BUDIDAYA CACING LAUT SEBAGAI PAKAN ALAMI BAGI KULTIVAN BUDIDAYA

Jumat, 16 Maret 2018


Latar Belakang
Annelida berarti “cincin” kecil dan tubuh bersegmen yang mirip dengan serangkaian cincin yang menyatu merupakan ciri khas cacing filum Annelida. Terdapat sekitar 15.000 spesies filum Annelida, yang panjangnya berkisar antara kurang darti 1 mm sampai 3 m pada cacing tanah Australia. Anggota filum Annelida hidup di laut , dan sebagian habitat air tawar, dan tanah lembab, kita dapat menjelaskan anatomi filum Annelida menggunakan anggota filum yang terkenal, yaitu cacing tanah.

            Filum Annelida merupakan cacing selomata berbentuk gelang yang memiliki tubuh memanjang, simeffi bilatiral, bersegmen, dan permukaannya dilapisi kutikula. Dinding tubuh dilengkapi otot. Memiliki prostomium dan sistem sirkulasi. Saluran pencernaan lengkap. Sistem ekskresi sepasang nephridia di setiap segmen. Sistem syaraf tangga tali. Sistam respirasi terdapat pada epidermis. Reproduksi monoesis atau diesis dan larvanya trokofor/veliger. Kebanyakan untuk cacing Annelida hidup akuatik di laut dan terestrial di air tawar atau darat. Filum Annelida dibagi menjadi kelas Polychaeta, Oligochaeta, dan Hirudinea. pembagian ke dalam kelas terutama didasarkan pada segmentasi tubuh. seta, parapodium, sistem sirkulasi, ada tidaknya batil isap, dan sistem reproduksi’ Kelas iotyct aetu dibagi menjadi kelompok Errantia dan Sedentaria didasarkan pada kesempurnaan bentuk parapodium, siri, ada tidaknya rahang, probosis, bentuk segmen’ aan letat insang. Kelas Oligochaeta dibagi menjadi ordo Plesiopora, Prosotheca, Prosopora, dan Opisthopora berdasarkan alat ekskresi, letak gonofor, dan letak spermateka. Kelas girudinea dibagi menjadi ordo Acanthobdellida, Rhynchobdellida, dnathobdellida, dan Erpobdellida berdasarkan ada tidaknya batil isap dan probosis, serta septum pada segmen tubuh. Beberapa hewan Annelida akuatik berenang untuk mencari makan, tetapi sebagian bear tinggal di dasar dan bersarang di dalalm pasir dan endapan lumpur, cacing tanah tentunya, merupakan pembentuk sarang dalam lubang. Selom cacing tanah terpartisipasi oleh septa, tetapi saluran penvcernaan, pembuluh darah, longitudinal, dan tali syaraf menembus septa itu dan memanjang di sekujur tubuh hewan itu (pembuluh utama memiliki cabang bersegmen). Sistem pencernaan memiliki beberapap daerah khusus : faring, esofagus, tembolok, rempela , dan usus halus. Sistem sirkulasi tertutup terdiri atas suatu jaringan pembuluh yang mengandung darah dengan hemoglobin pembawa oksigen. Pembuluh dorsal dan ventral di hubungkan oleh beberapa pasang pembuluh segmental. Pembuluh dorsal dan lima pasang pembuluh yang melingkarai esofagus cacing tanah adalah pembuluh berotot dan memompa darah melalui sistem sirkulasi. Pembuluh darah kecil sangat banyak pada kulit cacing tanah , yang berfungsi serbagai pernapasannya.
            Pada masing-masing segmen cacing tersebut terdapat sepasang tabung ekskretoris yang disebut metanefridia dengan corong bersilia, yang disebut neftrostim yang mengeluarkan buangan dari darah dan cairan selomik. Metanefridia akan bermuara ke pori-pori eksterior, dan buangan metabolisme dikeluarkan melalui pori-pori tersebut.
Sepasang ganglian cerebral yng mirip otak terletak diatas dan di depan faring. Serangkaian syaraf berbentuk cincin di sekitar faring berhubungan dengan ganglion subfaring, pangkal dari sepasang tali syaraf yang menyatu terdapat di sepanjang arah posterior. Terdapat bersama-sama dengan tali syaraf ventral ini adalah ganglia bersegmen, yang juga menyatu.

