
pengemasan setelah udang sudah selesai di sortir dan ditimbang. Dalam langkah
pengemasan ini yang paling adalah pengaturan es dan udang tersebut haruslah
ditata dengan rapi agar udang tersebut terjaga kualitasnya. Pengisian udang ke dalam blong jangan sampai melebihi batas leher
(pegangan) blong, dan tidak boleh dipadatkan atau digoyang – goyang, hal ini
bertujuan untuk menghindari udang tertumpuk terlalu banyak dan dapat merusak
fisik udang sehingga mempercepat proses kemunduran mutu pada udang selama
proses pengangkutan. Satu box/blong penuh mempunyai kapasitas optimal 21 -22 Kg
untuk udang monodon dan jumlah es nya adalah 21 – 22 kg.
4.
Pengangkutan
Hasil Panen
Setelah udang dikemas dan
dimuat kedalam blong serta diangkut ke tempat untuk menjualnya dan dilanjutkan
dengan pengangkutan menggunakan truk. Pengangkutan blong berisi udang dan blong
kosong dari tambak ke receiving Cold
storage, pengawas panen akan membuat bukti kirim udang (BKU) yang
ditandatangani oleh pengawas panen, petambak/partner, dan motoris.
Menurut Suyanto dan Takarina
(2009 : 200-201) mengatakan bahwa udang yang telah dipanen dikumpulkan dalam
keranjang bamboo, rotan, atau bak dari fiber
glass yang cukup lebar dan bagian dasarnya berlubang-lubang. Kemudian udang
disemprot dengan air bersih sampai udang bersih dari kotoran yang melekat.
Setelah itu, udang disortir dan dikelompokan menurut ukurannya, lalu ditimbang.
Kini, hasil panen yang telah ditimbang itu dapat diserahkan kepada pembeli.
Tanggung jawab selanjutnya untuk mempertahankan mutu dan kesegaran udang
menjadi tanggungan pembeli. Lantas oleh pembeli, udang dimasukan kedalam
wadah-wadah yang telah disiapkan, diberi es curah dengan perbandingan 1 : 1.
Adapun cara penyusunan udang dalam cool
box itu adalah disusun didalam kotak secara berlapis-lapis, satu lapis
tidak lebih dari 10 cm, bergantian dengan lapisan es curah dan kedalaman cool book ini hanya 50–75 cm.
Dalam proses penanganan pasca
panen ini sudah sesuai dengan prosedur dan panduannya, maka penangan pasca
panen yang dilakukan berjalan dengan baik dan mudah.
Pemasaran udang
merupakan langkah akhir dari
suatu usaha untuk memperoleh pendapatan yang
diharapkan. Pemasaran adalah faktor
yang sangat menentukan bagi suatu
usaha budidaya udang, mengingat
hasilnya tidak dapat
disimpan lama. Setelah udang mencapai
ukuran konsumsi dengan harga pasar yang baik,harga jual udang tergantung size
ukuran dan tiap waktu harga bisa berubah sesuai ukuran atau size yang
dibutuhkan pasar , sehingga petambak harus mengikuti perubahan harga pasar
udang berdasar size atau ukuran waktu akan melakukan panen untuk mendapatkan
nilai jual yang tinggi. Selain itu mutu udangpun harus dijaga agar kualitas
udang tetap terjaga sehingga tidak menurunkan harga pada saat dijual.
Kondisi mutu udang menjadi issue
utama sekarang ini sehingga pengusaha tambak akan memilih udang yang bermutu
baik. banyak faktor teknis yang harus dipertimbangkan pasar dan harus
diperhitungkan dalam pelaksanaan panen. Oleh karena itu kondisi dan mutu udang
harus dijaga dan ditingkatkan agar nilai ekspor udang windu tinggi. Potensi ekspor yang sangat
besar menjadikan peluang yang besar dalam pengembangan budidaya udang di
Indonesia. Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan budidaya
udang ini juga tidak kalah besarnya. Hal ini menuntut upaya berbagai pihak,
baik Pemerintah, Pembudidaya, Swasta maupun Stakeholder lainnya untuk
bersama-sama menanggulangi tantangan tersebut, agar potensi ekspor udang yang
sangat besar tersebut tidak hanya menjadi peluang, tetapi secara nyata dapat
dimanfaatkan dan dikelola secara baik untuk meningkatkan konstribusinya dalam
pembangunan nasional.
Ditetapkannya udang salah satu komoditas yang harus ditingkatkan
produksinya cukup beralasan, karena udang merupakan
primadona ekspor hasil perikanan Indonesia yang budi dayanya telah terbukti
memiliki backward dan forward lingkage yang cukup luas bagi aktivitas ekonomi
masyarakat. Menurutnya aktivitas usaha budi daya udang di beberapa sentra
produksi beberapa tahun terakhir ini,telah membawa dampak yang cukup signifikan
bagi menurunnya pertumbuhan ekonomi masyarakat di beberap kawasan budidaya
tersebut. Sebagai komoditas ekspor, udang masih memperlihatkan
penampilan yang menggembirakan.
3.7. Keuntungan dan Kerugian
Tambak Tradisional
3.7.1.
Keuntungan
Pada
umumnya budidaya tambak ekstensif (tradisional) selalu mengedepankan luas
lahan, pasang surut, intercrop dan tanpa pemberian makanan tambahan sehingga
makanan bagi komoditas yang dibudidayakan harus tersedia secara alami dalam
jumlah yang cukup. Menurut Prihatman (2000), ciri-ciri tambak udang ektensif
(tradisional) yaitu: umumnya dibangun di daerah pasang surut, rawa-rawa, semak
dan daerah mangrove. Petakan tambak memiliki ukuran dan bentuk tidak teratur
dengan luas antara 3 – 10 ha/petak. Pada sekeliling petakan tambak terdapat
caren dengan kedalaman 30 – 50 cm dan lebar 5 – 10 m. Terdapat pelataran yang
dikelilingi oleh caren dengan kedalaman 30 – 40 cm. Di tengah petakan tambak
dibuat petakan kecil untuk nener. Keuntungan budidaya tambak ekstensif adalah
lebih ramah lingkungan sekitar tambak pada setiap siklusnya, sehingga budidaya
tambak ekstensif dapat berkelanjutan. Penggunaan bahan kimia dalam budidaya
tambak ekstensif sangat diminimalisir bahkan tidak menggunakan obat-obatan
kimia sama sekali. Limbah sisa budidaya juga ramah lingkungan dengan kandungan
amoniak yang rendah karena tidak menggunakan pakan buatan (pelet). Namun disisi
lain produktivitas tambak ekstensif kurang optimal akibat jumlah padat tebar
yang rendah. Jumlah produksi pada tambak ekstensif bergantung pada luasan
tambak yang dikelola.
3.7.2.
Kerugian
Pada umumnya
dalam kegiatan budidaya udang tradisional memiliki dua kendala utama yang
berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan. Menurut Komarawidjaja (2004),
pertama, kendala faktor eksternal adalah beberapa hal seperti fluktuasi
kualitas air tawar dan air laut yang digunakan. Pada tambak udang dengan sistim
tradisional, kualitas air sangat tergantung kepada suplai air yang diterima
sedangkan pada budidaya udang secara intensif, fluktuasi kualitas air tambak
dapat ditekan dengan memasukkan air laut dan air tawar terlebih dahulu ke dalam
kolam tandon sehingga setelah kualitas air yang dibutuhkan untuk budidaya udang
dicapai baru disalurkan ke tambak yang akan ditanami. Kedua, kendala faktor
internal adalah mencakup pengolahan tanah/sedimen setelah panen, aerasi dan
pemberian pakan selama periode pemeliharaan udang. Pengolahan tanah biasanya
dilakukan baik pada lahan budidaya tradisional maupun intensif. Sedangkan
perlakuan aerasi lebih banyak dijumpai pada budidaya intensif, terutama untuk
memasok kebutuhan oksigen udang. Untuk mencapai produksi yang optimal pada
budidaya udang intensif selain kondisi lingkungan yang baik faktor pemberian
pakan sangat menentukan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, kesimpulan yang dapat
diambil antara lain sebagai berikut:
1.
Teknik budidaya udang
windu yang dilakukan pada tambak tradisional harus memperhatikan beberapa aspek
diantaranya yang paling penting adalah aspek lokasi dan pola konstruksi tambak.
Hal yang perlu diperhatikan dalam rekontruksi wadah
budidaya adalah tanah
dasar, sumber air tambak dan hutan mangrove. Sedangkan persiapan tambak yang perlu
diperhatikan adalah kedung teplok,
pengapuran, pengeringan, pemberian saponin, pemupukan, pemasukan air dan penebaran benih udang windu.
2.
Penebaran benih udang windu dilakukan ketika semua
persiapan tambak sudah selesai, seperti halnya persiapan lahan, perbaikan
tambak dan kontruksi, pemupukan dan pengecekan kualitas air telah selesai
dilakukan, kemudian benih dimasukkan ke dalam tambak yang selanjutnya akan
dipelihara.
3.
Manajemen kualitas air udang windu yang baik antara
lain: salinitas yang optimum berkisar antara 15 – 25 ppt, suhu antara 28 – 300C,
oksigen terlarut optimum sebesar 4 – 7 ppm dan pH sebesar 7,5 – 8. Sedangkan
untuk manajemen pakan udang windu tergantung pada saat pemupukan tambak yang
dilakukan ketika pengolahan tambak sebelum benih ditebar, pemupukan bertujuan
untuk membantu pakan alami berupa zooplankton agar dapat tumbuh pada tambak dan
menjadi pakan alami bagi udang windu itu sendiri. Selain itu udang windu juga
diberi pakan berupa pelet dan sesekali diberi pakan tambahan berupa ikan rucah.
Pengendalian hama dan penyakit pada udang windu dapat dilakukan dengan menjaga
kualitas air dan kebersihan dasar tambak, penyiponan secara rutin, pemberian saponin
dan atau pengapuran serta kestabilan ekosistem tambak harus dijaga agar udang
windu tidak stress.
4.