A.           Klasifikasi
               Klasifikasi cacing laut (Nereis sp.) menurut Suwignyo dkk. (2005) adalah :
Kingdom           :  Animalia
Phylum              :  Annelida
Kelas                  :  Polychaeta
Sub kelas           :  Errantia
Famili                 :  Nereidae
Genus                Nereis                      
Spesies              : Nereis sp.
              Bentuk morfologi dan anatomi pada cacing laut sangat beragam.  Umumnya berukuran 5-10 cm dengan diameter 2-10 mm.  Pada tiap sisi lateral ruas tubuhnya kecuali kepala dan bagian ujung posterior,  terdapat sepasang parapodia dengan sejumlah besar setae yang terdiri atas notopodium dan neuropodium, masing-masing disangga oleh sebuah batang khitin yang disebut acicula.  Pada notopodium terdapat cirrus dorsal dan pada neuropodium terdapat cirrus ventral.  Bentuk parapodia dan setae pada setaip jenis tidak sama.  Pada prostomium terdapat mata, antena dan sepasang palp (Suwignyo  dkk., 2005).
B.            Habitat
Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir.  Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar  sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor untuk berlindung. 
C.           Reproduksi
Pola reproduksi cacing nipah tergolong monotelik yang memijah hanya satu kali dalam satu siklus hidup dengan cara melepas gamet matang ke luar tubuh. Pola ini juga dijumpai pada polychaeta monotelik lain seperti Nereis virens dan N. Diversicolor. Pola gametogenesis polychaeta dapat dibedakan berdasarkan tempat pembentukan dan diferensiasinya. Pola pertama gamet dihasilkan dan berdiferensiasi dalam gonad, pola kedua gamet dihasilkan oleh sel-sel proliferasi yang kemudian akan dilepas dan berdiferensiasi dalam selom (tanpa gonad) dan pola ketiga adalah gabungan keduanya.  Cacing nipah N. rhodochorde bersifat gonokhoristik yang memiliki satu organ kelamin pada satu individu, berbeda dengan Cacing pandan N. hawaiiensis yang hermaprodit. N. rhodochorde tergolong polychaeta yang tidak memiliki organ penyimpan gamet secara khusus, karakter ini sama dengan Nereididae lain yang telah diteliti, umumnya juga tidak memiliki struktur khusus untuk proliferasi oogonia.
Sel oosit dilepas dan berkembang sampai matang dalam selom (extraovarian oogenesis). Cacing jantan dan betina tidak dapat dibedakan secara morfologi. Panjang, berat, warna, dan jumlah segmen tubuh juga tidak dapat dijadikan acuan untuk membedakan jenis kelamin walaupun pada N. abiuma warna tubuh ventral dapat membedakan jenis kelamin. Oosit yang terbentuk dari hasil proses oogenesis secara bertahap mudah diamati sehingga dapat menjadi acuan untuk mengetahui pola reproduksi. Pembentukan oosit sangat baik digunakan untuk mengetahui secara umum aspek biologi reproduksi suatu spesies. Pada polychaeta ekstraovarian lokasi proliferasi oosit sebelum dilepaskan ke dalam selom belum diketahui dengan pasti. Oosit cacing nipah pada tahap awal berupa kumpulan (cluster) oosit berwarna kuning dengan bentuk bulat dan dapat mudah dibedakan dengan sel eleosit yang transparan. Pada individu muda masih dijumpai banyak sel eleosit di dalam selom.
Jumlah oosit cacing nipah berdiameter ≤40 µm pada tahap immature akan semakin berkurang pada tahap submature dan mature. Jumlah oosit antara 40<x µm akan semakin banyak pada tahap mature. Gamet betina dapat dibedakan secara jelas dengan gamet jantan setelah gamet betina terpisah dari cluster dan menjadi soliter di dalam selom dengan diameter ≥40 µm. Pada tahap immature, oosit yang telah terpisah dari cluster mulai bertambah diameternya dan tampak inti sel yang akan lebih jelas saat menuju maturitas. Oosit juga telah dapat dibedakan dengan sel eleosit yang masih banyak dijumpai di antara oosit. Jumlah sel eleosit dalam selom akan berkurang seiring dengan bertambahnya diameter oosit. Oosit akan memasuki tahap pertumbuhan cepat sebagaimana pada Nereis diversicolor saat sebagian besar oosit mencapai ukurun diameter 70<x.
Pada cacing nipah jantan, lokasi proliferasi spermatogonia juga masih belum diketahui. Tahap spermatogenesis mulai dapat diamati saat terbentuk cluster spermatogonia . Pada tahap ini jumlah sel dalam cluster belum dapat dihitung karena keterbatasan alat pengamatan, namun spermatogenesis cacing nipah hampir sama dengan spermatogenesis pada Nereis sp. Jumlah sel dalam cluster pada Nereis sp. sebanyak 132 sel, cluster selanjutnya menjadi cluster kecil dengan 64 sel. Tahapan reduksi sel dalam cluster pada cacing nipah juga diduga sama dengan Nereis sp. Penelitian ini hanya mendapatkan cluster telah menjadi cluster kecil yang terdiri atas kumpulan empat sel spermatid atau tetrad spermatid. Tahap akhir spermatogenesis adalah pembentukan spermatozoa (mature), pada tahap ini sperma telah memisah dari tetrad yang soliter dalam cairan selom . Pada polychaeta klasifikasi spermatozoa berdasarkan fungsi, umumnya dibagi menjadi tiga tipe yaitu ectaquasperm, ent-aquasperm, dan introsperm. Karakter spermatozoa cacing nipah mengarah pada tipe ect-aquasperm yang memiliki bentuk kepala oval dan ekor yang panjang. Karakter spermatozoa, yang meliputi ukuran dan bagian-bagian spermatozoa tidak dapat diamati menggunakan mikroskop cahaya biasa karena ukuran spermatozoa yang sangat kecil. Pengukuran detil ultrastruktur sangat dibutuhkan untuk memastikan klasifikasi spermatozoa cacing nipah
D.           Pakan
Pakan untuk budidaya cacing laut dapat mengunakan pakan komersial. Costa et al. (2000), telah menggunakan 6 jenis pakan yaitu lancy (pakan untuk udang stadia post larva udang), Tetramin, SBDF (pakan ikan sea bream), sari kedelai, pollen, dan kista artemia). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh informasi laju pertumbuhan berkisar 6,2-13,9 mg/hari dan sintasan berkisar 77,7%-100%, perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan yang menggunakan jenis lancy. Dengan demikian, pakan komersial untuk ikan dan udang juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan cacing laut. Kebutuhan nutrisi cacing laut dapat dipenuhi dengan menggunakan pakan komersial yang biasa digunakan untuk ikan dan udang (Batista et al., 2003; Costa et al., 2000).