Pemanenan
sebaiknya dilakukan saat waktu subuh atau ketika suhu udara masih rendah karena
udang sangat sensitive terhadap sinar matahari sehingga kesegarannya dapat
dipertahankan. Cara panen yang baik adalah menghindari perlakuan kasar terhadap
udang, menghindari gerakan yang berlebihan pada udang, dan menjaga agar udang
hasil panen tidak terkena sinar matahari secara langsung.
Potensi ekspor yang sangat besar menjadikan peluang
yang besar dalam pengembangan budidaya udang di Indonesia.
Kondisi mutu udang yang bermutu baik sangat dipertimbangkan pasar dan harus
diperhitungkan dalam pelaksanaan panen. Oleh karena itu kondisi dan mutu udang
harus dijaga dan ditingkatkan agar nilai ekspor udang windu tinggi.
5.
Keuntungan budidaya
tambak tradisional adalah lebih ramah lingkungan sekitar tambak pada setiap
siklusnya, sehingga budidaya tambak tradisional dapat berkelanjutan. Penggunaan
bahan kimia dalam budidaya tambak tradisonal sangat diminimalisir bahkan tidak
menggunakan obat-obatan kimia sama sekali. Limbah sisa budidaya juga ramah
lingkungan dengan kandungan amoniak yang rendah karena tidak menggunakan pakan
buatan (pelet). Namun disisi lain kerugian tambak tradisional adalah
produktivitas tambak tradisional kurang optimal akibat jumlah padat tebar yang
rendah. Jumlah produksi pada tambak tradisional bergantung pada luasan tambak
yang dikelola. Kualitas air sangat tergantung kepada suplai air yang diterima.
4.2. Saran
Saran
yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1.
Sebaiknya dalam budidaya udang windu secara tradisional, hal yang
harus diperhatikan adalah lokasi tambak, ketersediaan pakan alami dan padat
penebarannya.
2.
Sebaiknya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam budidaya
tradisional dapat dilakukan dengan cara sistem polikultur, dimana dalam satu
tambak terdapat beberapa kultivan yang saling bersinergisme. Seperti budidaya
udang windu dengan ikan bandeng atau udang windu dengan ikan bandeng dan rumput
laut.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Khairul. 2008. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Jakarta
: Agromedia Pustaka.
Kholifah,
U., N. Trisyani, dan I. Yuniar. 2008.
Pengaruh Padat Tebar
yang Berlebihan terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan pada Polikultur Udang Windu
(Peneaus monodon) dan Ikan Bandeng
(Chanos chanos) pada Hapa di Tambak Brebes, Jawa
Tengah. Neptunus. 14(2): 152 – 158.
Komarawidjaja, W. 2004. Penelitian Pengaruh
Pemanfaatan Konsorsium Mikroba Penitrifikasi dalam Budidaya Udang. Jurnal
Teknik Lingkungan. 5(1): 25-29.
Mahmud,
U., Komar, S., Nora, H.P. 2007. Pengkajian Usaha Tambak Udang Windu Tradisional
di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Jurnal
MPI. 2(1)
Motoh,
H. 1981.Studies on Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn, Penaeus
monodon
in Philipphines. SEAFDEC. Aquaculture Departement. Tigbuan
Iloilo, Philippines. 128 p.
Prihatman, K. 2000. Budidaya Udang Windu (
Palaemonidae / Penaeidae ). Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan –
BAPPENAS. Jakarta.
Rangka,
N.A., dan Andi, I.J.A. 2010. Teknologi
Budidaya Ikan Bandeng di Sulawesi Selatan. Jurnal Inovasi Teknologi Akuakultur.
Siregar, S. 2015. Dampak Program Safver terhadap Pendapatan Petani Udang Windu. Agrium ISSN 2442-7306. Vol 19(2):
107 – 115.
Soetomo,
M.H.A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu.
Sinar Baru Algesindo, Bandung.
Sudarno, G. Mahasri
dan Kismiyati. 2014. Ibm Bagi Petambak Udang Tradisional di Desa Masaran,
Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, yang Gulung Tikar. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. 6 (1): 59 – 65.
Sutanti,
A. 2009. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia
dengan Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca
Larva Udang Windu Penaeus monodon.
SKRIPSI. Institut Pertanian Bogor.
Suyanto,
R.S., dan A.Mujiman. 2003. Budidaya Udang
Windu. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suyanto Rachmatun S. dan Takarina Purbani E. 2009. Panduan Budidaya Udang Windu. Jakarta : PT. Penebar Swadaya
Tantu,
A. G. 2015. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Udang
di Wilayah Pesisir Kecamatan Labakkang Provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Indonesian
Journal of Coastal and Environment. Vol 1(1)
Tarsim. 2004. Effect of Adding the White Legged
Shrimp (Penaeus vannamei) on Growth and Survival of Tiger Shrimp (Penaeus monodon) in Intensive
Farming. Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 3(3): 41-45
Tarsim.
2004. Pengaruh
Penambahan
Udang
Putih
(Penaeus vannamei) terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Windu (Penaeus
monodon) Pada Budidaya Intensif. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 3(3): 41-45.
0 komentar:
Posting Komentar