Limbah budidaya juga dapat dijadikan pakan untuk cacing laut. Karena cacing laut termasuk dekomposer.
Bahan baku pakan dapat diperoleh dengan memanfaatkan limbah-limbah dari kegiatan masyarakat. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan memanfaatkan limbah pakan dari kegiatan budidaya ikan. Kegiatan budidaya ikan dapat dikombinasikan dengan budidaya cacing laut yaitu dengan memanfaatkan sisa pakan yang tidak dimakan ikan sebagai pakan cacing Nereis diversicolor (Bischoff et al., 2009) dan Nereis virens (Brown et al., 2011).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai pakan dalam budidaya cacing laut dengan menggunakan pakan yang berasal dari hewan. Wibowo (2010), melaporkan bahwa telah diketahui pakan dengan kandungan protein hewani menghasilkan pertumbuhan Dendronereis pinaticirris terbaik. Yuwono et al. (2000) melaporkan bahwa kompos dari feses hewan sebagai media dalam pemeliharaan cacing lur yang menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan kompos dari serasah tumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahan baku pakan berasal dari hewani mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan bahan dari nabati.
Beberapa jenis limbah sebagai bahan hewani yang potensial tersedia di Indonesia dengan memanfaatkan produk sampingan dari rumah pemotongan ayam berupa usus besar, darah ayam, dan dari industri pengolahan udang berupa cangkang kepala udang. Pemilihan bahan baku ini didasarkan pada nilai nutrisi yang cukup, harganya relatif murah, dan ketersediaan di masyarakat sebagai limbah. Penggunaan bahan-bahan tersebut sebagai bahan pakan kegiatan budidaya cacing laut merupakan salah satu bentuk pemanfaatan limbah
Cacing laut Nereis sp. dapat memanfaatkan pakan tunggal yang digunakan dalam penelitian ini berupa tepung usus dan darah ayam serta tepung kepala udang. 2.Tepung usus ayam mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan dengan jenis pakan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan dan laju pertumbuhan spesifik, sintasan cacing uji menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Jenis pakan yang lain yaitu tepung kepala udang dan tepung darah juga mempunyai kualitas yang sama dengan pakan komersial sehingga dapat dijadikan alternatif pakan dalam budidaya cacing laut.
E.            Kebiasaan Makan 
Cara makan Cacing laut (Nereis sp.) bermacam-macam sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karnivora, omnivora, herbivora dan adapula yang memakan detritus.  Pemakan endapan secra langsung maupun tidak  langsung, secara langsung dengan menelan pasir dan lumpur dalam lorongnya (sarangnya).  Mangsa terdiri dari berbagai  avertebrata kecil, yang ditangkap dengan pharynx atau probosis yang dijulurkan.  Cara makan sesuai dengan kebiasaan hidup, Raptorial feeder: avertebrata kecil ditangkap dengan pharink/probosis yang dijulurkan, terdapat rahang kitin, Deposit feeder: menelan pasir & lumpur dalam lorong; bahan organik dicerna & partikel mineral dikeluarkan via anus, atau melalui tentakel cilia yang berlendir, Filter feeder: tidak punya probosis tutup kepala dilengkapi radiola untuk menyaring detritus & plankton.
F.            Teknik Kultur
Cacing laut atau cacing lur yang berasal dari jenis cacing polychaeta merupakan salah satu jenis yang dicari dan digemari masyarakat dilihat dari meningginya permintaan pasar. Manfaat dari cacing polychaeta ini bermacam-macam seperti sebagai pakan induk crustacea, pakan ikan dan kerang-kerangan, umpan pancing ikan, makanan, penyerap limbah organik dalam sistem akuakultur, pemeran resiklus antara habitat pelagis dan habitat bentis, indikator pencemaran, dan organisme uji toksikologis. Jenis cacing laut ini sudah bisa dibudidayakn dibeberapa negara termasuk di Indonesia, akan tetapi belum dibudidayakan secara massal karena minimnya informasi mengenai teknik budidaya cacing laut. Upaya kultur cacing Dendronereis spp. masih sangat terbatas dilakukan di Indonesia. Hal ini karena minimnya informasi yang diperlukan untuk menunjang usaha kulturnya (Siregar, 2008). Cacing laut yang masih sering diambil dari alam ini perlu dibudidayakan karena apabila hanya mengandalkan dari alam maka lama kelamaan akan habis dan tidak ada lagi cacing laut yang ditemukan. Manfaat dari kegiatan budidaya adalah dapat mengurangi penangkapan yang tergantung dari kondisi alam (Groom et al. 2006), sehingga memberi kesempatan populasi Polychaeta di alam dapat berkembang biak dengan baik. Selain itu kegiatan budidaya juga dapat dijadikan salah satu sumber ekonomi alternatif, membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat antara lain kegiatan penyediaan benih, penyediaan pakan, kegiatan pemeliharaan sehari-hari dan pemasaran produksi hasil budidaya. Oleh sebab itulah perlu adanya budidaya yang dilakukan untuk cacing laut.
Reproduksi pada Cacing laut (Nereis sp.), terjadi baik secara aseksual maupun seksual.  Reproduksi seksual terjadi dengan cara pertunasan dan pembelahan, namun kebanyakan hanya  melakukan reproduksi secara seksual  saja dan biasanya pada dioecious.  Pada dasarnya hampir semua menghasilkan gamit, namun pada beberapa jenis hanya beberapa ruas saja.  Pada beberapa jenis cacing dengan gamit yang telah matang akan berenang menjadi cacing pelagis, setelah tubuhnya koyok-koyok dan gamit berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati, pembuahan terjadi di air laut (Suwignyo  dkk., 2005).
Cacing laut polychaeta, pada dasarnya, dapat dibudidayakan dengan menempatkan hewan tersebut pada media buatan yang membuat si cacing merasa “nyaman” untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, media pertumbuhan haruslah merupakan lingkungan yang dirancang semirip mungkin dengan keadaan habitat aslinya. Ini dapat dilakukan dengan mengupayakan tipe substrat, suhu, kadar garam, dan pakan yang cocok bagi pertumbuhan hewan air tersebut. Dan, khusus untuk cacing yang masa reproduksinya dipengaruhi oleh ritme/ keadaan bulan, seperti contohnya Laor, diperlukan teknik manipulasi pencahayaan tertentu untuk merangsang hewan tersebut agar bisa memijah. Kehidupan cacing dialam berkembang dan tumbuh sesuai dengan substrat dimana cacing lur itu berada (Yuwono et al, 2000).



DAFTAR PUSTAKA
Suwignyo, S. dkk.  2005.  Avertebrata air.  Penebar Swadaya.  Jakarta.
Groom, Martha J, G. K. Meffe, C.R. Carroll,2006. Principles of conservation
biology. Eds.3. Sinauer Associates Inc. Sunderland. USA: xix+711             hlm.
Siregar, AH. 2008. Ekologi Cacing lur (Dendronereis: Polychaeta) di Area Pertambakan. Purwokerto: Universitas Jenderal Sudirman.
Rachmad, B. & E. Yuwono, 2000. Pertumbuhan dan Laju Makan serta Efisiensi Protein Pada Post Larva Udang Windu Yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Cacing Lur, Makalah Seminar Nasional Biologi XVI di ITB, Bandung.
Romimohtarto dan Juwana.  2001.  Biologi Laut.  Djambatan.  Jakarta.
Rachmawati, Faidah, dkk. 2009. BIOLOGI. Jakarta : Ricardo Publishing and Printing
Suryo. 1984. Genetika Strata 1. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rasid dan Mufti P. Patria. 2012. Pertumbuhan Dan Sintasan Cacing Laut Nereis Sp. (Polychaeta, Annelida) Yang Diberi  Jenis Pakan Berbeda Vol 7 (3): 447-464

1 komentar:

  1. breanz arkhantoz mengatakan...:

    salam pak, dimana saya bisa dapat training ternak cacing laut di indonesia.saya dari malaysia. harap bapak dapat beri info ke emel saya breanz.arkhantoz@gmail.com

Posting Komentar